Minggu, 04 November 2012

Agar Sungguh Jadi Tempat Mencerdaskan dan Mencerahkan

Oleh Yoseph Kelik



Siswi dari Amrik
SAAT itu bulan Mei 2011, jelang masa Ujian Nasional (UN). Seorang kawan sekantor meliput di SMP Negeri 1 Jambi, sebuah SMP favorit di Kota Jambi. Selain mewancarai kepala sekolah dan beberapa guru, mengumpulkan cerita tentang persiapan yang dilakukan SMP tersebut guna menghadapi UN sang penentu kelulusan para murid kelas IX.

Lalu, kawan itu ternyata menemukan satu di antara ratusan murid SMP Negeri 1 Jambi yang ternyata berkewarganegaraan Amerika Serikat, lahir dan memang besar di negara paman Sam itu.
Namun, gadis itu memang menjalani tiga tahun SMP di Jambi, tempatnya memiliki kerabat. Beberapa lama mengobrol, kawan kantor saya lantas mendengar beberapa cetusan komentar dari gadis bernama lengkap Fatima Phoebe Aguiar tersebut. Sebagian besar dari cetusan itu berisi kritik-kritik lumayan menohok dari Fatima terhadap sistem pendidikan formal Indonesia, hasil komparasinya dengan sistem pendidikan yang berlaku di negara asalnya.

"Terlalu banyak teori yang bersifat hafalan."

"Terlalu banyak pula mata pelajaran yang diajarkan."

Demikianlah dua poin utama yang kurang lebih diomongkan si siswi asal Amrik itu tentang pendidikan formal di sekolah Indonesia. Saya tahu cerita ini setelah membaca tulisan hasil liputan kawan sekantor saya, kemudian masih mendapat beberapa tambahan cerita langsung darinya. Semua itu membuat saya mesem. Pasalnya, dalam hati saya mengiyakannya. Komentar Fatima memang benar adanya.

Jumlah mata pelajaran untuk anak SD saja bisa mencapai sekitar 12. Jumlah mata pelajaran untuk para murid SMP serta SMA lebih banyak lagi dari itu.

Ikut terbayang pula jam-jam panjang yang dulu mesti saya lewatkan setiap hari untuk menerima pelajaran-pelajaran di SD, SMP, serta SMA. Masuk pukul 07.30 dan pulang pukul 12.00 selama SD, bersambung masuk pukul 07.00 dan pulang pukul 13.30 selama SMP dan SMA. Itu belum lagi jam-jam untuk pelajaran tambahan dan ekstra kurikuler.

Hmmm, itu membuat saya menghela nafas panjang. Teringat tentang anak-anak sekolah zaman sekarang. Kabarnya, jam-jam pelajaran yang mesti mereka jalani memang lebih panjang ketimbang zaman saya... .


Dua Tas
Tentang banyaknya mata pelajaran yang mesti dipelajari para murid sekolah di Indonesia, saya pun mendengar cerita dari pihak orangtua. Cerita itu saya dengar pada penghujung Agustus 2012 dari seorang pria paro baya bernama Purmedi. Warga Kota Jambi ini masih memiliki seorang anak yang duduk di bangku sekolah dasar. Sang anak tepatnya bersekolah di SD Xaverius 1 Jambi di daerah Pasar, Kota Jambi.

"Kalau berangkat sekolah, semua buku-bukunya, dari buku tulis, buku pelajaran, sampai buku tugas dan LKS itu butuh dibawa dengan dua tas," kata Pak Purmedi tentang beban bawaan rutin anaknya setiap bersekolah. Imbuhnya, anaknya memang mesti membawa buku sebanyak itu

Mendengar cerita saya sedikit melongo selama sedetik-dua detik. Beberapa pertanyan pun berkelebat dalam kepala. Wah, dua tas? Buku-buku sebanyak dua tas? Berapa banyak anak yang mesti membawa tas sekolah sebanyak dan seberat bawaan rutin anak Pak Purmedi?

Saya jadi teringat artikel yang pernah saya baca di situs berita viva.co.id tentang bahaya tas sekolah anak yang terlampau berat. Dalam artikel itu diceritakan bahwa tas anak sebaiknya tak sampai bobot lebih dari 15 persen berat badan anak yang memanggulnya. Soalnya, jika terlalu sering memanggul tas yang terlalu berat, seorang anak akan mudah lebih rentan mengalami gangguan punggung ketika mereka berusia remaja dan sesudahnya. Entah itu sekadar nyeri punggung biasa atau malah sampai berupa patologi tulang punggung yang cukup parah semacam skoliosis, yakni tulang punggung melengkung membentuk semacam huruf S.Itu merujuk kepada satu saran yang diberikan sebuah badan amal asal Inggris yakni BackCare.

Saya yakin dua tas berisi buku-buku adalah beban yang telalu berat untuk dipanggul seorang anak. Niat untuk mencerdaskan anak, mengenalkannya dengan bermacam ilmu, ternyata justru bisa berujung kepada cedera tulang punggung. Aduh...

Namun, saya masih menyimpan satu doa baik. Semoga saja tas bawaan berat anak Pak Purmedi bukanlah dari jenis tas bunggung atau tas selempang. Semoga saja tasnya datang dari jenis koper beroda berhandel tarik, yang beberapa tahun terakhir ini sedang jadi tas sekolah anak paling ngetren, yang cukup dibawa dengan cara diseret, tak perlu dibopong atau dipanggul. Semoga saja begitu... .      

MURID SEKOLAH DASAR
Cenderung Teoritis
Cerita dari Pak Purmedi tak sekadar berhenti pada dua tas bawaan rutin anaknya kala bersekolah. Darinya saya masih mendengar lagi gambaran umum tentang jalannya pendidikan di tingkat SMP dan SMA serta yang sederajat. Pak Purmedi bisa menceritakannya karena sehari-harinya ia menjabat Kepala SMP dan SMA Xaverius 1 Jambi. Dua sekolah itu yang dipimpin Pak Purmedi itu terbilang SMP dan SMA swasta favorit di Jambi, bernaung di bawah Yayasan Xaverius Palembang.

Banyak dari alumnus SMP dan SMA yang berlokasi daerah Beringin ini melanjutkan pendidikan mereka ke luar negeri. Soalnya, tak sedikit murid sekolah itu yang berasal dari kalangan etnis Tionghoa kaya, dengan orientasi pendidikan tinggi di Singapura, Australia, hingga Amerika Serikat.

"Kalau denger cerita dari anak-anak lulusan sini yang sekolah di luar negeri, anak-anak Indonesia biasanya unggul ketika tahun pertama. Itu karena tahun pertama itu masih banyak teorinya, sedangkan anak-anak Indonesia memang kuat pelajaran teori dan hafalannya," kata Pak Purmedi ketika berbagi cerita kepada saya yang bertamu ke ruang kerjanya pada penghujung Agustus 2012.

"Tapi, anak-anak Indonesia lalu mulai keteteran tahun-tahun sesudahnya ketika makin banyak prakteknya. Soalnya di Indonesia pelajaran-pelajarannya kurang prakteknya," sambung pria paro baya asal Lampung itu. Rujukan si bapak kepala sekolah tersebut adalah pengalaman sejumlah anak didiknya yang melanjutkan kuliah di bidang sains dan teknologi di sejumlah negara maju. Cerita itu terdengar olehnya maupun para guru koleganya kala beberapa anak didiknya semasa SMP maupun SMA pulang kampung ke Kota Jambi.

Sang kepala sekolah tadi lanjut berpendapat bahwa energi para murid sekolah Indonesia memang terlalu terserap oleh banyaknya mata pelajaran. Yang mana setiap mata pelajaran juga cenderung menekankan kepada pengajaran teoritis. Tentang hal ini, selain masih kurangnya sesi praktek dalam pengajaran mata pelajaran sains, Pak Purmedi  mencontohkan pula kelemahan pengajaran yang mengedepankan teori pada problem menahun dalam pengajaran bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.

Bahasa Inggris diajarkan bertahun-tahun. Pada setiap tingkatan, mata pelajaran bahasa pergaulan internasional ini diajarkan. Dulu, mata pelajaran tersebut paling tidak diajarkan sejak bangku SMP. Kini, mata pelajaran itu malah diajarkan sedari SD. Nyatanya, lamanya menerima pelajaran bahasa Inggris itu tak lantas selalu menghasilkan banyak orang Indonesia yang casciscus dalam berbahasa Inggris. Problem tersebut dilihat Purmedi memiliki kaitan dengan kurikulum pengajaran bahasa Inggris yang sempat sangat bertitik berat ke soal grammar alias tata bahasa, plus cenderung pula kepada pengujian secara tertulis, bahkan banyak di antaranya pilihan ganda. Itu berimbas kepada cenderung kurang terbiasanya murid untuk berkomunikasi aktif alias berbicara dalam bahasa Inggris.

"Sekarang memang sudah mulai ada perubahan, tidak terlalu lagi berat ke grammar," kata pria yang memang memiliki latar belakang sebagai guru bahasa Inggris tersebut. Maka, sudah sepantasnya jika ia menaruh perhatian lebih kepada pengajaran bahasa Inggris.

Kemampuan bahasa Indonesia para murid sekolah Indonesia juga tak luput dari perhatian Purmedi. Kali ini, soal berbicara mungkin tak menjadi soal bagi siswa. Banyak di antara siswa tentu mengenal bahasa Indonesia sedari kecil, menggunakannya dalam keseharian, biarpun mungkin dengan dialek lokal di lingkungan mereka masing-masing. Namun, dalam soal bahasa tulis, terlihat bahwa para siswa masih keteteran. Salah ejaan dalam penulisan berbagai kata kenyataannya masih kerap ditemukan.


Perkenalan Tidah Utuh
Menurut pendapat saya, problem dalam bahasa Indonesia tadi boleh dibilang punya akar masalah yang sama dengan yang terjadi pada pengajaran bahasa Inggris. Esensi mendasar bahasa sebagai alat komunikasi sempat terlalaikan. Fokus pengajaran telalu banyak tersedot ke perihal tata bahasa, bahkan sampai ke serangkaian hafalan ilmu linguistik dasar seperti jenis-jenis majas dan semacamnya. Cara menggunakan bahasa itu sendiri secara fungsional, yakni berbicara maupun menulis, malah justru kurang diasah.

Tentang hal tersebut, para guru bukanlah pihak yang dapat disalahkan. Kenyataannya para guru sering dikerangkeng gerak dan kreativitas mereka. Semua itu oleh satu makhluk bernama kurikulum.

Jika mengingat masa bersekolah di SMP dan SMA dulu, maka satu contoh perbuatan kurikulum yang mengerangkeng gerak, juga bikin saya kurang sreg, ada pada pengajaran bahasa Indonesia. Itu tepatnya pada penerapan bentuk soal tes yang dipakai membahas tentang karya sastra. Kerap muncul pertanyaan-pertanyaan mengenai pesan, unsur-unsur intrinsik, hingga sejarah penulisan suatu karya sastra. Itu bisa tentang satu buku novel, cerpen, cerbung, atau puisi karya seorang pengarang terkenal.

Sayangnya, soal-soal yang sebenarnya telaah sederhana terhadap suatu karya sastra ini didasarkan sebatas kepada sepenggal potongan karya sastra yang bersangkutan. Penggalan itu dilekatkan di dalam buku pelajaran, LKS, atau lembar soal tes. Namun, tampaknya tak pernah ada upaya dari pihak guru, juga kurikulum pendiikan yang berlaku secara nasional, untuk menggiring para murid sekolah benar-benar membaca secara utuh karya sastra aslinya.

Karena itu, ibarat berkenalan dengan orang, perkenalan yang terjadi pun tidak utuh. Tidak menghasilkan pemahaman hingga sifat-sifat yang terdalam. Para murid pun akhirnya dibiarkan mengingat karya-karya sastra yang dibacanya sepenggal-sepenggal sebagai bagian soal-soal selama sekolah. Tak lebih. Kalau pun ada murid yang lantas tertarik untuk membaca lebih lengkap, semua itu dipasrahkan kepada inisiatif para murid. Murid-murid bisa jadi hafal bahwa Layar Terkembang merupakan novel karya Sutan Takdir Alisyahbana, lalu Salah Asuhan merupakan novel karya Abdul Muis. Namun, soal isinya, semuanya nol. Tak benar-benar ada rancangan serius agar para murid membaca karya-karya tadi..

Di saat bersamaan, kurikulum pendidikan bahasa juga terasa kurang mengikuti perkembangan zaman. Ketika sebenarnya di luar dunia sekolah telah lahir karya-karya sastra maupun buku ilmu pengetahuan lainnya yang lebih populer, kurikulum justru tetap terpaku kepada contoh-contoh berupa karya-karya lawas. Payahnya, karya-karya lawas itu telah kurang diakrabi oleh para siswa, pun lebih banyak dikenal secara sepenggal-sepenggal sebagai nukilan dalam buku-buku pelajaran.

Sayang sekali semua ini terjadi. Bahkan berlangsung selama bertahun-tahun. Padahal karya sastra, juga buku-buku lainya, sebenarnya adalah dokumentasi bahasa yang paripurna. Di dalamnya ada beribu contoh kalimat, juga segunung contoh kata. Artinya, ia bisa juga menjadi media untuk belajar. Tak cuma soal bahasa, tapi juga dalam hal menyerap dan merenungkan gagasan yang disampaikan penulisnya.


Membaca dan Mengarang
Kembali mendekatkan para anak sekolah kepada buku alias membiasakan mereka untuk membaca kiranya adalah solusi untuk perbaikan carut marut tadi. Malah saya yakin bahwa anak-anak sekolah memang harus "dipaksa" untuk membaca buku. Dalam bahasa yang lebih halus itu dapat berarti anak-anak tersebut diarahkan atau dibiasakan membaca buku.

BUKU (foto oleh Hanif Burhani)
Itu tadi adalah sebuah pilihan langkah yang saya yakini bakal menghasilkan perbaikan fundamental. Mengapa demikian. Itu karena bagi saya buku pada dasarnya adalah sebentuk gagasan yang disampaikan secara mendalam kepada pembacanya. Umumnya buku, entah itu karya sastra maupun buku pengetahuan text book juga dihasilkan sang penulisnya setelah mengalami proses perenungan dan pemikiran yang tak sebentar.

Saya percaya membaca buku pada dasarnya pelajaran tentang berpikir menurut logika yang benar, juga menyampaikan pendapat secara meyakinkan. Melalui sebuah buku, penulis pada dasarnya bernarasi, memberi persuasi, serta berargumentasi kepada pembacanya. Penulis mencoba memengaruhi pembacanya untuk memercayai apa yang disampaikanya. Di sisi lain, pembaca dalam proses pembacaannya memiliki pilihan antara percaya sepenuhnya kepada tuturan penulis, percaya sebagian saja, tidak percaya sama sekali dan memilih abai, atau bahkan membantah secara lisan maupun tertulis. Hanya saja, proses dialektika antara penulis dan pembaca ini secara umum berlangsung di dalam senyap. Kedua pihak tetap punya hak-haknya masing-masing. Penulis berhak berceramah panjang lebar lewat tulisannya. Sebaliknya pembaca berhak memilih antara menyimak atau bahkan mengabaikan sama sekali ujaran sang penulis.  Ini bukan sesuatu yang serupa dengan perbincangan antara dua pihak yang bisa saja memanas dan berubah menjadi adu mulut saling berbantah.

Apa yang saya percayai tadi sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Paling tidak sistem pendikan yang berlaku pada zaman Hindia Belanda memercayai faedah dari hal yang saya percaya tadi. Tentang itu agaknya bisa kita simak dari uraian sastrawan Taufik Ismail tentang kewajiban membaca dan menulis di lingkungan sekolah menengah zaman Hindia Belanda. Hal itu dibeberkan Taufik Ismail dalam orasi kebudayaan bertitel Membebaskan Anak Bangs dari Rabun Membaca dan Pincang Mengarang, yang dibacakan pada 23 Desember 2008 di Dewan Kesenian Sumatera Barat, lalu diulang Taufik kembali lewat makalah bertitel Dari Pasar Djohar ke Djalan Kejaksaan dalam Seminar Nasional Pembelajaran Satra yang Komunikatif dan Kreatif di Universitas Negeri Semarang, 7 Juni 2009.

Menurut Taufik, semasa zaman sekolah AMS Hindia Belanda, contohnya pada dekade 1930-an dan awal 1940-an, setiap murid diwajibkan membaca buku sebanyak 25 judul dalam kurun 3 tahun. Tak cuma membaca, seiring dengan itu para murid pun diwajibkan untuk menulis sebuah karangan setiap pekan, yang artinya 18 karangan sesemester, 36 karangan setahun, serta 108 karangan dalam 3 tahun. Jadi membaca dan mengarang dijadikan sepasang kegiatan nan sinergis bagi para murid sekolah zaman itu.

Hasilnya ternyata memang luar biasa. Sejumlah tokoh besar pendiri negara Indonesia kenyataannya terdidik dalam sekolah-sekolah yang menerapkan aturan membaca dan mengarang nan spartan semacam tadi. Daftarnya meliputi Soekarno, Mohamad Hatta, Sutan Sjahrir, hingga sederet nama pahlawan republik ini. Mereka adalah-adalah sosok-sosok cerdas, intelek, bervisi ke depan, menguasai berbagai bahasa asing, umumnya juga piawai dalam urusan berbicara di depan umum maupun menulis.

Jika aturan sinergi membaca dan mengarang nan spartan ala sistem pendidikan zaman Hindia Belanda terbukti pernah menghasilkan orang-orang hebat, mengapa kita sekarang yang hidup di zaman Indonesia merdeka tak mencoba mengikutinya kembali? Jumlah 24 buku bacaan dalam tiga tahun serta 36 karangan setahun dapat dijadikan sebagai patokan kurang lebihnya. Jumlahnya bisa persis seperti angka-angka tadi, sedikit dikurangi atau malah mungkin ditambah sepertinya juga tak ada salahnya. Namun, yang jelas juga perlu memertimbangkan tingkatan usia. Yang terpenting, murid-murid dibiasakan hidup dalam sistem yang mengakrabkan mereka dengan aktivitas membaca maupun mengarang.

Soal pilihan daftar buku yang harus dibaca bervariasi pula sesuati tingkatan usia. Penentuanya bisa terbagi menjadi sebagian ditentukan secara wajib secara nasional, sebagian ditentukan daerah memertimbangkan kekhasan daerah setempat, lalu sebagian sisanya bisa saja ditentukan juga oleh pihak sekolah. Isi daftar tentunya adalah bacaan yang memiliki nilai-nilai kontributif bagi bangsa dan negara. Itu dari mulai semangat cinta tanah air, taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, jujur, anti korupsi, kewirausahaan, dan sebagainya. Setiap tahunnya demi mengikuti perkembangan zaman, daftar buku dicek ulang dan diperbarui isinya, mana yang tetap dipertahankan, juga mana yang mesti diganti.


Mengakomodasi Film
Mengikuti perkembangan masa kini, boleh jadi perlu juga mengakomodasi keberadaan film entah itu film cerita maupun dokumenter yang dianggap bermutu. Sejumlah film berkualitas bagus bisa saja turut disisipkan melengkapi daftar buku bacaan wajib.

Tentang buku-buku maupun film-film tadi tentunya perlu juga mengakomodasi beberapa bahasa. Jadi tak cuma buku atau film berbahasa Indonesia. Sepertinya perlu juga menikmati bacaan atau tontonan film berbahasa asing dan bahasa daerah. Dengannnya kegiatan membaca dan menonton wajib ini bisa menjadi sarana belajar bahasa, khususnya dalam memerkaya kosakata bahasa-bahasa yang dipelajari.

Yang jelas, dari buku-buku yang dibaca maupun film-film yang ditonton, para siswa tetap diwajibkan membuat karangan-karangan. Beberapa di antaranya tentu saja adalah review dari bacaan-bacaan maupun tontonan yang dipelajari. Beberapa dari karangan perlu pula untuk dipresentasikan sang murid secara terbuka di depan murid-murid yang lain. Itu adalah menguatkan kemampuan berpendapat serta berbicara di depan umum.

Oh ya, akan bagus juga jika sekolah pun menetapkan daftar bacaan dan tontonan tambahan yang bersifat opsional. Siswa tak mesti membaca dan menontonnya sebagai buku-buku dan film-film yang diwajibkan. Hanya saja, jika setelah mampu merampungkan daftar wajib, mereka kemudian mampu membaca dan menonton isi dari daftar opsional, lalu membuat review-nya, mereka akan beroleh nilai tambahan dalam catatan pihak sekolah.


Lebih Aktif
Jika pendidikan di sekolah menerapkan aturan tentang daftar bacaan dan tontonan wajib semacam itu, saya yakin akan muncul siswa-siswa yang lebih aktif, kontemplatif, sekaligus kompetitif. Pasalnya keseharian mereka saat bersekolah memang dituntut untuk punya punya inisiatif serta belajar langsung secara mendalam dari bacaan serta tontonan yang diwajibkan bagi mereka.

Pola semacam ini juga memungkinkan pengurangan dan pemadatan jumlah pelajaran bagi para siswa. Pada akhirnya jam pelajaran bagi para siswa bisa pula dikurangi. Besar pengurangan di dua bagian itu boleh jadi bisa sampai sebesar 30 atau 40 persen. Pelajaan terutama dapat berfokus kepada matematika, sains dasar, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, sejarah, budi pekerti dan kewarganegaraan. Selebihnya, siswa diberi kesempatan memelajari sejumlah pelajaran yang bersifat pilihan sesuai minatnya. Dengan ini, tas sekolah anak tentunya bakal jadi lebih ringan. Lalu, jam-jam pelajaran yang dihilangkan dapat dimanfaatkan sebagai waktu ekstrakurikuler, juga sebagai waktu membaca buku atau menonton film wajib bagi siswa.

Fungsi lembaga sekolah dan para guru tak berarti terhapuskan dengan konsep semacam ini. Jika konsep tadi diterapkan, sekolah justru membutuhkan guru-guru yang juga aktif mengikuti perkembangan pilihan bacaan dan tontonan para muridnya, juga tak ketinggalan mengikuti berbagai perkembangan teknologi terkini yang diakrabi anak-anak didiknya.

Sekolah tentunya tetap perlu dibutuhkan dalam mengakomodasi aneka kegiatan yang membantu murid-murida dalam mengenal arti penting bekerja sama, hal yang nantinya penting dikuasi saat masuk dunia kerja serta bermasyarakat. Sekolah contohnya dapat membantu tumbuh kembang berbagai organisasi dan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler bagi para siswanya.

Dengan semua itu tadi, sekolah tak cuma menjadi sebuah tempat penitipan anak-anak dan remaja yang orangtuanya sibuk bekerja. Sekolah akan sungguh menjadi tempat yang mencerdaskan dan mencerahkan bagi para siswanya.


   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar