Oleh Yoseph Kelik
DALAM psikologi populer ada istilah stockholm syndrome. Itu adalah untuk menyebut suatu fenomena ketika korban penculikan malah menjadi bersimpati, memiliki penilaian positif, hingga loyal dan membela penculiknya.
Menurut saya, stockholm syndrome itu ternyata tidak cuma berlaku untuk kasus-kasus dengan korban individual atau berjumlah sedikit orang. Stockholm syndrome itu rupanya bisa saja terjadi untuk kasus- kasus dengan korban bersifat komunal alias berjumlah sangat banyak. Termasuk dalam hal ini adalah berlaku dalam skala suku/etnis hingga bangsa.
Pada stockholm syndrome dengan korban-korban bersifat komunal, kasus penculikannya tak bisa lagi dimaknai harafiah. "Penculikan" bertransformasi menjadi kejahatan-kejahatan lain yang berskala jauh lebih besar. Contohnya adalah kekerasan massif atau terus-menerus hingga kejahatan kemanusian luarbiasa semacam genosida.
Dalam versi saya, stockholm syndrome komunal adalah kondisi ketika suatu komunitas tertindas kemudian meniru perilaku penindasnya.
Ini tak mesti suatu tindakan balas dendam langsung kepada penindasnya. Ini justru dapat berupa perubahan posisi suatu komunitas, dari semula menjadi korban penindasan, tapi lantas berubah menjadi komunitas lain. Dalam stockholm syndrome komunal, penindasan pada dasarnya jadi jalan 'transfer ilmu' pihak penindas kepada yang tertindas.
Sejarah dunia mencatat tentang banyak bangsa yang semula korban penindasan kemudian selepas terbebas dari bangsa penindasnya lalu menjelma jadi penindas bangsa lain.
Belanda dan Indonesia
Contohnya bisa kita mulai dari Belanda. Sebelum medio abad XVI, Belanda merupakan jajahan Spanyol atau lebih tepatnya Wangsa Habsburg yang berkuasa atas tahta Spanyol dan Austria. Pada pertengahan abad XVI pecah konflik antara pihak penguasa Habsburg dengan tujuh belas provinsi di Belanda. Penyebabnya adalah perselisihan tentang pajak, juga perbedaan agama karena Spanyol-Austria menganut Katolik Roma, sedangkan provinsi-provinsi Belanda menganut Protestanisme. Represi keras dari penguasa Habsburg membuat Belanda angkat senjata, namun kemerdekaan baru benar-benar teraih pada medio abad XVII setelah menjalani perang selama 80 tahun.
Di kemudian hari, Belanda ternyata mengalami stockholm syndrome terhadap Spanyol. Terdorong oleh hasrat dagang, Belanda kemudian tumbuh menjadi bangsa penjajah dan penindas bagi beberapa bangsa dan wilayah lain. Kepulauan Nusantara yang kini sebagian besar wilayahnya menjadi negara Indonesia, Malaka, Srilangka, Afrika Selatan, Pulau Formosa yang kini menjadi negara Taiwan, Suriname, hingga Belgia merupakan tempat-tempat yang pernah menjadi jajahan dan tentu saja merasakan penindasan Belanda.
Indonesia yang notabene korban penjajahan dan penindasan Belanda pada dasarnya contoh bangsa yang juga mengalami stockholm syndrome. Indonesia, yang pernah mengalami penindasan panjang dari penjajahan Belanda serta penjajahan tiga setengah tahun sarat teror oleh Jepang, ternyata begitu merdeka berlaku meniru Belanda dan Jepang di banyak daerahnya. Ada banyak perlakuan tidak adil hingga penindasan yang diperbuat Indonesia terutama di daerah-daerah periferinya seperti Aceh, Papua,juga Timor Timur yang kini telah merdeka dan menjadi Timor Leste.
Amerika dan Israel
Contoh bangsa lain yang mengalami stockholm syndrome adalah Amerika Serikat dan Israel.
Amerika Serikat berdiri pada medio abad XVIII sebagai respon terhadap penindasan Britania Raya atas para pemukim di 13 koloni di Pantai Timur Amerika Utara. Setelah merdeka, Amerika Serikat ternyata tumbuh menjadi suatu imperium. Pada dasarnya semacam suatu "Britania Raya Baru" juga. Amerika Serikat pun lalu bikin penindasan di banyak negara lain. Kuba, Filipina, Vietnam, Panama, Chili, Iran, Afghanistan, serta Irak adalah negara-negara tempat Amerika Serikat memamerkan stockholm syndrome-nya, berlaku layaknya dulu ketika Britania Raya masih jadi kekaisaran tempat matahari tak pernah tenggelam.
Tentang Israel, negara ini berdiri setelah bangsa Yahudi di Eropa jadi korban penindasan massif oleh Nazi Jerman. Holocaust demikian sebutan umum tentang masa penindasan yang dialami kaum Yahudi di Eropa pada sepanjang dekade 1930-an dan paro pertama dekade 1940-an itu. Skala holocaust sendiri mungkin kini bisa diperdebatkan, pula dipertnyakan: "apa memang sebesar klaim orang-orang Yahudi?". Paling tidak demikian ketika merujuk kepada buku The Holocaust Industry karya ilmuwan Norman Finkelstein.
Lepas dari perdebatan jumlah pasti korban holocaust, bahwa Yahudi di Eropa pernah menderita selama segregasi rasial pada 1930-an dan 1940-an, pula banyak dari mereka dikirim Jerman untuk bekerja paksa di kamp-kamp konsentrasi rasanya adalah hal yang mesti diakui sebagai fakta sejarah. Paling tidak sejauh ini.
Sedihnya,begitu Yahudi bisa mendirikan Israel di Timur Tengah, mereka pun berlaku layaknya Nazi Jerman. Intervensi di libanon, penindasan terhadap Palestina, juga adu benci dan saling lempar ancaman kepada Suriah serta Iran adalah contoh stockholm syndrome yang diidap israel. Mereka ternyata memfotokopi tingkah Nazi Jerman dahulu pada 1930-an dan 1940-an... .
Bak Penyakit Menular
Bila kini Israel dengan sekian polah agresifnya menjadi negara yang sangat menyebalkan bagi miliaran orang di planet ini rasanya bisa dimaklumi. Contohnya saja seperti pada November 2012 ini ketika Israel sedang membombardir Gaza, menerbangkan pesawat angkatan udaranya masuk ke wilayah Sinai Mesir, juga terus mengeluarkan ancaman untuk menyerang Iran.
Hanya saja jika saking sebalnya kepada Israel orang lantas memuja tindakan Hitler dan Nazi Jerman, yang dahulu pernah mencoba melakukan anihilasi terhadap kaum Yahudi, itu rasanya itu sesuatu yang konyol juga menurut saya. Sebab, bukankah ketika Israel sangat menyebalkan seperti sekarang seharusnya kita pun mengutuk lebih keras Hitler dan Nazi Jerman? Bukankah karena kezaliman para pengusung bendera swastika itu lah, Israel lalu beroleh inspirasi atas aneka kekerasan yang mereka kerjakan sejak medio 1940-an... .
Lagi pula, percayalah bahwa kekerasan itu sungguh bak penyakit menular bervirus bandel. Ia gampang menjangkiti banyak orang. Tindakan kekerasan tak cuma mudah mendatangkan tindakan balas dendam. Kekerasan ternyata punya efek samping berupa penjalaran ke daerah-daerah lain, juga tentu saja menjadikan orang-orang di sana jadi korban-korban lanjutannya. Soal ini, saya jadi ingat satu twit yang pernah dituliskan Poltak Hotradero pada 16 November 2012 di akun Twitter-nya, @hotradero, yang kurang lebih berbunyi "gigi ganti gigi, mata ganti mata membuat dunia kehilangan lebih banyak lagi gigi dan mata".
Belanda dan Indonesia
Contohnya bisa kita mulai dari Belanda. Sebelum medio abad XVI, Belanda merupakan jajahan Spanyol atau lebih tepatnya Wangsa Habsburg yang berkuasa atas tahta Spanyol dan Austria. Pada pertengahan abad XVI pecah konflik antara pihak penguasa Habsburg dengan tujuh belas provinsi di Belanda. Penyebabnya adalah perselisihan tentang pajak, juga perbedaan agama karena Spanyol-Austria menganut Katolik Roma, sedangkan provinsi-provinsi Belanda menganut Protestanisme. Represi keras dari penguasa Habsburg membuat Belanda angkat senjata, namun kemerdekaan baru benar-benar teraih pada medio abad XVII setelah menjalani perang selama 80 tahun.
Di kemudian hari, Belanda ternyata mengalami stockholm syndrome terhadap Spanyol. Terdorong oleh hasrat dagang, Belanda kemudian tumbuh menjadi bangsa penjajah dan penindas bagi beberapa bangsa dan wilayah lain. Kepulauan Nusantara yang kini sebagian besar wilayahnya menjadi negara Indonesia, Malaka, Srilangka, Afrika Selatan, Pulau Formosa yang kini menjadi negara Taiwan, Suriname, hingga Belgia merupakan tempat-tempat yang pernah menjadi jajahan dan tentu saja merasakan penindasan Belanda.
Indonesia yang notabene korban penjajahan dan penindasan Belanda pada dasarnya contoh bangsa yang juga mengalami stockholm syndrome. Indonesia, yang pernah mengalami penindasan panjang dari penjajahan Belanda serta penjajahan tiga setengah tahun sarat teror oleh Jepang, ternyata begitu merdeka berlaku meniru Belanda dan Jepang di banyak daerahnya. Ada banyak perlakuan tidak adil hingga penindasan yang diperbuat Indonesia terutama di daerah-daerah periferinya seperti Aceh, Papua,juga Timor Timur yang kini telah merdeka dan menjadi Timor Leste.
Amerika dan Israel
Contoh bangsa lain yang mengalami stockholm syndrome adalah Amerika Serikat dan Israel.
Amerika Serikat berdiri pada medio abad XVIII sebagai respon terhadap penindasan Britania Raya atas para pemukim di 13 koloni di Pantai Timur Amerika Utara. Setelah merdeka, Amerika Serikat ternyata tumbuh menjadi suatu imperium. Pada dasarnya semacam suatu "Britania Raya Baru" juga. Amerika Serikat pun lalu bikin penindasan di banyak negara lain. Kuba, Filipina, Vietnam, Panama, Chili, Iran, Afghanistan, serta Irak adalah negara-negara tempat Amerika Serikat memamerkan stockholm syndrome-nya, berlaku layaknya dulu ketika Britania Raya masih jadi kekaisaran tempat matahari tak pernah tenggelam.
Tentang Israel, negara ini berdiri setelah bangsa Yahudi di Eropa jadi korban penindasan massif oleh Nazi Jerman. Holocaust demikian sebutan umum tentang masa penindasan yang dialami kaum Yahudi di Eropa pada sepanjang dekade 1930-an dan paro pertama dekade 1940-an itu. Skala holocaust sendiri mungkin kini bisa diperdebatkan, pula dipertnyakan: "apa memang sebesar klaim orang-orang Yahudi?". Paling tidak demikian ketika merujuk kepada buku The Holocaust Industry karya ilmuwan Norman Finkelstein.
Lepas dari perdebatan jumlah pasti korban holocaust, bahwa Yahudi di Eropa pernah menderita selama segregasi rasial pada 1930-an dan 1940-an, pula banyak dari mereka dikirim Jerman untuk bekerja paksa di kamp-kamp konsentrasi rasanya adalah hal yang mesti diakui sebagai fakta sejarah. Paling tidak sejauh ini.
Sedihnya,begitu Yahudi bisa mendirikan Israel di Timur Tengah, mereka pun berlaku layaknya Nazi Jerman. Intervensi di libanon, penindasan terhadap Palestina, juga adu benci dan saling lempar ancaman kepada Suriah serta Iran adalah contoh stockholm syndrome yang diidap israel. Mereka ternyata memfotokopi tingkah Nazi Jerman dahulu pada 1930-an dan 1940-an... .
Bak Penyakit Menular
Bila kini Israel dengan sekian polah agresifnya menjadi negara yang sangat menyebalkan bagi miliaran orang di planet ini rasanya bisa dimaklumi. Contohnya saja seperti pada November 2012 ini ketika Israel sedang membombardir Gaza, menerbangkan pesawat angkatan udaranya masuk ke wilayah Sinai Mesir, juga terus mengeluarkan ancaman untuk menyerang Iran.
Hanya saja jika saking sebalnya kepada Israel orang lantas memuja tindakan Hitler dan Nazi Jerman, yang dahulu pernah mencoba melakukan anihilasi terhadap kaum Yahudi, itu rasanya itu sesuatu yang konyol juga menurut saya. Sebab, bukankah ketika Israel sangat menyebalkan seperti sekarang seharusnya kita pun mengutuk lebih keras Hitler dan Nazi Jerman? Bukankah karena kezaliman para pengusung bendera swastika itu lah, Israel lalu beroleh inspirasi atas aneka kekerasan yang mereka kerjakan sejak medio 1940-an... .
Lagi pula, percayalah bahwa kekerasan itu sungguh bak penyakit menular bervirus bandel. Ia gampang menjangkiti banyak orang. Tindakan kekerasan tak cuma mudah mendatangkan tindakan balas dendam. Kekerasan ternyata punya efek samping berupa penjalaran ke daerah-daerah lain, juga tentu saja menjadikan orang-orang di sana jadi korban-korban lanjutannya. Soal ini, saya jadi ingat satu twit yang pernah dituliskan Poltak Hotradero pada 16 November 2012 di akun Twitter-nya, @hotradero, yang kurang lebih berbunyi "gigi ganti gigi, mata ganti mata membuat dunia kehilangan lebih banyak lagi gigi dan mata".
<<<+>>>
CATATAN:
Tulisan ini dikembangkan dari kultwit berisi 19 twit yang saya tuliskan di akun Twitter @sephkelik pada Kamis malam, 22 November 2012.
ARTIKEL BERKAITAN
ARTIKEL BERKAITAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar