Selasa, 20 September 2011

Cokelat, Hijau, Biru dan Putih Komplek Percandian Muaro Jambi


ADA cokelat kemerahan tumpukan bata kuno, ada pula hijaunya rumput dan pepohonan. Paduan warna tersebut lantas bertemu dengan biru-putihnya langit di atas kepala. Inilah nuansa warna  yang terasakan kala menyambangi Komplek Candi Muaro Jambi yang terletak 26 kilometer arah timur laut Kota Jambi.

Ini sebenarnya bukanlah ungkapan yang terlalu berlebihan. Candi-candi utama yang telah terpugar di situs purbakala yang termasuk wilayah Desa Muara Jambi, Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi ini berdiri di sebuah areal luas berumput. Di tepi lahan yang sepintas mirip padang golf tersebut ada kebun-kebun berpohon lebat milik
para warga sekitar. Selain itu, langit biru dan mega- mega tampak membentang luas selama cuaca cerah.

Paling tidak demikianlah yang saya rasakan ketika belasan kali berkunjung kemari sejak April 2010. Hanya ada tiga pedagang serta belum banyaknya fasilitas tambahan penunjang kepariwisataan semacam toilet umum, gazebo, lampu taman, dan wahana permainan anak kadang terasa sebagai berkah tersendiri bagi tempat ini. Segala keminimalisan itu justru mampu menjaga aura dan aroma masa lalu milik percandian dari zaman Melayu Kuno itu, lebih lagi pada hari-hari selain akhir pekan dan hari libur.

Lebih dari setahun sejak kunjungan pertama saya kemari, telah banyak penambahan fasilitas. Ada jalur jalan yang lebih apik. Ada juga fasilitas becak dan sepeda bagi para pengunjung yang berkeliling komplek. Terakhir, pada medio 2011, satu candi di komplek percandian ini yakni Candi Kedaton dipugar, meski belum rampung. Di antara proses pemugaran tersebut, ditemukanlah sejumlah peninggalan kuno, dengan yang tepenting adalah tiga buah makara alias hiasan kaki tangga candi. Namun, semua perkembangan ini jika sejauh ini belum sampai mengubah situs percandian di dekat Sungai Batanghari tersebut menjadi objek wisata penuh polesan seperti halnya di banyak tempat di Jawa.

Balik ke kunjungan saya kali pertama ke komplek situs percandian ini, saya pernah mendengar komentar yang justru mensyukuri kondisi minimalis Kompleks Percandian Muaro Jambi.

"Walau sekarang candi-candi itu tak lagi utuh bentuknya, saya sangat bisa memakluminya. Candi-candi ini kan sudah sangat tua. Kata guide yang tadi sempat menemani saya, umurnya sudah seribu tahun lebih, dua belas abad. Saya malah kagum, setua itu ternyata masih ada sisa-sisanya," komentar pengunjung berusia 30 tahunan bernama Arif Wibowo itu. Pria ini adalah seorang warga Surabaya, Jawa Timur yang April 2010 itu tengah mengunjungi seorang kerabatnya di Jambi. Imbuh pria yang berprofesi sebagai wirausahawan bidang pertanian itu, kemampuan batu-batu bata Candi Muaro Jambi melewati masa lebih dari satu milenia merupakan nilai lebih jika dibanding candi- candi batu bata di provinsi asalnya.

Selain masih kental beraroma masa lalu, berjalan-jalan dari candi ke candi pun di komplek ini tak harus direcoki oleh bujuk rayu agresif para pedagang kaki lima dan pengasong. Padahal, suasana demikian telah menjadi pemandangan harian di dua candi di Jawa yang telah sungguh menjadi objek wisata, yakni Borobudur dan Prambanan,  .

Penilaian ini antara lain datang dari Jumadi (22), mahasiswa  Institut Agama Islam Negeri Sultan Thaha Saifuddin (IAIN STS) Jambi.

"Di Borobudur sudah terlalu banyak pedagang," kata Jumadi. Sekitar empat tahun lalu, Jumadi memang sempat berplesir  ke candi Budha di Magelang tersebut dalam kunjungannya ke sejumlah kerabatnya di Jawa Tengah.

Jumadi memuji Candi Muara Jambi sebagai candi yang asri. Karena itu, ia mengaku tak bosan mendatangi komplek candi yang termasuk dalam wilayah Desa Muara Jambi, Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi itu. Seingatnya, ia paling tidak telah delapan kali berkunjung ke percandian yang sering diperbandingkan dengan Komplek Angkor Wat di Kamboja tersebut.

Seorang kawan Jumadi, Suhaibatul Aslamiyah (21), mengapresiasi beberapa perbaikan kecil yang terjadi di Komplek Candi Muara Jambi. Gadis berjilbab itu mengapresiasi papan keterangan setiap candi yang kini telah memuat penjelasan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Beberapa waktu lalu ketika berkunjung ke sana, seingat pemilik nama panggilan Ibah itu, papan keterangan setiap candi hanya memuat penjelasan berbahasa Indonesia.

"Kalau seperti sekarang ini membawa kawan dari luar negeri, kita tak perlu terlalu lelah memberi penjelasan," kata gadis yang mahir berbahasa Inggris tersebut seraya menambahkan bahwa isi penjelasan sebaiknya diperlengkap.

Harapan dari Ibah tersebut senada dengan keinginan seorang wisatawan berusia 20 tahunan awal asal Aceh bernama M Ridwan Anwar. Mahasiswa Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh tersebut mengaku tak puas dengan papan keterangan candi yang hanya berisi tentang informasi yang terlalu umum, yakni sebatas koordinat candi, gambaran singkat fisik serta sejarah singkat penemuan.

"Akan lebih bagus jika papan tersebut berisi juga cerita tentang fungsi bangunan candi pada di masa lalu, " usul Ridwan. Menurutnya, hal semacam itu akan lebih mampu membantu pengunjung candi merasakan atmosfer seribu tahun silam, yakni ketika Sriwijaya dan Melayu Kuno masih tegak. (yoseph kelik)

*foto Candi Gumpung di Komplek Situs Percandian Muaro Jambi diambil dari http://herulegowo.wordpress.com


Artikel Berkaitan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar