ADA yang unik dari Idul Fitri alias Lebaran di Desa Muara Jambi, Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi. Di desa di dekat Komplek Percandian Muaro Jambi tersebut tentu saja ada gema takbir, bunyi petasan dan nyala kembang api. Di sana, sama halnya seperti pemukiman kaum Muslim lainnya, berlangsung pula acara sholat ied, silaturahmi dari rumah ke rumah dan halal bihalal. Jika ditanya perihal suguhan kue-kue yang berlimpah maupun jamuan ketupat, jawabannya pun ialah ya.
Hanya saja, ada satu tradisi tahunan setiap Lebaran di desa tersebut yang tak setiap desa di Provinsi Jambi atau bahkan di Indonesia memilikinya. Tradisi tersebut berupa pawai keliling kampung oleh belasan orang bertopeng. Pawai itu biasa berlangsung setiap Lebaran hari pertama, yakni siang hari sekitar selepas dzuhur. Hebatnya, berdasarkan ingatan sejumlah warga
yang telah berusia lanjut, tradisi ini paling tidak telah berlangsung sekitar sembilan windu alias tujuh puluh dua tahun. Wow...
Jumat, 10 September 2010 siang silam, tradisi tahunan tersebut kembali berlangsung. Sejak sehabis Sholat Jumat, anak-anak tampak
telah beredar di lorong-lorong desa tersebut. Ada yang nongkrong di halaman rumah, ada pula yang menggerombol di sebuah tikungan lorong yang kebetulan berbangku kayu. Dari mulut-mulut bocah balita hingga usia SMP tersebut sesekali terdengar obrolan soal pawai topeng. Tentang pawai topeng tersebut, bocah-bocah itu maupun warga desa setempat lebih sering menyebutnya sebagai topeng saja, tanpa embel-embel depan maupun belakang.
"Topengnya masih nunggu cari gong, Bang," kata Harizan (13), satu di antara anak-anak tersebut kepada Tribun yang bertanya apakah pawai topeng hendak segera dimulai. Maka, untuk menunggu hingga acara berlangsung, Tribun pun singgah berkunjung ke rumah seorang kenalan di desa itu.
Ganti di Tempat Tertutup
Pawai topeng ternyata baru dimulai sekitar dua jam kemudian atau sekitar pukul 15.00. Awalnya, para calon pemain topeng mengumpul di sebuah rumah di RT 09 desa tersebut. Di dalam rumah panggung kayu bercat cokelat yang menghadap ke arah barat laut tersebut, mereka mengenakan topeng serta menukar pakaian sehari-hari mereka dengan kostum samaran semacam bebatan kain- kain lusuh hingga daster tua.
"Ini memang khasnya dari tradisi topeng di Desa Muara Jambi. Pakai topeng dan ganti pakainnya memang harus tersembunyi di dalam rumah. Kalau terang-terangan kan nggak lagi seru...," kata Mukhtar Hadi (27). Pemuda yang sekaligus Ketua Paguyuban Topeng Desa Muara Jambi itu lantas menambahkan bahwa berganti kostum di tempat tertutup akan membuat para pemain lebih sulit dikenali. Ini diungkaplan pemuda yang kerap dipanggil dengan sebutan Borju tersebut sebelum turut masuk ke dalm rumah dan berganti kostum.
Borju memang menjadi satu di antara pemain topeng hari itu.Topeng yang dikenakan para pemain secara tradisional adalah topeng dari kulit buah labu yang telah mengering. Topeng itu bisa dipakai selama beberapa tahun, namun bisa pula dibuat baru setiap tahunnya.
Namun, akhir-akhir ini, termasuk tahun ini, topeng ada yang terbuat juga dari potongan kardus. Topeng itu dicoreng moreng cat sehingga terlihat menyeramkan. Khas dari topeng-topeng tersebut adalah dihiasi ijuk sebagai pembentuk rambut, kumis dan jenggot
Ketika 13 pemain pawai akhirnya keluar dari rumah lengkap dengan topeng dan kostum penyamaran mereka, seruan antusias anak-anak yang telah lama menanti serta bunyi musik pengiring segera menyambut. Anak-anak kecil itu berseru-seru dengan ekspresi antara takut dan gembira. Mereka terutama menjerit-jerit ketika dihampiri seorang atau beberapa pemain topeng.
Menyusuri Jalanan Kampung
Para pemain topeng lantas menyusuri jalanan kampung untuk menyambangi rumah-rumah warga sambil memanggul karung. Beberapa mereka terkadang beraksi seolah-oleh merupakan orang- orang-orang pincang yang berjalan terseok-seok kepayahan. Anak-anak kecil terus saja menguntit mereka sepanjang perjalanan sembari terus menebak siapa sosok di sebalik masing-masing topeng.
Gerak para pemain topeng tersebut pun diiringi oleh musik pengiring yang kali itu terdiri dari sebuah genderang senar, sebuah tamtam, sebuah kendang, sebuah jimbe kecil, sebuah canang, serta sebuah harmonika.Lagu yang antara lain diperdengarkan para pengiring hari itu adalah lagu Melayu berjudul Sayang Pandan serta Lagu Tapanuli berjudul Sinanggar Tulo. Iringan musik tersebut terdengar lebih nyaring karena terbantu oleh sebuah megafon.
Biasanya di dalam musik pengiring ada gong dan biola. Namun, kali ini biola tak digunakan, sedangkan di saat berbarengan pinjaman gong pun gagal diperoleh. Sempat sibuk mencari gong itu pula lah yang membuat pelaksanaan acara pawai topeng akhirnya molor sekitar dua jam dari seharusnya.
"Gong itu, pas kita lagi di hutan sekali pun, jika dibunyikan terasa mengundang kita untuk mendekat dan melihatnya langsung. Suara gong itu nyaring dan terdengar magis," kata Brata (30), satu di antara pemain musik, menjelaskan kepada Tribun tentang peran penting gong dalam musik pengiring pawai. Ia memang cukup menyayangkan absennya gong pada penyelenggaraan pawai topeng Lebaran kali ini.
Sumbangan
Ketika menyambangi rumah demi rumah, para tuan rumah yang mereka datangi umumnya menyambut dengan ekspresi senyuman lebar atau bahkan tawa. Seperti halnya para anak kecil yang menguntit dari rumah tempat ganti kostum, para tuan rumah itu terlihat pula mencoba menebak sosok-sosok bertopeng yang menyambangi rumah mereka.
Namun, tampilan bertopeng para pemain pawai agaknya tetap saja menyeramkan untuk beberapa bocah, khususnya balita dan bayi di rumah-rumah warga. Alhasil, para pemain itu menjadi pemecah tangis ketakutan di rumah-rumah warga.
Terkadang, para pemain topeng itu mencandai pengendara mobi atau sepeda motor yang sedang melintas di jalan kampung. Itu antara lain dilakukan dengan mencegat sebentar para pengguna jalan tersebut, lalu meneleng-nelengkan kepala di depan mereka untuk beberapa lama.
Para pemain topeng paling semangat melakukan ini terutama jika di dalam mobil atau di atas sepeda motor itu ada sosok cewek berwajah cantik. Maklum, para pemain adalah para pemuda yang kebanyakan masih bujangan. Hmmm....
Dari para pemilik rumah yang mereka datangi maupun pengguna jalan, para pemain topeng menerima sejumlah pemberian. Itu antara lain berupa kue-kue dan penganan lainnya, minuman ringan dari air mineral hingga minuman kaleng bersoda, juga sejumlah uang berbagai nominal, baik yang terbungkus amplop maupun tidak.
Para pemain topeng mewadahi barang-barang itu dalam karung yang mereka bawa. Jika bawaan telah terlalu berat untuk dipanggul, mereka akan memindahkannya ke dalam ambung yang terpasang di sebuah sepeda motor yang memang dikendarai mengikuti rombongan oleh seorang pemuda.
Pawai topeng sendiri berakhir di rumah Kepala Desa Ramli M. Sang kepala desa ini tak lupa memberikan pula sumbangan uang dan bingkisan kepada para pemain topeng.
"Saya memberi semata agar tradisi ini dapat terus berlanjut, agar pemuda yang menyelenggarakan ini tetap semangat menjalankannya," kata Ramli kepada Tribun sehabis menyerahkan uang dan bingkisan kepada para pemain topeng. Imbuhnya, di antara warga desanya tidak mengenal kepercayaan tertentu yang memotivasi mereka memberi uang atau barang kepada pemain topeng. Ini semata kebiasan yang telah turun temuran dan mereka kenal selama puluhan tahun.
Yang dikatakan Ramli ini senada dengan yang dikatakan oleh paling tidak enam warga yang ditanyai Tribun sepanjang penyelenggaraan acara itu. Mereka antara lain Brata sang pemain musik, Borju sang ketua paguyuban Topeng, Salmiah (58), Abu Jamani (56) dan istrinya Mistina (50), hingga tetua kampung semacam Datuk Sahak (79).
Menurut Borju, sumbangan barang akan dibagi rata di antara para pemain topeng dan para pemain musik pengiring. Itu sudah menjadi semacam kebiasaan di desa mereka, yakni sebagai semacam penebus lelah dan partisipasi. Sedangkan untuk sumbangan uang akan dipakai untuk penyelenggaraan acara oleh Balai Kreasi Pemuda Candi Muaro Jambi (BKPCMJ), yakni organisasi pemuda desa setempat yang juga mewadahi paguyuban topeng. Tahun ini acara oleh BKPCMJ akan bertajuk Pekan Solidaritas Seni dan Budaya. Acara itu berlangsung 11 - 19 September 2010 ini. Jumlah sumbangan yang berhasil mereka kumpulkan selama pawai topeng Lebaran 2010 ini mencapai sekitar Rp 500 ribu.
"Dulunya yang diberikan warga kepada pemain topeng adalah makanan semacam kue-kue. Pemberian uang muncul mungkin sekitar 30 tahun lalu. Yang jelas semasa saya anak-anak, orang- orang kampung telah biasa memberi dalam bentuk uang. Mulai tahun ini, para pemuda memerkenalkan menyumbang uang dalam bentuk amplop. Sehari sebelum pelaksanaan, kami mendatangi rumah-rumah warga dan memberi amplop kosong bercap BKPCMJ yang esok harinya bisa diserahkan kepada kami sebagai wadah sumbangan. Pemberian amplop bercap itu sekaligus pemberitahuan bahwa dana akan dipakai kegiatan pemuda, juga pemberitahuan bahwa esok hari akan ada pawai topeng," jelas Borju ketika kembali dihubungi Tribun via telepon pada Minggu (12/9) malam. Jebolan IAIN Sultan Thaha Saifuddin tersebut tak menyangkal bahwa ide penggunaan amplop tersebut sedikit banyak dipengaruhi kebiasaan pemberian angpao di kalangan masyarakat Tionghoa. (yoseph kelik)
(Bagian Pertama dari Dua Tulisan yang Pernah Diterbitkan di Tribun Jambi, 14-15 September 2010)
Artikel Berkaitan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar