BAGI kaki-kaki
bersandal jepit, pintu-pintu kantor di Indonesia bukanlah benda yang rela
menjadi pintu biasa. Pintu-pintu itu lebih memilih berlaku layaknya gerbang
perbatasan dari suatu negeri tak ramah. Begitu enggan mengizinkan wilayah di
sebalik pintu untuk dilongok, apa lagi dikunjungi, oleh kaki-kaki bersandal
jepit. Seolah si pintu adalah garis lintang utara 38 derajat, sedangkan wilayah di sebalik pintu itu adalah Korea
Utara.
Penegas status sebagai perbatasan itu lazimnya adalah plakat
atau tempelan kertas, berisi larangan penggunaan sandal jepit.
Kalau tak ada
itu, atau kalau butuh lebih dari itu, hardikan petugas sekuriti atau staf
kantor lah yang akan memberitahukan larangannya. Maka, visa untuk akhirnya
dapat memasuki “Korea Utara” tadi hanyalah
menanggalkan si sandal jepit, menggantinya dengan sepasang sepatu. Soal ini,
saya sendiri masih ingat bagaimana tempelan kertas larangan menggunakan sandal
jepit bertebaran di beberapa bagian kampus saya semasa kuliah: ada pintu kantor
administrasi, ruang jurusan, juga dekanat.
Sandal jepit di lingkungan institusi resmi di Indonesia memang
selalu dianggap sundal. Lekat dengan stigma sebagai jenis alas kaki yang kurang
sopan. Kerap diolok sebagai sandal WC, alas kaki ketika berak.
Urusan pelarangan sandal jepit semacam itu sempat mendadak jadi ramai di antara khalayak pada tengah Februari 2013. Gara-garanya
adalah apa yang menimpa Oce Madril pada Kamis, 7 Februari 2013. Dosen Fakultas
Hukum UGM itu dilarang masuk Kantor Imigrasi Yogyakarta ketika hendak mengurus
paspor. Alasan pelarangan karena pria yang merupakan juga peneliti di Pusat
Studi Anti Korupsi (Pukat) UGM itu datang cuma beralaskakikan sandal jepit. Ini
jadi ramai di khalayak karena pemberitaannya nongol di berbagai media, pun Oce
Madril lantas mengadukan pelarangan tadi ke Ombudsman RI Perwakilan DIY. Oce
Madril bersikukuh pelayanan publik tak selayaknya hilang atau tertunda hanya
karena seseorang bersandal jepit.
Publik tampaknya terbelah menanggapi insiden Oce Madril. Ini
paling tidak jika saya amati dari satu berita tentang insiden itu di satu situs
berita besar nasional, yang sampai dikomen oleh tak kurang dari 350 orang. Ada
yang mengamini pendapat Oce Madril, pula menyeru supaya pelayanan publik tak
lagi perlu terlalu merewelkan hal-hal semacam sandal jepit. Sebaliknya, ada
yang menganggap pelarangan penggunaan sandal jepit di institusi resmi sudah
sewajarnya, justru Oce Madril lah yang kemudian mereka ledek membesar-besarkan
perkara.
Namun, di antara silang pendapat itu, saya tertarik dengan
satu komen yang menurut saya cukup arif. Komen itu menyetujui argumen Oce
Madril, namun sekaligus masih memaklumi aturan berpakaian yang diterapkan di
suatu institusi. Pemilik komentar itu lantas mengusulkan jalan tengah berupa
penyediaan peminjaman sepatu atau jas untuk digunakan warga pengguna jasa yang
dianggap memakai pakaian kurang pantas menurut institusi yang didatangi.
Menurut saya sih usulan itu pantas untuk dipikirkan berbagai instusi di
Indonesia, jika mereka menerapkan standar penampilan dan kerapian tertenti bagi
yang warga mendatangi kantor mereka, tapi tanpa harus terlihat arogan ketika
menerapkan aturannya.
Lagi pula, biarpun sandal jepit sering dihina, kenyataannya tak
sedikit pegawai kantor di Indonesia yang suka menggunakannya, paling tidak
mencuri-curi waktu memakainya, di sela-sela jam kantor. Bahkan, itu termasuk di
kantor yang beberapa pintunya dihiasi plakat larangan memakasi sandal jepit.
Itu karena sandal jepit lebih mudah ketika mesti diajak ke kamar kecil untuk
urusan buang air kecil, juga lebih bersahabat untuk urusan berwudhu jelang
sholat. Selama tiga tahun bekerja di satu provinsi di pantai timur Sumatera,
saya berkali-kali melihat pegawai kantor bersandal jepit di kantor pada jam
kerja. Itu saya lihat di kantor lingkungan pemerintah provinsi, pemerintah
kota, dan pemerintah kabupatan. Yah, sandal jepit resminya mungkin dibenci,
tapi sebenarnya banyak juga mencintainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar