Senin, 25 Agustus 2014

Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrva

Oleh Yoseph Kelik

GARUDA Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika (gambar diambil dari en.wikipedia.org)

SAYA rasa umumnya Indonesia mengakrabi kata-kata Bhinneka Tunggal Ika. Soalnya kata-kata tersebut sejak 1950 ditahbiskan sebagai semboyan negara Indonesia, pun lantas turut dicantumkan dalam lambang negara Garuda Pancasila, tepatnya pada bagian pita yang dicengkeram oleh dua kaki si burung garuda.

Perihal semboyan Bhinneka Tunggal Ika setahu saya juga diulang-ulang dalam berbagai pelajaran di sekolah. Perulangan tersebut berlangsung pula saban tahun di berbagai tingkatan kelas. Karena itu saya lebih cenderung yakin kalau orang-orang Indonesia sampai hafal bahwa semboyan Bhinneka Tunggal Ika itu berasal dari kutipan dalam Sutasoma, kitab kuno hasil tulisan Empu Tantular dari zaman Majapahit. Tafsir versi resmi dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dari pihak Pemerintah terhadap Bhinneka Tunggal Ika, yang aslinya merupakan bagian dari  khazanah bahasa Sansekerta, sehingga menjadi "Berbeda-beda, Tetapi Menyatu" dan "Unity in Diversity"  pun rasanya nancep di memori orang-orang Indonesia.

Hanya saja, boleh jadi tak semua orang menyadari bahwa Bhinneka Tunggal Ika sejatinya adalah sebuah kalimat yang terpenggal.
Bhinneka Tunggal Ika sebenarnya barulah separo bagian dari kalimat utuh sebagaimana yang aslinya tercantum dalam pupuh 130 bait 5 Sutasoma. Versi utuh yang termuat dalam kitab kuno dari abad XIV tersebut sebenarnya adalah berbunyi Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrva atau dapat terterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai "berbeda-beda, tetapi menyatu, karena tiada kerancuan dalam kebenaran." Sebagai catatan, dharma yang secara harafiah terterjemahkan sebagai kebenaran dapat pula diterjemahkan sebagai "hukum" alias "peraturan". Dengan demikian versi utuh dalam Sutasoma menurut saya lebih terasa "menggigit". Pasalnya di situ pada dasarnya diterangkan bahwa menyatunya pihak-pihak berbeda adalah terjadi karena kebenaran/hukum dijalankan secara lurus tanpa standar ganda. Dengan kata lain, integrasi tiada terpisahkan dengan supremasi hukum.

Jadi, sebenarnya alangkah eloknya jika kata-kata semboyan negara Indonesia serta pita Garuda Pancasila dapat mencantumkan versi utuh dari Sutasoma, bukan cuma versi yang terpenggal seperti sekarang. Itu rasanya akan menjadi sebentuk doa yang lebih baik bagi negara ini beserta segenap isinya.

Sayangnya, kata-kata Tan Hana Dharma Mangrva masih terpisah dengan "saudara kandungnya", Bhinneka Tunggal Ika.  Tan Hana Dharma Mangrva barulah sekadar terpilih menghiasi lambang Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas).

LOGO Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas). (gambar diambil dari tribunnews.com)


Jika direnungkan, masih tercerainya Bhinneka Tunggal Ika dari Tan Hana Dharma Mangrva entah kenapa seolah menjadi cerminan kondisi negara dan bangsa Indonesia sejauh ini. Hampir 70 tahun menjadi sebuah negara merdeka, Indonesia relatif bisa mengelola integrasi bangsanya yang sejatinya begitu majemuk secara etnisitas maupun agama, meski memang sekali-kali tetap muncul gesekan dan ketegangan yang menjadi ujian. Namun, hal memprihatinkan yang dalam hampir 7 dekade terakhir masih menjadi problem kronis rasanya adalah masalah penegakan hukum, yang mana hukum belum diberlakukan setara bagi setiap orang dan golongan. Nah tidakkah itu cerminan pula dari pilihan kita membiar Bhinneka Tunggal Ika terus tercerai dari Tan Hana Dharma Mangrva-nya?  

1 komentar:

  1. Teringat dengan kata-katanya Alm. Gus Dur.
    Banyak orang yang bilang negara kita ini demokrasi, padahal masih semu.

    Terlalu banyak orang yang memanfaatkan agama, untuk nalurinya membunuh, berkuasa, dan menghalalkan segala caranya. Padahal, mereka buta.

    BalasHapus