Senin, 25 November 2013

Mengingat Tesla, Edison, dan Jobs

Oleh Yoseph Kelik


BOHLAM yang kerap menjadi simbol dari ide (foto dari telegraph.co.uk)
DI tengah Amerika Utara, seorang ilmuwan paro baya membangun laboratoriumnya pada pinggir sebuah kota kecil. Pria tadi bereksperimen dengan pembangkit listrik dan jaringannya, membuat kota kecil yang ditinggalinya lantas bermandi cahaya di malam hari.

Semua tadi berlangsung pada tahun-tahun di kuartal terakhir abad XIX. Kala itu, berkah penerangan oleh listrik belumlah jadi menjadi suatu konsumsi massal, apa lagi global. Karena itu, apa yang diperbuat si ilmuwan bagi si kota kecil adalah layaknya mukjizat.

Bahkan si pria jenius tak cuma berhenti membuat mukjizat berupa penerangan listrik atas sebuah kota. Konon, ia bahkan membangun suatu mesin ajaib, yang mampu memindahtempatkan barang maupun makhluk hidup dengan memanfaatkan sengatan listrik.

Sayangnya, aneka eksperimen si ilmuwan di kota kecil tadi kudu terhenti. Ia harus pergi meninggalkan kota itu. Semua gara-gara ulah seorang pria ilmuwan lain, pesaingnya, sekaligus mantan mentor dan bekas atasannya.

Runtutan cerita tadi menjadi bagian dalam film The Prestige: disutradari Christopher Nolan, dibintangi mulai dari Hugh Jackman, Christian Bale, Scarlett Johansson, Michael Caine, hingga David Bowie. Kisah utama film tersebut sebenarnya adalah rivalitas dua pesulap asap Inggris dalam menguasai trik berpindah tempat dalam sekejap. Nah, kisah perseteruan dua ilmuwan di kota kecil di tengah Amerika  Utara adalah sisipannya. Pasalnya, dalam upaya menciptakan trik berpindah tempat yang sesempurna mungkin, satu di antara dua pesulap asal Inggris itu berusaha memanfaatkan jasa ilmuwan yang bereksperimen dengan jaringan listrik di kota kecil di tengah Amerika Utara. Apa lagi kalau bukan menggunakan mesin ajaib yang konon berhasil diciptakan oleh sang ilmuwan.
POSTER film The Prestige (foto dari deviantart.com)
Dua pesulap asal Inggris yang menjadi tokoh utama dalam The Prestige sebenarnya adalah figur-figur rekaan. Beda halnya dengan dua ilmuwan yang saling bersaing. Sosok mereka diinspirasi oleh dua ilmuwan yang terbilang paling terkemuka pada akhir abad XIX hingga awal abad XX: Nikola Tesla dan Thomas Alva Edison. Pada zamannya, nama Tesla serta Edison sungguh identik dengan kejeniusan dan penemuan.

THOMAS Alva Edison dan Nikola Tesla (foto dari contentequalsmoney.com)
*
Good Artist
Dua puluh empat tahun setelah kematian Edison, juga dua belas tahun setelah kematian Tesla, lahirlah seorang bayi laki-laki pada 1955. Kelak, si bayi laki-laki ini akan tumbuh menjadi inovator tersohor di bidang teknologi. Namanya begitu dikenal orang-orang sejagat pada akhir abad XX dan awal abad XXI: Steve Jobs.

Suatu kali, Steve Jobs pernah berucap “good artist copy, great artist steal”. Itu terekam dalam Triumph of The Nerds, sebuah film dokumenter yang dirilis pada 1996 dan bertutur tentang sejarah komputer personal sejak dekade 1970-an. Sebagaimana “stay hungry, stay foolish”, kalimat dengan enam kata tadi akhirnya menjadi satu di antara sekian quotes masyhur dari Steve Jobs.

Namun, tahukah anda bahwa kalimat dengan enam kata tadi sesungguhnya bukan ciptaan orisinal Jobs. Pria kelahiran San Fransisco itu sejatinya cuma mengutip satu ucapan maestro pelukis aliran kubisme, Pablo Picasso, bertahun-tahun sebelumnya. Hanya saja, menurut saya, “good artist copy, great artist steal” tetaplah satu ucapan yang mampu menukilkan spirit kreatif seorang Steve Jobs.

Omong-omong dalam kalimat enam kata tadi Jobs tampak menganggap tampak bahwa mencuri sebagai tindakan yang mengungguli tindakan menyalin alias  menjiplak. Apa ini artinya Jobs seorang yang menghalalkan dan menyarankan tindakan plagiasi atau bahkan mendaku karya cipta orang lain?

Cara pas memahami sabda “good artist copy, great artist steal” agaknya dengan merunut aneka produk  yang diberikan Jobs  kepada dunia, yang pula telah memoncerkan namanya. Jobs ternyata bukan pencipta perdana semua hal itu:

bukan Apple yang merupakan komputer personal pertama, melainkan IBM 610

bukan Macintosh yang merupakan komputer personal pertama dengan graphical user interface dan mouse, melainkan Xerox Alto

bukan iPod yang merupakan pemutar musik digital portabel pertama, melainkan The Audio Player

bukan iTunes Store yang merupakan toko musik daring pertama, melainkan IUMA

bukan iPhone yang merupakan ponsel cerdas berlayar sentuh pertama, melainkan Simon

bukan iPad yang merupakan komputer sabak elektronik pertama, melainkan Dynabook

Begitu pula dalam perihal bagaimana Jobs merevolusi wajah film lepas animasi pada medio 1990-an, yakni melalui film-film produksi Pixar: Toy Story dan kawan-kawannya, yang memberi publik pilihan cerita alternatif selain adaptasi dongeng klasik ala Disney semacam Aladdin atau Beauty of The Beast. Pada dasarnya Jobs banyak meneruskan apa yang telah dikerjakan George Lucas ketika Pixar masih menjadi bagian Lucas Computer.

STEVE Jobs dan karya-karyanya (foto dari magazynt3.pl)
Untuk semua tadi, Jobs rupanya selalu berperan sebagai inovator ketimbang kreator. Hidup Steve Jobs yang berlangsung selama 56 tahun lebih delapan bulan kenyataannya memang berisi banyak rekam jejak seperti itu. Hanya saja, Jobs boleh dibilang selalu berhasil membuat berbagai produk inovatif kreasinya menjadi ikon otoritatif di antara produk-produk sejenis. iPod jadi produk premium di segmen pemutar musik digital. iPhone cenderung diakui sebagai yang tercanggih dan terelok di kalangan ponsel pintar. iPad jadi rujukan utama bentuk dan konsep produk komputer tablet. Sebelum itu komputer personal maupun laptop bikinan Apple selalu pula menyandang status darah biru ketika diperhadapkan dengan para kompetitornya.

Tak Leter Lek
Rupanya “steal” alias “mencuri” yang dimaksud Jobs mesti ditafsir secara tak  leter lek.  Hal yang perlu dicuri bukanlah karya orang lain secara mentah-mentah. Hal yang perlu untuk dicuri sebenarnya adalah gagasan. Dari situ datang tafsir ulang yang termanifestasi dalam wujud baru, fungsi baru, juga pengalaman baru. Hasilnya adalah suatu penyempurnaan yang berkali lipat lebih memikat hati dari karya yang “dicuri” gagasan di sebaliknya.

Bagian terpenting dari mencuri gagasan ala Steve Jobs adalah perhatian sungguh kepada detail. Merujuk kepada buku Steve Jobs: Otak di Balik Kesuksesan Apple tulisan Hermawan Aksan, Jobs percaya bahwa desain yang bagus sama pentingnya dengan teknologi bagus. Perhatian yang dicurahkan Jobs kepada desain memang berada pada porsi yang melampaui perhatian perusahan-perusahaan hi-tech umumnya. Sebagaian besar perusahaan hi-tech tidak serius menggarap desain. Mereka memerlakukan desain sebagai sebagai hal yang bisa dipikirkan belakangan.
BUKU Steve Jobs: Otak di balik Kesuksesan Apple (foto dari bukalapak.com)
Bersangkut paut dengan produk yang akan dilempar Apple ke pasar, Jobs sangat mencermati mulai dari bentuk, sudut, material, pengalaman sentuh maupun genggam, kejernihan suara, hingga bahkan kemasan. Tentang hal tersebut, bab Pendahuluan serta bab 3 buku Inside Steve’s Brain tulisan Leander Kahney sedikit banyak mengisahkannya.
BUKU Inside Steve's Brain (foto dari bookoopedia.com)
Piranti-piranti yang lahir dari tangan diri Steve Jobs, terutama iPod, iPhone, serta iPad, tampak sebagai pengejawantahan kredo Jobs tentang pentingnya desain. Hasilnya memang sungguh produk yang mampu membuat jatuh cinta. Syahdan tak mengherankan jika Apple lantas memiliki berjuta fanboys.

Steve Jobs memang telah meninggal pada 5 Oktober 2011. Namun, ingatan kepada nama serta pencapaiannya tampaknya akan berumur berlipat-lipat lebih panjang dari usia hidupnya, juga lebih panjang dari aneka piranti buatannya. Generasi Y dan Generasi Z, juga generasi-generasi sesudahnya, kiranya bakal terus mengingat Steve Jobs. Sebagaimana orang-orang dari medio abad XIX hingga medio abad XX juga sangat mengingat nama Thomas Alva Edison dan Nikola Tesla, mengidentikkan mereka dengan penemuan.
<<<+>>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar