Sabtu, 12 Januari 2013

Tintin, Wartawan yang Nyaris Tak Pernah Mengetik Berita


BUKU Tintin: The Complete Companion edisi bahasa Indonesia
Oleh Yoseph Kelik


PADA pekan pertama dan kedua Januari 2013 ini, saya sedang sedang membaca Tintin: The Complete Companion tulisan Michael Farr. Ini adalah buku panduan dan analisis terhadap serial komik Tintin kreasi komikus Belgia, Herge yang bernama asli Georges Remi. Versi yang saya baca adalah edisi berbahasa Indonesia terbitan 2011 dari Gramedia Pustaka Utama. Buku 205 halaman ini adalah hasil penerjemahan dari edisi berbahasa Inggris cetakan 2001 milik Penerbit Moulinsart.

Tintin: The Complete Companion membahas secara lengkap seluruh komik “anggota keluarga besar” serial bertokoh utama wartawan berambut jambul itu. Farr mengulas secara rinci mulai dari seri pertama terbitan 1929, Petualangan Tintin di Tanah Sovyet, sampai dengan yang  terakhir alias seri kedua puluh empat, Tintin dan Alpha-Art, yang pengerjaannya belum rampung ketika Herge meninggal dunia pada 1983.

Dalam buku panduan ini, hampir setiap seri komik Tintin beroleh satu bab khusus untuk pembahasannya.
Namun, ada juga tiga bab yang masing-masing membahas dua seri yang ceritanya memang bersambungan. Enam komik yang diulas Farr dalam pola bab semacam itu tada adalah Rahasia Unicorn dan Harta Karun Rackham Merah pada halaman 104 – 113, 7 Bola Kristal dan Di Kuil Matahari pada halaman 114-125, serta Perjalanan ke Bulan dan Petualangan di Bulan pada halaman 134-143.

Dari Anggota Keluarga
Dari Tintin: The Complete Companion kita bakal menjadi tahu tentang sejumlah cerita di balik penciptaan tokoh-tokoh dalam komik Tintin. Tentang hal tersebut, Herge ternyata banyak terilhami dari beberapa anggota keluarganya, bahkan “meminjam” sejumlah ciri-ciri fisik maupun kebiasaan sehari-hari mereka.

Pasangan detektif konyol Dupond dan Dupont contohnya. Keduanya tercipta dari kenangan Herge terhadap Alexis, ayahandanya, juga kepada Leon, saudara kembar ayahnya. Alexis dan Leon biasa mengenakan topi bowler  dan membawa tongkat, pula gemar berjalan-jalan bersama. Itulah mengapa Dupond-Dupont tampil di dalam komik Tintin selalu bersama, juga selalu membawa tongkat dan mengenakan topi bowler.

Tokoh penyanyi opera bersuara melengking, Bianca Castafiore, konon juga terilhami dari sosok bibi Herge yang bernama Ninie. Pasalnya, sang bibi memang punya kebiasaan bernyanyi secara melengking ala Castafiore.

Adik lelaki Herge yang bernama Paul Remi adalah pula inspirasi Herge dalam penciptaan tokoh Tintin. Gaya rambut berjambul yang menjadi ciri khas Tintin contohnya dipinjam Herge dari gaya rambut Paul.

Namun, untuk penggambaran tokoh Tintin sebagai sebagai satu sosok yang berprofesi sebagai wartawan, Farr menyebut hal itu datang obsesi pribadi Herge terhadap profesi juru pencari berita. Herge awalnya adalah seorang ilustrator di koran. Dengan demikian  ia selalu bekerja di belakang meja di kantor koran tempatnya bekerja. Rupanya, ia sesungguhnya mengidamkan pengalaman banyak terjun di lapangan sebagaimana teman-teman sekantornya yang berposisi sebagai jurnalis.

Lucunya,  biarpun Herge melekatkan identitas profesi jurnalis kepada Tintin, kenyataannya dalam komik-komik Tintin jarang sekali si wartawan berjambul benar-benar digambarkan meliput, lebih lagi mengetik berita. Malah, cuma di Petualangan Tintin di Tanah Sovyet-lah si Tintin benar-benar ditampilkan ngetik berita untuk koran tempatnya bekerja. Dari 24 komik serial Tintin, Tintin terakhir kali ditampilkan menunaikan tugas  peliputan pun cuma hingga komik Tintin urutan ke enam yakni Si Kuping Belah. Selebihnya dari itu Tintin ternyata lebih sering berlaku selayaknya seorang detektif.

Perbandingan Aneka Edisi
Pemaparan  Farr terhadap komik-komik itu terasa kaya. Itu karena sang penulis acap menambahkan perbandingan terhadap komik Tintin dari sejumlah bahasa. Sebagai informasi, selain edisi asli terbitan Belgia dan berbahasa Prancis, serial Tintin telah diterjemahkan ke lebih dari 50 bahasa lain di planet Bumi ini. Arab, China, Eslandia, Indonesia, Jepang, Korea, Persia, Serbia-Kroasia, Latin, Esperanto, juga Luxemburgisch, adalah beberapa di antaranya. Tak terlupakan pula pembahasan terhadap versi komik Tintin ketika masih terbit sebagai sisipan di koran Le Petit Vingtieme pada 1929-1940 ,lalu di koran Le Soir selama masa pendudukan Nazi Jerman atas Belgia, juga versi komik Tintin di majalah Tintin yang beredar pasca Perang Dunia II. Hal yang ditelisik Farr dari komparasi komik-komik aneka edisi bahasa maupun versi format terbitan tersebut antara lain penamaan tokoh, penamaan tempat, rincian dialog dan monolog yang ada, hingga versi gambar yang  secara khusus ada di edisi bahasa tertentu.

Selain itu, Farr membandingkan pula antara versi cerita asli pada beberapa komik Tintin dengan versi revisinya yang menyusul hadir beberapa tahun kemudian. Soalnya, beberapa komik Tintin seri awal memang ada yang  tampil dalam versi hitam putih. Ketika versi berwarnanya ada, Herge ternyata melakukan sejumlah perubahan kepada detail ilustrasinya. Contohnya adalah mengubah jumlah orang maupun pakaian dari kerumunan di stasiun kereta api. Lalu, pernah pula mengubah warna kulit seorang tokoh yang hadir dari berkulit hitam menjadi berkulit putih. Herge paling  tidak  pernah melakukan hal semacam itu untuk Tintin di Congo. Jika mencermati komik-komik Tintin seri selebihnya tentu bakal diperoleh contoh-contoh lain yang lebih banyak.

Detail
Dalam Tintin: The Complete Companion, Farr menyebut ilustrasi yang luar biasa detail menjadi satu kekuatan utama serial komik Tintin. Mobil, pesawat, kapal, gedung, senjata, hingga lansekap alam dalam Tintin selalu digambar Herge dengan merujuk kepada wujud yang memang riil.

Penggambaran detail ilustrasi yang serealis mungkin dalam di Tintin didapat Herge dari riset koleksi etnografi di museum, juga membaca  isi dan mengamati foto-foto di sejumlah buku serta majalah. Contoh majalah yang kerap diandalkan Herge sebagai referensi adalah Le Crapouillot dan National Geographic.  Sumber referensi lain bagi Herge ketika menggarap Tintin adalah katalog-katalog dan brosur-brosur aneka produk  mulai dari mobil, kamera, hingga senjata. Dia memang banyak mengumpulkan katalog-katalog dan brosur-brosur semacam itu.

Bahkan, Herge untuk penggarapan ilustrasi di beberapa edisi Tintin sampai melakukan observasi langsung di lapangan, termasuk hingga berkunjung ke luar negeri, ke negara-negara yang hendak yang dijadikannya seting cerita. Ketika menggarap Tintin di Amerika, Herge sempat live in beberapa hari di permukiman suku Indian di AS. Itu demi mendapat gambaran hidup sehari-hari suku pribumi Benua Amerika itu. Ketika mengerjakan edisi revisi  Pulau Hitam, Herge perlu mengirim Bob de Moor, asisten kepercayaannya, untuk berkunjung ke Inggris. Sang asisten di sana memotret maupun membuat sketsa seragam polisi serta kantornya, juga melakukan hal serupa kepada daerah pedesaan serta jaringan kereta api.  Ketika menggarap Penculikan Lakmus, Herge pun sampai meluangkan waktu mengunjungi Swiss, memotret dan membuat sketsa bangunan maupun lansekap di beberapa kota di negara yang  terkenal sebagai produsen arloji serta cokelat bermutu tinggi itu.

Karena sebagian besar komik-komik Tintin selalu dikerjakan Herge berdasar riset serius, alhasil dalam kurun sekitar 50 tahun cuma lahir 24 komik serial tentang wartawan dengan rambut berjambul itu.

Bias pada Awalnya
Namun, riset serius demi ilustrasi detail dalam komik-komik Tintin sebenarnya tak langsung jadi satu yang diimani Hergi sejak awal. Pada dua komik Tintin paling awal yakni Petualangan Tintin di Tanah Sovyet dan Tintin di Congo, riset demi detail ilustrasi dan cerita belum ketat dianut oleh Herge. Di dua  komik pertama itu, Herge sangat terpengaruhi oleh pendapat umum dan stereotip dari orang-orang  Eropa terhadap bagian dunia selebihnya. Alhasil, sajian cerita dalam dua komik Tintin itu bisa dibilang penuh bias chauvinisme, mengusung superioritas Eropa dan ras Kulit Putih.

Untuk ukuran sekarang, cerita Tintin dalam dua komik pertamanya memang tergolong banal. Paling parah ya isi Tintin di Congo.  Cerita dalam  Tintin di Congo kini cenderung terasa berisi prasangka buruk terhadap masyarakat asli Afrika. Lalu di komik itu ada juga cerita perburuan satwa di sana yang dilakukan oleh Tintin.

Cara Tintin berburu dalam Tintin di Congo terasa dari mulai konyol, sembarangan, hingga sadis. Penggambarannya sungguh bertolak belakang dengan semangat konservasi alam beserta flora, dan fauna  yang coba diperjuangkan beberapa dekade terakhir ini. Bagaimana tidak? Tintin dalam Tintin di Congo ditampilkan menembaki antelop, menguliti monyet, melukai gajah, menimpuki banteng dengan batu, juga mendinamit badak hingga menjadi bagian-bagian kecil. Anehnya, biarpun banyak bagiannya sebenarnya berisi cerita yang rasis terhadap masyarakat Afrika, Tintin di Congo ternyata disebut Farr sebagai komik Tintin terpopuler di Afrika.

Riset baru mulai diseriusi Herge sejak Tintin di Amerika, komik Tintin urutan ketiga. Akhirnya riset menjadi semacam prosedur operasional baku bagi Herge sejak pengerjaan komik Tintin urutan empat dan lima yakni Cerutu Sang Firaun dan Lotus Biru. Meski tak bisa pula disangkal bahwa riset adalah jawaban Herge terhadap sejumlah kritik yang pernah terlayang kepadanya, terutama berkenaan dengan komik-komik Tintin fase awal.

Riset untuk komik Tintin kian terasa penting karena Herge kerap menyajikan cerita yang  membaurkan fakta dan fiksi. Itu juga berdasarkan sejumlah peristiwa yang sungguh terjadi di dunia nyata. Contohnya adalah Lotus Biru yang didasarkan kepada konflik antara Jepang dan China pada 1930-an, lalu Pulau Hitam dan Tongkat Ottokar yang didasarkan kepada kondisi ketegangan di Eropa  pra Perang Dunia II.

Adopsi terhadap riset sebenarnya  bisa dibilang diterima Herge dengan senang hati. Pasalnya sang komikus Belgia ini sejatinya memang seorang perfeksionis, pula terobsesi kepada realisme. Obsesi Herge terhadap realisme tersebut pada akhirnya terbukti tak sia-sia. Tintin akhirnya menjadi sebuah karya yang tetap disukai sampai sekarang.
<<<+>>>

1 komentar:

  1. bukunya dijual ga gan hehehe
    kl iya saya lsg beli
    lgi butuh bgt sama buku ini

    BalasHapus