Rabu, 16 November 2011

Ancelotti dan Hasil-Hasil Dramatik

Bagian Kedua dari Tiga Tulisan Profil Tentang Carlo Ancelotti


Oleh Yoseph Kelik

ANCELOTTI dan skuad Milan dalam perayaan kemenangan Liga Champions 2002/2003
(foto dari dailymilan.com) 
MUSIM-musim Milan di bawah kepelatihan Ancelotti masih saya ingat juga kerap diwarnai peragaan kemenangan dramatik dan mematikan di kancah Eropa. Yang saya sebut di sini sebagai kemenangan dramatik adalah kemenangan-kemenangan yang diraih I Rossoneri setelah sebelumnya didahului oleh hasil mengecewakan, kalau tidak bisa disebut hasil yang buruk. Kemenangan-kemengan dramatik itu bagi saya adalah pula pengingat tentang kedahsyatan kemampuan Ancelotti dalam meracik taktik. Kemenangan-kemenangan yang dihasilkan lewat cara membalikkan keadaan itu tentu datang gabungan otak brilian, naluri peka, syaraf baja, hingga hitung-hitungan yang tidak konvensional. Taktik-taktik Ancelotti dalam pertandingan-pertandingan krusial itu ibarat seorang pejudo, yang awalnya terlihat dalam posisi terdesak, namun ternyata malah mampu melakukan gerakan mematikan terhadap lawannya di detik-detik terakhir.

Yang paling mudah diingat tentang hal itu tentu saja keberhasilan Milan menyingkirkan raksasa Jerman, Bayern Munchen, pada babak perempat final Liga Champions 2006/2007. Ketika itu, pada leg pertama ketika bermain di kandang sendiri di San Siro, Milan mesti menerima kenyataan ditahan imbang 2-2 oleh Munchen. Semua orang berpikir bahwa I Rossoneri bakal habis disikat Munchen ketika mesti bertandang ke Allianz Arena pada leg 2. Nyatanya, leg 2 di Allianz Arena justru menjadi panggung milik Il Diavolo Rosso yang justru berhasil memukul tuan rumah dengan dua gol tanpa balas. Hasil itu akhirnya membuat Milan lolos ke semifinal dengan agregat 4-2.


Kemenangan mematikan Milannya Ancelotti atas Munchen pada perempat final Liga Champions 2006/2007 itu pun sebenarnya merupakan terusan dominasi Milan kala itu atas The Bavarians. Soalnya, Munchen pun tak berkutik di hadapan Milan pada Liga Champions 2005/2006 serta Liga Champions 2002/2003. Pada perdelapan final Liga Champions 2005/2006, Munchen disingkirkan Milan dari panggung Eropa dalam proses yang sangat mirip duel mereka di perempat final Liga Champions setahun kemudian. Bagaimana tidak, Munchen yang mampu menahan seri Milan 1-1 di San Siro, eh di kandangnya sendiri ternyata malah digebuk anak asuhan Ancelotti dengan skor 1-4. Pada Liga Champions 2002/2003, Munchen dan Milan satu grup di Grup G. Dalam dua kali duel, Munchen tercatat dua kali takluk dan seluruhnya dengan skor 2-1. Ah, para fans Bayern Munchen tentulah tak akan menyukai uraian saya tentang dominasi Milannya Ancelotti  sepanjang dekade pertama 2000-an terhadap klub kebanggan mereka. Omong-omong, saya kenal baik dengan seorang yang sepertinya bakal merengut membaca bagian ini. Ya, semoga saja kawan saya itu tak lantas terlalu berang dan lantas menimpuk saya memakai batu.  

Bukan cuma Bayern Munchen yang pada kurun itu kerap menjadi korban Milannya Ancelotti. Manchester United pun acap seapes The Bavarians ketika bertemu Milannya Ancelotti di Liga Champions. Milannya Ancelotti contohnya menyingkirkan The Red Devils dalam babak perdelapan final Liga Champions 2004/2005. Pada babak tersebut, duel di Old Trafford maupun duel di San Siro selalu dimenangi Milan dengan skor tipis 1-0. Ketidakmujuran anak-anak asuhan Sir Alex Ferguson ketika bertarung dengan anak-anak-anak asuhan Carletto berlanjut di pertemuan dua kubu ini dalam semifinal Liga Champions 2006/2007. Laga pertama di Old Trafford, Manchester United berhasil menang dengan skor 3-2, tapi itu didapat dengan susah payah karena Milan memberi perlawanan sengit melalui penampilan luar biasa seorang Kaka. Laga kedua di San Siro menjadi malapetaka bagi The Fergie Babes. Secara berturut-turut dan tanpa balas Kaka, Seedorf, serta Gilardino membobol gawang United yang dijaga Van Der Sar. Maka, jadilah Milan melenggang ke final Liga Champions 2006/2007 dengan agregat 5-3.


Aih, uraian ini pastilah juga tak disukai para Manchunian. Namun, ancaman timpukan batu dari mereka saya pikir tak seberisiko ancaman timpukan batu dari teman saya yang penggemar Bayern Munchen. Para Manchunian pasti lebih mudah saya tenangkan. Saya cukup berkata mengingatkan mereka bahwa aib kalah 3-0 di San Siro pada 2 Mei 2007 toh sudah mereka bayar lunas pada 16 besar Liga Champions Eropa musim 2009/2010. Medio Februari dan  Maret 2010, Manchester United dua kali berturut-turut memecundangi Milan yang bermain sembrono dalam taktik gung ho ala Leonardo, pelatih yang sebaiknya menjadi pemandu bakat saja. Kemenangan pertama dengan skor 3-2 dan itu terjadi di San Siro, lalu yang kedua dengan skor 4-0 di Old Trafford. Mari lihat, menang di leg 1 maupun 2, juga agregat 7-2. Bukanlah ini sudah membalaskan dendam secara lengkap yang terjadi dua tahun sebelumnya: kalah di leg 2 saja serta agregat 3-5? Ah, Manchunian, berterima kasihlah kepada Leonardo... .


Kekalahan memalukan bagi Milan tak cuma terjadi di periode kepelatihan setahun Leonardo. Saya mencatat, Ancelotti pun dalam delapan tahun kepelatihannya yang secara umum gemilang sebenarnya paling tidak membuat dua kali kekalahan memalukan. Kekalahan itu terasa berbau keterpelesetan, tetapi berakibat fatal. Sebut saja contohnya adalah kekalahan aneh 4-0 Milan atas Deportivo La Coruna di Stadion Riazor pada leg 2 babak perempat final Liga Champions 2003/2004. Padahal, pada leg 1 di San Siro, Milan sudah unggul 4-1. Bukanlah aslinya dan lazimnya skor 4-1 itu sudah bisa menjadi modal yang lebih dari cukup untuk lolos ke babak berikutnya. Saya sering tak percaya kegagalan memanfaatkan agregat tiga gol seperti itu bisa terjadi pada tim yang ditukangi pelatih sekaliber Ancelotti. Okelah kalau kalahnya 2-0 misalnya..., eh ini kalah 4-0.  Padahal Milan 2003/2004 dianggap tim terkuat dunia tahun itu, yang memiliki sepasang ujung tombak yang sama-sama haus gol dalam sosok Shevchenko dan Inzaghi, juga didukung oleh playmaker muda yang cepat dan mematikan bernama Kaka. Terus terang, saya sampai sekarang sukar percaya peristiwa memalukan di Riazor itu bisa terjadi.

Namun, terpeleset secara fatal padahal sudah memiliki keunggulan signifikan rupanya merupakan penyakit kronis yang diidap Carletto. Semusim kemudian, Carletto membawa Milan terpeleset lagi. Kini secara lebih memalukan karena keterpelesetan itu terjadi di final Liga Champion 2004/2005 di Istanbul. Setelah memimpin 3-0 atas Liverpool di babak pertama, eh di babak kedua malah tersusul kebobolan tiga gol, dan lantas kalah ketika adu penalti. Keterpelesetan di Istanbul itu menurut saya setara memalukannya dengan kalah 1-6 dari Juventus di San Siro pada musim 1996/1997. Saya sampai sekarang masih juga tidak percaya, Ancelotti bisa terpeleset di Istanbul, padahal bisa dibilang trofi telinga lebar sudah berada dalam separo genggaman pada babak pertama. Aduh Ojan...Ojan.... .


Kronisnya penyakit rentan terpeleset pada Ancelotti memiliki sejumlah bukti lain. Saat menukangi Juventus pada musim 1999/2000, Ancelotti pun terpeleset di pekan terakhir. Anak-anak asuhannya kalah 1-0 di Stadion Renato Curi, kandang Perugia, gara-gara gol Alessandro Calori. Kekalahan itu sekaligus Lazio memenangi Seri A musim tersebut dengan keunggulan satu poin. Percaya kan kalau Ancelotti sering banget terpeleset pas sebenarnya dalam posisi unggul.


Dengan meminjam analogi serigala mengejar kelinci, Ancelotti sepertinya orang yang cenderung jadi tertekan jika harus memainkan peran sebagai pihak yang dikejar. Itulah kenapa ia lantas pernah justru membawa Milan kalah 4-0 dari Coruna di Riazor tahun 2004, kalah dari Liverpool di Istanbul tahun 2005, maupun gagal membawa Juventus Scudetto Seri A pada musim 1999/2000. Sebaliknya, Ancelotti rupanya jauh lebih  nyaman jika berposisi sebagai seorang pengejar ketertinggalan. Itu dibuktikan dengan cara-caranya membuat Milan mendominasi Bayern Munchen dan Manchester United antara kurun 2002 sampai dengan 2007, juga caranya membawa Milan memenangi trofi Champions musim 2006/2007, saat kebanyakan orang berpikir Ancelotti dan para pemain Milan bakal tertekan oleh hantu Final Champions Istanbul.  


Hasil-hasil yang dramatik itu, menang ketika seharusnya kalah dan kalah ketika semestinya menang, yang bagi saya merupakan daya tarik mengamati Ancelotti meracik taktik pada tim yang dilatihnya. Ada unsur keterkejutan dalam hasil racikan taktik Ancelotti. Daya tarik hal itu bagi saya boleh jadi setara dengan kenikmatan para penggemar Mourinho mengikuti gaya bicara kontroversial plus, permainan cenderung bertahan, tapi sekaligus mematikan ala Mou, atau setara juga dengan bagaimana para penggemar Sir Alex Ferguson terus mengevolusikan skema kepelatihan maupun racikan pemainnya selama  masa kepelatihannya di Manchester United yang sejauh ini telah berjalan seperempat abad ...(BERSAMBUNG KE TULISAN BAGIAN KETIGA)




Artikel Berkaitan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar