PARA pemain timnas U23 Indonesia sehabis dikalahkan Malaysia pada Final SEA GAMES XXVI (Foto diambil dari mediaindonesia.com) |
SAMA-sama di Senayan, juga sama-sama kalah adu penalti. Itulah nasib serupa tim nasional sepakbola Indonesia pada SEA GAMES XXVI 2011 dengan pendahulunya dari 14 tahun lalu, tim nasional SEA GAMES XIX 1997.
Hanya bedanya, jika lawan dan penakluk Indonesia pada hampir satu setengah dekade lalu adalah Thailand, musuh sekaligus penghapus mimpi Indonesia pada Senin, 21 November 2011 malam adalah Malaysia.
Joker
Namun, dengan menganalogikan cerita tentang dua momen final sepakbola SEA GAMES itu sebagai film, Thailand dan Malaysia sejatinya ibarat dua aktor yang memerankan villain yang sama dalam dua film terpisah. Yah, Thailand pada 1997 itu kira-kira seperti keterlibatan Jack Nickolson dalam film Batman versi 1989, sedangkan Malaysia itu kurang lebih mirip keikutsertaan Heath Ledger dalam film The Dark Night dari tahun 2008, tapi toh keduanya sama-sama memerankan tokoh Joker.
Baik Thailand dan Malaysia dalam dua kurun yang berbeda ini juga memiliki kesamaan status, yang menurut saya membuat keduanya memang layak disebut Joker bagi Indonesia. Tim nasional Thailand yang maju ke final sepakbola SEA GAMES 1997 Jakarta merupakan juara bertahan medali emas SEA GAMES 1995 Chiang Mai, juga pemegang gelar juara Kejuaran Sepakbola ASEAN 1995, yang kala itu bernama Piala Tiger. Nah, Malaysia yang maju ke final sepakbola SEA GAMES Palembang-Jakarta 2011 adalah juara bertahan medali emas SEA GAMES Vientiane, Laos, sekaligus pula kampiun Kejuaran Sepakbola ASEA 2010, yang sekarang ini bertitel Piala AFF Suzuki.
Derbi Sipadan Ligitan
Pada era 2000-an ini, ketimbang menduelkan Indonesia dengan Thailand, rasanya memang lebih menguntungkan jika menduelkan Indonesia dengan Malaysia. Rivalitas antara Thailand dan Indonesia, sebagai dua kekuatan klasik sepakbola Asia Tenggara, sudah tak lagi sememesona layaknya persaingan keduanya di sepanjang dekade 1980-an dan 1990-an. Duel Indonesia versus Malaysia kini selalu terasa panas, soalnya selalu dibumbui persaingan di bidang-bidang non sepakbola, dari mulai ekonomi sampai dengan budaya. Lihat saja panasnya 3 X pertemuan Indonesia versus Malaysia dalam Piala AFF 20110, juga 2 X laga Indonesia versus Malaysia di SEA GAMES XXVI.
Jika pertandingan dua klub sepakbola asal Kota Milan di Italia yakni AC Milan dan Internazionale Milan dikenal dengan nama Derby della Madoninna, merujuk kepada keberadaan Madoninna alias patung Santa Maria di pucuk Katedral Milan, satu dari bangunan tetenger Kota Milan, maka pertandingan Indonesia versus Malaysia mungkin layak pula diberi nama Derbi Sipadan Ligitan. Nama itu saya rasa cocok disandangkan karena sejak Malaysia memenangkan sengketa dua pulau mungil di perbatasan Kalimantan Timur dan Sabah itu lewat peradilan di Mahkamah Internasional, hubungan bertetangganya dengan Indonesia sering sekali diwarnai ribut ribut. Ya ribut soal garis batas laut, ya ribut soal patok di perbatasan darat, ya ribut soal ya ribut juga soal masakan, tari-tarian, lagu.
Hantu Sejak 1997
Indonesia sendiri dalam cerita tentang dua final SEA GAMES ini coba digiring sebagai sang Batman, tentu saja dengan sekian bias status saya sebagai seorang Warga Negara Indonesia. "Si Batman" yang justru malah selalu menjadi pecundang ini juga berganti pemeran. Kurniawan Dwi Yulianto dan kawan-kawan yang mewakili Indonesia maju ke final SEA GAMES 1997 memang ibarat Michael Keaton. Lha soalnya mereka kan memang tim nasional senior. Nah, Titus Bonai dan kawan-kawan yang membawa panji Merah Putih di final sepakbola SEA GAMES 2011 berstatus tim usia di bawah 23 tahun, jadi mereka boleh lah dianggap sebagai "Christian Bale".
Namun, apa pun ulasan saya tentang fakta dan pembandingan antara final sepakbola SEA GAMES 1997 dan SEA GAMES 2011, kalah di kandang sendiri pasti luar biasa nyesek. Seingat saya, saya menonton dari awal sampai akhir pertandingan final Indonesia versus Thailand pada 1997, melalui layar televisi dan melalui siaran langsung stasiun tivi plat merah, TVRI. Sebagai seorang remaja yang tumbuh di masa Orde Baru, pernah mengikuti penataran P4 serta menjadi peserta cerdas cermat P4 masing-masing sebanyak dua kali, serta pernah pula empat tahun aktif di kepramukaan, kekalahan Indonesia atas Thailand tahun itu sempat membuat saya cukup bersedih selama beberapa jam. Kekalahan itu juga menjadi bahan obrolan dengan Bapak saya dan teman-teman sampai berhari-hari kemudian.
Namun, sedih karena kalah dari Thailand pada final SEA GAMES 1997 tak sampai merusak hidup saya. Lagi pula, memang tak ada potensi yang rasanya bakal memicu saya untuk lantas murung hingga lebih dari sepekan. Saya jelas bukan satu di antara penendang penalti Indonesia maupun anggota tim nasional Indonesia yang bertanding pada malam itu. Saya juga tidak pasang taruhan untuk pertandingan itu. Nah, aman kan saya dari sesuatu yang potensial menggoncangkan kejiwaan saya.
Hanya saja, di antara jalannya pertandingan sepakbola final SEA GAMES 1997, Bapak saya beberapa kali berucap dalam bahasa Jawa tentang permainan Indonesia. Awalnya dia memuji bahwa permainan Thailand memang lebih bagus. Saya sendiri, sekali lagi sebagai remaja yang tumbuh di era Orde Baru, pernah mengikuti dua kali penataran P4, juga dua kali menjadi peserta cerdas cermat P4, sesungguhnya kurang menyukai komentar Bapak saya itu. Tapi, nggak mungkin juga kan saya melarangnya untuk tidak bicara seperti itu di antara jalannya pertandingan. Mana berani saya, apa lagi saya kala itu masih selalu meminta uang saku bekal ke sekolah kepadanya dan Ibu.
Sialnya, mesti saya akui dengan jujur jika omongan Bapak saya memang benar. Lagi pula komentar itu bukan keluar dari suatu sikap tidak patriotis. Bapak saya sekadar mencoba jujur. Lagi pula, seingat saya, ia memang adalah penikmat sepakbola yang jujur. Permainana tim yang didukungnya bagus, ia akan memuji bagus, sebaliknya jika permainan yang didukungnya jelek, ia pun tidak sungkan mengatakannya jelek. Bapak saya bukan seperti banyak dari kita sekarang, yang ketika menggemari satu klub bola tertentu lalu membelanya setengah mati, biarpun klub itu sebenarnya sedang bermain buruk.
Permainan sepakbola Kurniawan Dwi Yulianto dan kawan-kawan pada final itu sebenarnya sungguh luar biasa. Itu sebuah total football ala Indonesia hasil racikan pelatih Henk Wullems, pelatih asal Belanda yang rasanya lebih bisa menangani Indonesia ketimbang Wim Rijbergen, koleganya sesama warga negeri kincir angin, sang pelatih tim nasional sepakbola senior yang terlalu gemar menyalahkan anak asuhnya. Bapak saya pun memuji permainan Kurniawan dan kawan-kawan.
Sayangnya, sebagaimana Bapak saya bilang, permainan yang diperagakan Kurniawan dan kawan-kawan kala itu memang secara kualitas dan organisasi tetap kalah selapis jika dibanding permainan Kiatisuk Senamuang dan kawan-kawan. Jadi biarpun kalah lewat adu penalti acap disebut kalah untung-untungan, dan menang lewat penalti juga acap disebut menang untung-untungan, Thailand rasanya memang layak berkalung medali emas sepakbola SEA GAMES 1997.
Permainan sepakbola Kurniawan Dwi Yulianto dan kawan-kawan pada final itu sebenarnya sungguh luar biasa. Itu sebuah total football ala Indonesia hasil racikan pelatih Henk Wullems, pelatih asal Belanda yang rasanya lebih bisa menangani Indonesia ketimbang Wim Rijbergen, koleganya sesama warga negeri kincir angin, sang pelatih tim nasional sepakbola senior yang terlalu gemar menyalahkan anak asuhnya. Bapak saya pun memuji permainan Kurniawan dan kawan-kawan.
Sayangnya, sebagaimana Bapak saya bilang, permainan yang diperagakan Kurniawan dan kawan-kawan kala itu memang secara kualitas dan organisasi tetap kalah selapis jika dibanding permainan Kiatisuk Senamuang dan kawan-kawan. Jadi biarpun kalah lewat adu penalti acap disebut kalah untung-untungan, dan menang lewat penalti juga acap disebut menang untung-untungan, Thailand rasanya memang layak berkalung medali emas sepakbola SEA GAMES 1997.
Malam itu, Bapak tak cuma blak-blakan memuji permainan Thailand lebih bagus. Ada serangkaian kata-kata lain terlontar dari mulutnya. Kata-kata tersebut tak cuma menyoal tentang duel antara Indonesia dan Thailand. Kata-kata ekstra dari Bapak saya lebih mengarah ke karakter minus dari permainan tim nasional sepakbola Indonesia. Kata-kata itu ternyata sampai bertahun-tahun kemudian, sampai sekarang juga, menjadi semacam hantu bagi saya saat menonton tim nasional sepakbola Indonesia bertanding. Menurut Bapak saya, para pemain Indonesia selalu kurang tulus dalam soal bekerja sama dan umpan-mengumpan.
"Indonesia ki senengane mesti nggring dewe, ora gelam ngumpan nang kancane, pengene arep ngegolke dewe (Indonesia itu sukanya pasti giring sendiri, tidak mau mengumpan kepada temannya, inginnya bikin gol sendiri)," kata Bapak saya malam itu.
Kata-kata itu menjadi semacam hantu karena memang saya hingga saat ini sering kali melihat pemain tim nasional Indonesia yang berpikir mereka itu Maradona, Zidane, atau Messi. Pemain yang berlaku semacam itu, rasanya saya lihat hampir di semua pertandingan tim nasional. Kalau bisa mereka memang ingin mencetak gol sendiri, bahkan dari garis belakang. Kalau sudah di di sekitar sepertiga atau seperempat lapangan, pemain Indonesia kerap lupa bahwa mereka punya teman yang bisa diumpan. Jumlah yang suka berlaku demiakian dalam setiap pertandingan biasanya antara dua hingga lima pemain. Selama SEA GAMES XXVI kemarin, saya masih juga melihat sikap itu ada.
Sayangnya, mereka itu menjadi Maradona, Zidane, atau Messi, semua sebatas di alam pikir, niat, serta ego. Dalam skill dan teknik, mereka nyatanya masih harus belajar banyak lagi. Bersikap seolah Maradona, Zidane, atau Messi, sudah begitu sering membuang peluang gol. Mulai sekarang, pemain Indonesia sepertinya mesti lebih belajar untuk mengumpan. Bukankah dalam sepakbola ada dalil bahwa selama bola terus dapat diumpan, maka gol adalah perkara waktu. Lagi pula, jika kenyatannya di antara kita tiada Maradona, Zidane, maupun Messi, mengapa kita tidak mencoba mencari panutan lain. Kenapa kita tidak mencoba mencontoh para pemain pekerja keras yang tak keberatan menjadi sekadar bayang-bayang kawan setimnya yang lebih terkenal.
Soal itu tengok saja pemain-pemain seperti Ronni Johnsen yang bermaian untuk Manchester United antara 1996 atau 2002, atau Claude Makelele yang antara 1993-2008 merupakan pilar penting kesuksesan tim nasional Prancis, Real Madrid, serta Chelsea, atau juga Frank Rijkaard selama menjadi bagian Trio Belanda di AC Milan era Sacchi dan Capello. Johnsen selalu berada di bawah bayang-bayang Beckham, Giggs, atau Scholes. Makelele selalu di bawah bayang-bayang Zidane, Djorkaef, Pires, Henry. Rijkaard pun merupakan sosok yang kerap kurang dibicarakan dalam pembahasan tentang Trio Belanda, jika dibanding Marco van Basten serta Ruud Gullit. Toh sebenarnya, jika ditengok ulang, Johnsen, Makelele, serta Rijkaard ternyata lebih dari sekadar bayang-bayang, namun merupakan pilar kokoh tim mereka selama jaya, sebab memang mereka lah penopang permainan rekan mereka yang lebih tersohor. Siapa tahu dengan menyerap para pekerja keras yang rela menjadi bayang-bayang kawan mereka ini, Indonesia pun bisa melepaskan diri dari bayang-bayang seorang Batman Pecundang.
kekalahan awal dari sebuah kemenangan yang penting bejuang disetai den gan doa.. :),, pasti juara http://goo.gl/BkceMq
BalasHapus