Selasa, 25 Oktober 2011

Wonogiri, dari Peta Naik ke Hati (3: Sebuah Kabupaten Berbukit-Bukit Kapur)



BUKIT kapur di tepi jalan raya antara Kota Kabupaten Wonogiri dan Kota Kecamatan Wuryantoro
(foto diambil dari  wartaparanggupito.blogspot.com)

Bagian Ketiga dari Lima Tulisan


DAERAH kurang air, tandus, juga penuh dengan bukit-bukit kapur. Rasanya demikian gambaran minus yang kerap segera melintas di bayangan orang dari luar Wonogiri begitu mendengar kata Wonogiri, kabupaten tempat saya berasal. Saya sendiri secara pribadi tak cuma sekali dua kali menemukan secara langsung kejadian semacam itu, yaitu yang menunjukkan atau paling tidak mengindikasikan adanya stereotip minus tentang Wonogiri. Biasanya itu terjadi ketika saya memberitahu teman atau memerkenalkan diri kepada kenalan baru sebagai seorang yang berasal dari Wonogiri.

"O...Wonogiri. Eh, itu yang sering kekeringan ya?" ucap beberapa dari mereka.
Tentu reaksi semacam ini tak muncul pada semua orang. Ada juga yang mengucapkan kata-kata lain sebagai respon mereka. Namun, sekali lagi seingat, identifikasi stereotip Wonogiri sebagai tempat kering, tandus, dan kurang air tak sekali dua kali saya dapati.

Saya sebenarnya acap ingin menanggapi omongan orang semacam itu dengan bilang, 'ah, nggak, bukan daerah kekeringan kok'. Sungguh saya ingin sekali berucap semacam itu. Sayangnya bin sialnya, jika saya berucap demikian tentu saja saya bertindak ngibul.  Fuiiiih...

Sinonimnya Kurang Air
Sekali lagi, sayangnya bin sialnya, jika banyak orang memiliki stereotip bahwa Wonogiri itu kering, kurang air, dan semacamnya, rasanya juga tak seratus persen keliru. Kekeringan di puncak musim kemarau, yang mengerontangkan sumber maupun cadangan air banyak daerah di Wonogiri bagian selatan memang boleh dibilang terjadi setiap tahun. Kondisi kekeringan tahunan tersebut serupa dengan yang terjadi di Pacitan dan Gunung Kidul, dua kabupaten tetangga di dua provinsi lain, yang sama-sama merupakan daerah Pegunungan Seribu. Saking rutinnya daerah Wonogiri selatan mengalami kekeringan dan kurang air, kecamatan-kecamatan yang ada di sana seperti Pracimantoro (Praci) dan Paranggupito pun seolah menjadi sinonim untuk "kekeringan" atau "kurang air".

ANTRE air di wilayah Wonogiri selatan pada saat musim kemarau.
(foto diambil dari  wartaparanggupito.blogspot.com)
Saya ngenes-nya juga nggak mungkin ngibul dan menyangkal tentang adanya fenomena kekeringan tahunan semacam tadi. Pasalnya, gambaran kekeringan semacam itu terus menerus direproduksi sekaligus diamplifikasi setiap tahun oleh pemberitaan media massa. Bagian pemberitaan yang bikin wajah minus Wonogiri nancep di dalam ingatan orang ya pastilah potongan-potongan gambar video di siaran berita televisi, juga foto-foto ilustrasi berita di koran, majalah, hingga situs berita. Gambar-gambar itu biasanya berupa deretan orang mengantre memakai jeriken dan ember-ember ke mobil tangki air, cekungan telaga yang kering sama sekali dan berubah menjadi lapangan bertanah retak-retak sehingga bisa dipakai main bola ramai-ramai. Itu semua masih ditambahi tulisan wartawan atau omongan penyiar atau narator bahwa warga daerah yang mengalami kekeringan banyak yang mesti menjual sapi untuk membeli air.

Sialnya, banyak orang dari luar Wonogiri jadi mikir seluruh wilayah kabupaten seluas 1,8 kilometer persegi dan dihuni sekitar 1,5 juta orang ini sekering dan sekurang air seperti gambar di tivi dan foto di koran.  Aduuuh...aduuuh...ngelus dada.

Hiks, mungkin di antara anda ada yang langsung terbayang dan berucap dalam batin, 'Wah, daerahnya kayaknya cocok banget jadi setting lokasi reality show Jika Aku Menjadi (JAM)-nya TRANS TV ya...'. Aduuuh...ngelus dada lagi... .

Ibukota Kabupaten Wonogiri di mata saya tak pula kota yang langsung memudahkan dalam soal menemukan pede sebagai seorang asli Wonogiri. Soalnya, kota yang menyandang nama sama persis dengan nama kabupatennya, Wonogiri  ini rasanya tak cukup punya keistimewaan yang membanggakan, yang kira-kira pantas dijadikan dijadikan cerita penarik perhatian orang-orang dari luar Wonogiri. Paling tidak demikianlah persepsi saya ketika itu, seorang Wonogiris yang masih belum pede dengan tanah kelahirannya, tertekan oleh stereotip pemberitaan media massa. BERSAMBUNG KE BAGIAN 4... (yoseph kelik)


Artikel Berkaitan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar