Jumat, 23 September 2011

Sewot Gara Gara "Kebaya" Kate Middleton



SEORANG kawan saya pada penghujung April 2011 lalu, pernah menulis beberapa kalimat bernada sewot sebagai status Facebook-nya. Hari saat ibu satu putri tersebut menulis status bernada sewot itu adalah satu atau dua hari setelah upacara pernikahan Pangeran William dengan Kate Middleton.

Oh, tapi jangan salah, penyebab sewot perempuan yang kini berusi 24 tahun itu bukanlah karena dia merupakan satu di antara wanita iri terhadap keberhasilan Kate Middleton "menyeret" Pangeran William ke depan altar. Penyebab sewot istri seorang teman dekat saya selama kuliah di Jogja itu adalah
 beberapa komentar dari orang-orang Indonesia, baik di televisi maupun di jejaring sosial, soal kemiripan atau bahkan penyamaan antara gaun pengantin Kate dengan baju kebaya Indonesia. Yang lebih bikin teman saya itu sewot adalah ada pula komentar bahwa gaun Kate sudah biasa dipakai dari dulu oleh orang Indonesia. Padahal, menurut teman saya tadi, lagi-lagi dalam kata-kata bernada sewot, baju yang dikenakan oleh Kate pada pernikahannya berbeda dengan kebaya.

Komentar teman saya dari Semarang tadi ternyata senada dengan penilaian perancang busana asal Jambi, Agustina Oscar (34). Agustina mengatakan hal itu kepada saya pada Sabtu, 7 Mei 2011 lalu. Siang itu, saya bertamu untuk liputan di butik miliknya, Rumah Batik Busana Kriya Sekar Kinanti, Jalan Slamet Riyadi 10, Broni, Kota Jambi, tepatnya seberang kampus Universitas Batanghari (Unbari). Agustina berkata bahwa gaun pengantin Kate Middleton memang tak bisa disamakan dengan kebaya.

"Yang komen menyamakan itu dengan kebayak kan kebanyakan orang Indonesia. Jadi, itu saya anggap sebagai sekadar opini regional dari orang Indonesia," kata istri Edou Pasai tersebut seraya sedikit tergelak.

Lilit
Agustina mengiyakan jika gaun Kate Middleton sepintas memiliki kemiripan dengan kebaya. Namun, katanya, tanpa bermaksud mengecilkan kekayaan budaya Indonesia, orang Indonesia sepertinya tak perlu  sampai terlalu jauh berpikir bahwa gaun tersebut diinspirasi dari kebaya.

"Kita itu sebenarnya awalnya tidak punya budaya memakai pakaian berupa baju lho. Yang ada di sini dulu itu awalnya mengenakan pakaian dalam bentuk lilit berupa kain panjang dan selendang," kata Agustina seraya mengingatkan saya kepada relief-relief penggambaran busana orang Nusantara kuno di candi-candi di Jawa.

Menurut Agustina, kalau menilik dari relief-relief candi di Jawa, yang ada justru banyak orang baik laki-laki maupun perempuan tampil sehari-sehari bertelanjang dada. Beberapa etnis, sepengetahuan Agustina awalnya malah mengenal pakaian sebatas kain yang dililit di sekitar daerah vital menjadi cawat.

Budaya mengenakan pakaian berupa baju sendiri baru menyebar luas di Nusantara seiring masuknya pengaruh Agama Islam. Itu berarti usia penggunaan pakaian berupa baju di Nusantara baru berusia sekitar lima-enam abad. Padahal, pada lima atau enam abad lalu, orang Barat di Eropa, tak cuma wanitanya, tapi juga laki-lakinya, sudah terbiasa mengenakan pakaian yang bertumpuk-tumpuk dan berenda-renda. Termasuk dalam ini adalah pakaian dengan  model lengan, kerah maupun leher yang saat ini mirip dengan yang diaplikasikan di kebaya.

Tiga Budaya
Menurut Agustina, jika ditinjau dari asal usulnya, kebaya Indonesia saat ini sebenarnya adalah baju hasil pertemuan antara tiga budaya. Satu di antara budaya yang memengaruhi itu adalah budaya Barat, lalu Cina, serta Jepang. Itu merupakan hasil interaksi budaya Indonesia dengan tiga budaya tadi.

"Pengaruh Barat itu ada di pemakaian korset, lalu pengaruh Cina ada di kancing kait, sedangkan Jepang di bentuk leher pada kebaya model awal semacam kebaya kartini yang mirip sekali dengan baju dalam kimono Jepang," urai Agustina tentang pengaruh tiga budaya yang meninggalkan jejak di dalam kebaya.

Lanjut Agustina, pengaruh awal bentuk kebaya datang dari budaya Cina. Ini antara lain dapat dilihat dari bentuk tiga model kebaya Indonesia yang pertama yakni kebaya Jawa yang berpenutup dada bentuk persegi (kutu baru), lalu kebaya manado, serta kebaya encim atau kebaya Kartini.

Pengaruh Barat selanjutnya masuk di kebaya-kebaya yang muncul di daerah Betawi dan Sunda. Contoh dari hal ini adalah kebaya none (Betawi) yang berlengan mekar, lalu kebaya Sunda yang berleher tinggi.

Adanya penyamaan antara kebaya dengan gaun pengantin Kate Middleton sebenarnya sedikit mengulang kejadian sekitar lima tahun lalu. Ketika itu film mandarin Curse of The Golden Flower rilis ke pasaran. Ketika itu orang Indonesia lantas menganggap kostum baju berkemben yang dikenakan Gong Li diinspirasi dari kebaya Indonesia. Padahal menurut Agustina, baju berkemben semacam itu sebenarnya memang menjadi pakaian kalangan selir istana di masa Dinasti Tang, seting waktu film tadi.

Kembali ke soal gaun pengantin Kate Middleton, Agustina lebih tertarik melihat hal yang tak banyak dilihat orang. Menurutnya, gaun warna putih itu sebenarnya tak sesimpel yang dilihat banyak orang. Soalnya, bagian bawah dan belakangnya sebenarnya memiliki beraneka bentuk puntir yang cukup rumit, tapi tentu saja cantik. Hmm, pengamatan seorang perancang busana memang berbeda dari pengamatan orang biasa. (yoseph kelik)

*tulisan pernah dimuat di Tribun Jambi pada Minggu, 8 Mei 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar