Oleh Yoseph Kelik
KERETA api Prameks (foto diambil dari republika.co.id) |
"LAIN kali nggak boleh ini, Mas. Ini hanya untuk penumpang, bukan angkutan barang."
Kata-kata hardikan ini meluncur dari bibir seorang petugas Polsuska berkumis melintang. Nadanya cukup tajam. Tertuju kepada saya yang memilih memasang tampang bloon.
Hardikan si petugas polsuska itu sendiri bukannya tanpa sebab. Sabtu sore di pertengahan April 2009, di dalam Kereta Api Prameks Jogja-Solo, tempat si bapak berkumis melintang itu berdinas, saya memang melalukan sebuah "kenakalan kecil".
Bukan, bukan mencopet atau kedapatan nggak beli karcis.
Hari itu, saya "hanya kebetulan" membawa serta sebuah sepeda gunung ke dalam kabin penumpang Prameks he...he...he... .
Sepeda itu bahkan menurut rencana aslinya tak hanya ingin saya selundupkan ke dalam kabin penumpang KA Prameks. Saya sebenarnya ingin menyelundupkannya pula lagi ke dalam kabin penumpang KA Pandanwangi jurusan Solo-Semarang. Sepeda gunung pinjaman dari seorang teman itu rencananya akan saya pakai berkeliling kota lama Semarang.
SEPEDA MTB semacam inilah yang pernah saya coba selundupkan ke dalam KA Prameks (foto diambil dari evanscycles.com) |
Waktu itu saya tidak memilih menyogok si petugas Polsuska agar diam tak mengomeli saya. Toh dia juga tidak lantas menurunkan saya dengan paksa di perjalanan. Dia masih membiarkan saya turun di Solo, tepatnya di Stasiun Balapan.
Yang, pasti, begitu diomeli si petugas Polsuska, saya pun terpaksa menyusun ulang rencana perjalanan saya. Satu diantaranya, saya sadar bahwa bahwa rencana membawa sepeda ke Semarang untuk dipakai berkeliling kota lama musti dibatalkan.
Minggu paginya, bersama adik saya, Anyis, saya memang tetap ke Semarang dengan KA Pandanwangi. Tapi, sepeda gunung yang saya bawa dari Jogja saya tinggalkan di Solo. Saya dan Anyis berkeliling Kota Lama Semarang hanya dengan berjalan kaki. Sesuatu yang tentu saja jauh lebih capek ketimbang bersepeda.
Ah, kalau mengingat pengalaman beberapa bulan silam ini, saya jadi iri pada orang-orang di Belanda saya. Kata seorang teman, di Belanda orang secara legal bisa memasukkan sepeda ke dalam kereta api dengan membayar ongkos tambahan beberapa Euro. Kenapa sih di Indonesia tidak bisa menerapkan hal yang sama?
FOLDING bike WIM CYCLE Pocket Rocket 20" (foto diambil dari kaskus) |
<<<+>>>
NB:
- Di bulan April 2009 ini, karena tak mau menempuh resiko diomeli petugas Polsuska, maka saya membawa pulang sepeda gunung itu ke Jogja dengan mengayuhnya sejauh 70 kilometer lebih dari Solo.
- Sejak Desember 2011, saya akhirnya berhasil memiliki sebuah folding bike alias sepeda lipat. Warnanya hitam, merknya WIM CYCLE, dan jenisnya yang ukuran 20. Sepeda ini saya beli di Jambi dan ketika belum sampai sebulan saya miliki telah saya ajak jalanan di seputaran Bukittinggi. Saya tidaklah bersepeda dari Jambi ke Bukittinggi. Hmmm, saya belum seheroik dan sespartan itu. Sepeda lipat saya berhasil ke Bukittinggi karena diangkut dalam truk bersama sepeda-sepeda lain milik Komunitas Bike To Work Jambi. Lumayan, itu boleh jadi merupakan embrio travbiking yang saya idamkan.
CATATAN:
Tulisan ini sebelumnya pernah saya posting pada 19 Oktober 2009 di bagian notes akun Facebook saya.
TULISAN BERKAITAN
Bersepeda 50 Kilometer di Segarnya Bukittinggi
hooh, menyedihkan. Naik Trans Jogja juga haram bawa seli. Konsep feeder itu cuma angan-angan
BalasHapus