Oleh Yoseph Kelik
OBLONG putih membungkus badan Marlon Brando muda pada 1950-an (foto diambil dari printablesblog.com) |
MARI berterima kasih terhadap serangkaian hal yang terjadi di Dunia dalam 13 dasawarsa terakhir. Terima kasih itu tertuju kepada berbagai perang yang dijalan Amerika Serikat sejak penghujung abad XIX, terutama Perang Spanyol-Amerika, Perang Dunia II, juga Perang Vietnam; lalu tertuju juga kepada krisis ekonomi global bernama Malaise 1930; lalu tertuju pula kepada dunia perfilman Hollywood 1950-an dengan dua aktor muda maskot mereka kala itu, Marlon Brando serta James Dean; pada akhirnya juga tertuju kepada gerakan anti perang pada sepanjang 1960-an serta 1970-an.
Itu semua membuat dunia mengenal dan mengakrabi satu busana bernama oblong alias t-shirt: si pakaian berbentuk huruf T tanpa kancing,
yang identik pula dengan lengan pendek serta leher bundar tanpa kerah Pasalnya dalam perang-perangnya Amerika itu, para serdadu kerap terfoto cuma dengan berbalut oblong, Malaise membuat pakaian mahal dan buruh-buruh pabrik maupun petani menjadikan kaos sebagai pakaian kerja, Brando muda dan mendiang Dean yang juga masih muda tampil ganteng berkaos oblong dalam beberapa film mereka, lalu para pemrotes perang telihat energik dan berani berbusana oblong yang kerap dicorat-coret tulisan tangan. Tanpa semua peristiwa itu, boleh jadi si kaos bentuk T ini akan tetap menjadi pakaian dalaman alias undergarment, sebagaimana fungsi lamanya pada abad XIX.
Kini, oblong bisa dibilang menjadi satu dari pakaian terfavorit penduduk planet ini. Pemakainya di seluruh muka Bumi pasti berjumlah miliaran orang. Bersama celana jins, oblong agaknya menjadi bagian setelan kasual paling diandalkan orang. Itu berjalan sekalipun oblong kerap dianggap sebagai pakaian yang kurang sopan untuk kepentingan formal, juga bersama sandal jepit dimusuhi berbagai instansi pemerintah, lembaga pendidikan, maupun perusahaan-perusahaan. Sampai-sampai di banyak pintu kantor tertera plakat bertuliskan "TIDAK MELAYANI YANG BERKAOS OBLONG DAN BERSANDAL JEPIT".
Oblong tetap begitu disukai banyak orang karena memang menawarkan kenyamanan ketika dikenakan. Bersamanya ada juga kesan gaya atau gaul plus citra kemudaan. Tak cuma itu, oblong berkembang menjadi pakaian yang mampu menjadi sarana berekspresi bagi pemakainya. Itu dimungkinkan oleh keberadaan cetakan gambar atau tulisan tertentu pada si oblong. Tentang hal terakhir ini, kita bisa menengok sejenak sejumlah desain kaos yang begitu populer. Sebut saja dalam hal ini adalah kaos bergambar wajah Che Guevara dengan baret berlencana bintangnya yang secara umum menjadi bentuk simpati kepada gerakan kiri; atau kaos bertulis INY serta aneka turunannya semacam IHK, ISINGAPORE, hingga IBALI dan IJKT yang pola suvenir kota dan negara; lalu jangan lupakan juga kaos logo Hard Rock Cafe dari berbagi kota tempatnya beroperasi. Saking populernya sejumlah desain oblong, ketika kaos orisinalnya tak terbeli, maka versi imitasinya tak menjadi masalah.
Oblong yang disuka oleh berjuta bahkan bermiliar orang terbukti pula sebagai barang dagangan yang menarik. Di tataran global, berbagai brand fesyen dan apparel, dari mulai G.A.P hingga Calvin Klein, dari mulai FUBU hingga Nike dan Adidas, menjadikan produksi serta penjualan oblong sebagai sumber pendapatan menguntungkan.
Di tataran domestik pun, tak sedikit perusahaan skala rumahan hingga besar hidup karena menekuni bisnis oblong: entah sebagai pemain di wilayah retail, produksi penyablonan dan desain, garmen kaos polos, atau kombinasi dari sekian rantai tadi. Pemain-pemainnya antara lain C-59 dari Bandung, Mondrian dari Klaten; brand-brand oblong suvenir semacam Joger dari Bali, Dagadu dari Yogyakarta, Mahanagari dari Bandung, hingga Nyenyes dari Palembang; aneka distro dari mulai UNKL347dan Ouval Research dari Bandung, Crooz Cloth, KDRI, dan DAMN! I LOVE INDONESIA dari Jakarta, hingga Whatever Shop dan Brain dari Yogyakarta, hingga ROWN dari Solo. Daftar ini sungguh cuma sebagian dari sekian banyak yang sesungguhnya ada... .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar