Minggu, 14 Agustus 2011

Tradisi Berumur Sembilan atau Sepuluh Windu (2)

TAK benar-benar ada tahun pasti tentang awal mula tradisi pawai topeng kala Lebaran di Desa Muara Jambi. Hanya saja dalam penelusuran yang dilakukan para pemuda Desa Muara Jambi sekitar dua tahun silam, yakni dengan cara mewancarai para sesepuh desa, didapati ingatan sejarah lisan tradisi tersebut telah ada di dekade 1930-an. Ini berarti umur tradisi paling tidak adalah sembilan atau sepuluh windu.

Penelusuran dua tahun lalu itu dilakukan para pemuda ketika hendak menyusun semacam sinopsis sejarah siangkat tradisi topeng desa mereka. Mereka melakukan hal tersebut sebelum menampilkan seni topeng ala desa mereka dalam pawai pembangunan di Sengeti pada 17 Agustus 2008 serta pawai pembangunan di Kota Jambi sehari setelah itu. 

Ketua Paguyuban Topeng Desa Muara Jambi, Mukhtar Hadi (27) alias Borju mengatakan hal tersebut kepada Tribun pada Jumat (10/9) sekitar pukul 17.30. Ketika itu, Borju beristirahat di ruang tamu rumah seorang warga seusai berpawai topeng keliling kampung. Enam orang dari pemain topeng maupun pemain musik pengiring ada bersama Borju ketika itu.

Menurut Borju, seorang sesepuh kampung dari RT 09 bernama Hasan Apek (87) berkata kepada para pemuda bahwa warga Desa Muara Jambi pernah diundang untuk bermain topeng oleh para pembesar Belanda di Kota Jambi pada sekitar 1937. Konon yang mengundang mereka saat itu adalah Residen Jambi sendiri.

Tempat mereka bermain topeng warga Desa Muara Jambi saat itu adalah daerah sekitar Tanggo Rajo, Kota Jambi saat ini. Seorang sesepuh lain di Desa Muara Jambi, yakni Datuk Sahak (79), berbagi cerita yang kurang lebih sebangun dengan kisah tadi kepada Tribunpada Jumat sore itu. Sepengetahuan pria sepuh kelahiran 1931 itu, tradisi bermain topeng telah dimainkan warga Desa Muara Jambi sejak ia masih anak-anak. Seingatnya lagi, orang cuma bermain topeng semasa penjajahan Jepang, yakni 1942 sampai dengan 1945.

"Jaman Jepang kan cari makan saja susah. Jadi, mana terpikir untuk bermain topeng," kata Datuk Sahak  yang bermukim di RT 03 Desa Muara Jambi kepada Tribun. Dulu, terutama ketika ia masih anak-anak dan pemuda, orang-orang belum biasa memberi uang kepada para pemain topeng. Orang-orang kampung sekedar memberi makanan semacam kue-kue kepada para pemain topeng yang umumnya berjumlah lima hingga belasan orang .

Namun, seingat Datuk Sahak tak banyak perbedaan bentuk topeng dan kostum yang dikenakan para pemain topeng. Topeng tetap terbuat dari  kulit labu kering, juga berhiaskan ijuk sebagai rambut, kumit dan jenggotnya. Hanya saja, ketika itu tentu saja belum dikenal topeng dari kardus.  Tentang alat musik pengiring yang dipakai di masa lalu, Datuk Sahak menyebut gong dan biola sebagai instrumen utama.   

Tampil sebagai pemain topeng yang berkeliling kampung setiap Lebaran menjadi tradisi turun temurun bagi para lelaki di Desa Muara Jambi. Tak mengherankan jika rata-rata pemain topeng desa itu memiliki ayah pula yang dulunya bermain topeng kala Lebaran. Ini dikatakan kepada Tribun oleh seorang warga dari RT 05 Desa Muara Jambi, yakni Abu Jamani (56) yang biasa dipanggil Kulup Uap.

"Saya sendiri bermain topeng dari kelas III Sekolah Rakyat sampai menikah di umur dua puluhan," kata Abu Jamani setelah mengingat-ingat. Jika dihitung-hitungnya, ia bermain topeng sekitar 15 tahun. 

Antara Kusta dan Pejuang
Tentang latar belakang permainan topeng ini ada dua versi yang beredar di masyarakat. Versi yang paling populer menurut cerita yang didapat Borju dari Hasan Apek, adalah bentuk kenangan warga Desa Muara Jambi terhadap para penderita kusta.

Dulunya, mereka yang terkena kusta di Desa Muara Jambi lantas memilih untuk ngutan atau meninggalkan desa dan lantas bermukim di hutan. Ini antara lain untuk menghindari penularan lebih lanjut penyakit tersebut ke warga desa lainnya.Hanya saja, para penderita kusta yang menjalani ngutan itu akan mendatangi desa setiap Lebaran. Mereka akan meminta makanan dari rumah ke rumah.

Lebaran dipilih mereka karena itu menjadi saat warga desa umumnya sedang berkelimpahan makanan.Ketika mendatangi desa, para penderita kusta akan memakai topeng dan pakain berkain lebar. Itu adalah untuk menutupi kondisi tubuh mereka yang sakit dan tak membuat warga jijik.

Namun, ada pula versi cerita yang lebihh minor di kalangan penduduk desa bahwa tradisi topeng dan berkeliling kampung merupakan siasat pejuang Jambi di masa Raden Mattahir hidup atau pada masa Belanda menginvasi Jambi sejak medio abad XIX. Memakai topeng dan memakai baju lebar seperti gelandangan dan penderit kusta merupakan cara pejuang Jambi menghindar dari kejaran Belanda, juga sekaligus mudah meminta bantuaan makanan kepada warga desa. (kelik prirahayanto)

(Bagian Kedua Sebuah Tulisan Bersambung yang pernah diterbitkan di Tribun Jambi  pada 14-15 September 2010)


Artikel Berkaitan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar