Selasa, 27 September 2011

Wonogiri, Dari Peta Naik ke Hati (1: Cerita tentang Bero)




Pasar Desa Bero
Bagian Pertama dari Lima Tulisan


"RUMPUT pekarangan tetangga selalu terlihat lebih hijau ketimbang rumput pekarangan sendiri."


Ungkapan populer satu ini tentulah pernah anda dengar. Nah, kalau saya punya versi lain dari ungkapan tadi, masih mirip-mirip sih. Versi lain dari saya itu berbunyi "kampung halaman orang terlihat lebih indah ketimbang kampung kita sendiri."Jika dibanding ungkapan aslinya, versi dari saya besar kemungkinan bukan sesuatu yang familiar bagi anda. Tapi, saya harap anda mau berbaik hati memaklumi, setidaknya untuk tulisan ini...he..he...he....


Arti Kampung Halaman
Namun,sebelum terlalu jauh, perbolehkan saya mengajak anda berbincang lebih dahulu tentang "kampung halaman" yang saya maksudkan di sini. Seperti umumnya, istilah tadi merujuk kepada daerah asal atau tempat lahir dan dibesarkan.


Hanya saja, saya di sini mengartikannya dalam versi yang luas. Kampung halaman di sini dapat dimaknai sebagai
desa atau kampung dalam versi mainstream-nya, yakni sebuah konsentrasi pemukiman puluhan atau ratusan kepala keluarga di daerah yang tak terlalu luas, tingkat kepadatannya renggang, suasanya tak terlalu ramai, serta kehidupannya ditopang aktivitas ekonomi dasar semacam pertanian, peternakan, perikanan. Namun, kampung halaman di sini terkadang saya pakai pula untuk menyebut suatu daerah asal seukuran kabupaten, atau bahkan kota yang berarti merupakan daerah ramai dengan kepadatan penduduk tinggi dan cenderung mengarah hidup dari perkenomian sektor jasa.

Bicara lebih lanjut tentang kampung halaman, seingat saya, saya pernah beberapa kali berjumpa dengan orang-orang yang bisa banyak bercerita ketika ditanya tentang kampung halaman mereka. Kisah mereka itu lengkap dengan sekian cerita suplemen tentang serenteng orang yang mereka kenal, tempat-tempat yang menarik, makanan atau minuman khas, kebiasan-kebiasan warga lokal, hingga fragmen-fragmen tentang pengalaman masa kecil. Semua itu bisa saja mereka dibocorkan dengan senang hati.


Nah, saya untuk waktu yang lama boleh dikata menjadi kebalikan bagian dari golongan di atas tadi. Saya dahulu pernah bingung dan bertanya dalam hati "apa ya yang bisa saya banggakan dari kampung halaman saya?".  Akhirnya, saya selama bertahun-tahun lebih sering menjadi pihak yang terkagum-kagum atau bahkan merasa iri dengan kampung halaman orang lain. Ih, kasian banget ya... Soalnya, menurut saya, kampung halaman saya memang punya banyak kekurangan.


Jalan, Kol, dan Antena
Daerah yang menjadi kampung halaman saya adalah Wonogiri, kabupaten di pojok tenggara Jawa Tengah. Delapan belas tahun pertama dari hidup saya terlalui di sana. Lokasi tepatnya saya lahir dan tumbuh adalah sebuah desa bernama Bero, bagian dari Kecamatan Manyaran. Jarak desa itu dari ibukota Kabupaten Wonogiri adalah 24 kilometer, demikian setidaknya menurut angka pada tugu patok kilometer di seberang jalan rumah saya.


Orang yang belum pernah datang ke desa saya, terlebih orang yang berasal dari kota, jika mendengar deskripsi saya tadi hampir pasti langsung berpikir "wah, ndeso banget ya...". Itu tak salah. Desa saya memang bukan desa yang ramai, lebih lagi menurut kacamata orang kota. Untungnya desa itu itu sejak tahun 1970-an telah terhubung ke ibukota kabupaten dengan dengan jalan aspal. Lorong-lorong kampung pun telah diperkeras memakai aspal maupun cor semen pada antara 1996 dan awal 2000-an. 



Angkutan umum berupa mikrobus pun melayani mobilitas warga ke ibukota kecamatan maupun ke ibukota kabupaten setiap hari sejak 1970-an. Kami lazim menyebut mikrobus-mikrobus itu sebagai kol atau bis mini. Dari dua penyebutan tadi, kol lebih umum diucapkan oleh warga desa saya. Oh ya sebutan kol tidak ada kaitannya dengan kubis, lagi pula desa saya juga bukan daerah penghasil sayur mayur. Kol berasal Colt, tipe pikap milik merk mobil Mitusbishi yang antara 1970-an sampai dengan 1990-an populer dijadikan basis bagi mobil mikrobus. Selain kol, sejumlah bus Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) tujuan Jakarta, baik dari jenis full AC maupun non AC, rutin menjemput penumpang ke sana setiap siang.

Sayangnya, setahu saya, angkutan umum berbasis mikrobus yang melayani desa saya itu mengalami penurunan kualitas layanan. Hingga pertengahan paro pertama dekade 2000-an, angkutan itu tersedia sedari subuh sampai dengan sekitar pukul 5 atau pukul setengah 6 sore. Kini, sebagaimana cerita yang saya dengar dari Ibu, Bapak dan adik saya, kol-kol yang melayani desa ini cuma beroperasi hingga sekitar pukul 15.00. Frekuensi hilir mudik kol-kol itu, juga jumlah penumpang yang mereka angkut, tak lagi sebanyak dulu. Angkutan kol, yang terutama saya akrabi selama enam tahun pada masa SMP dan SMU, saat ini telah tertekan oleh meluasnya kepemilikan kendaraan pribadi terutama sepeda motor di desa saya. Yah, sebagaimana anda tahu, aturan soal pembelian sepeda motor secara kredit dan uang mukanya memang gampang sekali sejak awal 2000-an. Karena itu, alih-alih menumpang angkutan umum, warga desa saya lebih memilih bepergian kemana-mana memakai sepeda motor merek, termasuk ketika menempuh jarak di atas 50 kilometer atau bahkan ratusan kilometer.


Tentang prasarana bidang yang lain, desa saya kalau tak salah baru merasakan sambungan listrik PLN pada 1987. Jaringan air bersih terpipanisasi baru mulai 1998. Jaringan telepon rumah dari TELKOM baru masuk pada 2005, itu pun sebuah blessing in disguise karena perusahaan telekomunikasi plat merah itu butuh mencari ceruk pasar tersisa di antara gencetan pasang naik penggunaan ponsel.  Lalu, sampai sekarang pun, televisi di rumah-rumah sulit menampilkan pilihan kanal televisi yang variatif, jika semata mengandalkan antena teresterial UHF dan VHF, biarpun antena-antena itu sudah dipasang jauh tinggi hingga hampir menyamai pohon kelapa. Menegakkan antena teresterial tinggi-tinggi paling banter bakal menghasilkan hingga lima kanal, itu pun dengan kualitas tayangan yang tak semuanya bebas dari "semut". Tivi di rumah saya contohnya sewaktu masih mengandalkan antena teresterial cuma bisa menayangkan secara jelas kanal TVRI dan SCTV. Kalau pengen liat RCTI atau Indosiar mesti susah payah memutar antena, itu pun cuma berbuah gambar dan suara yang tak jernih. Capek dech...Akhirnya, kalau pengen bisa menonton tivi dengan banyak pilihan saluran ya mau tak mau mesti memasang antena parabola. BERSAMBUNG KE BAGIAN 2... (yoseph kelik)





*Foto diambil dari http://id.wikipedia.org/wiki/Bero,_Manyaran,_Wonogiri


Artikel Berkaitan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar