KOMIK serial Tintin nomor 22, Penerbangan 714 ke Sidney |
MEMBACA Tintin: The Complete Companion mau tak mau ngingetin saya ke zaman masih duduk di bangku SMP. Masa itu terbilang masa keakraban terintim saya dengan komik-komik serial Tintin. Kala itu, saya begitu sering menumpang baca maupun pinjam untuk dibawa pulang di satu taman bacaan sekitar 200 meter dari sekolah saya.
Oh ya, nama taman bacaan itu Hendragiri. Lokasinya tepat di sebelah timur Gereja Katolik Santo Yohanes Rasul Wonogiri, Jawa Tengah. Taman bacaan itu termasuk bagian komplek Susteran Carolus Borromeus (CB) di Wonogiri. Pengeloaan taman bacaan tersebut pun ada di tangan para biarawati Katolik.
Tak cuma komik-komik serial Tintin yang dulu kerap saya baca dan pinjam di taman bacaan yang dengar-dengar sekarang sudah tutup itu.
Ada pula serenteng komik, novel, serta buku-buku lain, khususnya dari kategori bacaan anak dan remaja, koleksi taman bacaan itu yang saya lahap. Lima Sekawan versi terjemahan dari bahasa Inggris, Lima Sekawan versi terjemahan dari bahasa Prancis, Sapta Siaga, Pasukan Mau Tahu, Trio Detektif edisi anak, Trio Detektif edisi remaja, STOP, Asterix, Doraemon, Kobo Chan, Punisher, Eroica, Imperium Majapahit, Lupus, hingga novel-novel detektif karya Agatha Christie adalah deretan bacaan yang dulu saya nikmati memanfaatkan koleksi milik Hendragiri. Waktu itu belum zamannya Harry Potter, Eragon, apa lagi The Twilight Saga.
70 Persen
Kembali ke perihal komik-komik Tintin. Pas SMP-SMU dan rutin menyambangi Hendragiri, versi Tintin edisi bahasa Indonesia yang saya baca adalah terbitan dari Indira, hasil terjemahan dari edisi bahasa Inggris yang beredar di Britania Raya. Kalau komik-komik Tintin edisi bahasa Indonesia yang sekarang beredar di toko-toko buku seluruh republik ini kan versi terbitan Gramedia Pustaka Utama (GPU), hasil translasi dari edisi Belgia berbahasa Prancis.
Berhubung demikian proses awal keintimannya,saya pun terus terang lebih familiar dengan nama-nama para karakter Tintin dari versi Indira: Snowy, Thompsons-Thomsons, Calculus. Sungguh perlu belajar membiasakan diri lagi untuk menyebut para karakter itu memakai nama versi GPU: Milo, Dupond-Dupont, Lakmus.
Belum semua komik serial Tintin sudah aku baca. Dari lengkapnya ada 24, paling 70 persennya yang sudah saya tamatkan. Itu karena nggak semua koleksi lengkap Tintin ada di Hendragiri. Sebenarnya tentang rincian lengkap mana Tintin yang sudah saya baca dan mana, saya cenderung lupa. Saya kan membaca secara maraton komik-komik Tintin itu sudah bertahun silam, sedekade lebih dari sekarang. Hanya saja kalau coba diingat-ingat, anggota keluarga besar serial Tintin yang belum saya baca itu kelihatannya adalah Tintin di Tanah Sovyet, Tintin di Amerika, Tongkat Ottokar, Tintin di Tibet, serta Tintin dan Alpha-Art.
Congo dan 714
Saya sih kali terakhir membaca komik Tintin kurang dari setengah tahun ini. Ada dua yang saya baca: Tintin di Congo, yang saya tamatkan dengan numpang baca di Toko Buku Gramedia Jambi pada suatu sore, serta Penerbangan 714 ke Sidney, yang benar-benar saya bela-belain membelinya.
Beli Penerbangan 714 ke Sidney itu karena seri ini terbilang istimewa bagi pembaca Indonesia. Isi komik dari seri ini memang banyak mengambil seting di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah Bandara Kemayoran, Pulau Jawa, dan Kepulauan Nusa Tenggara.
Di Penerbangan 714 ke Sidney, di halaman 1, malah tepatnya di pojok kanan panel 1, ada gambar pesawat maskapai Garuda Indonesia yang bercat livery dari era tahun 1960-an. Pesawat Garuda yang digambar Herge dalam Penerbangan 714 ke Sidney itu adalah Convair 990A Coronado, pesawat bermesin jet pertama yang dipunyai maskapai plat merah Indonesia tersebut.
Awalnya Nonton Tivi
Sebenarnya perkenalan pertama saya dengan tokoh Tintin itu bukan dari baca komiknya. Saya justru lebih dulu mengenal Tintin dari nonton versi serial animasi televisinya. Serial itu pada medio dekade 1990-an sempat disiarkan oleh satu kanal tivi swasta nasional. Kalau tidak keliru sih dulu itu yang nyiarin SCTV. Lupa-lupa ingat juga soalnya. Oh ya, kali pertama nonton Tintin versi serial animasi tivi itu sewaktu masih kelas 6 SD. Nontonnya numpang pas sore hari di rumah seorang tetangga.
Pas Tintin versi layar lebar beredar secara global pada akhir 2011 sampai dengan awal 2012, saya pengen banget nonton di bioskop sebenarnya. Sialnya, Tintin versi layar lebar itu nggak diputar di bioskop yang ada di Jambi, kota tempat tinggal dan kerja saya antara Desember 2009 sampai dengan Desember 2012. Padahal, waktu itu saya punya beberapa voucher tiket gratis nonton di jaringan bioskop 21. Maunya sih bisa dipakai untuk nonton Tintin, tapi akhirnya mau tak mau dipakai untuk nonton film lainnya.
Sempat sih lalu ngintip bajakannya yang diunduh seorang teman sekantor ketika itu. Tapi, itu akhirnya nggak saya terusin nontonnya. Berhubung saya menganggap diri sendiri sebagai seorang fans Tintin, jadinya merasa berdosa kalau sampai nonton versi bajakan. Lagi pula, bajakannya memang jelek sekali kualitas gambarnya: cenderung kabur plus sedikit miring…he…he…he… .
Akhirnya, saya baru nonton Tintin versi animasi layar lebar itu September 2012. Nontonnya di rumah setelah beli VCD ori-nya di satu mal di Solo. Kenapa nggak sekalian beli yang DVD? Hmmm, yang DVD mahal sekali soalnya. Harganya sekitar lipat tiga dari harga yang VCD. Jadi atas nama efisiensi, VCD lah yang terbeli … he…he…he… .
<<<+>>>
Artikel Berkaitan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar