Rabu, 09 November 2011

Ancelotti dan Formasi Ber-playmaker Majemuk

Bagian Pertama dari Tiga Tulisan Profil Tentang Carlo Ancelotti


Oleh Yoseph Kelik

CARLO Ancelotti dan trofi Liga Champions 2007 yang dimenanginya bersama skuad AC Milan di Athena , 23 Mei  2007 
(foto diambil dari  www.dailymail.co.uk)

MENYEBUT maupun membaca nama pria Italia ini selalu memunculkan semacam desiran rasa hormat di dada saya. Itu berlaku pada apa pun versi namanya yang muncul: Carlo Ancelotti yang merupakan nama lengkapnya, sekadar Ancelotti yang merupakan nama belakangnya, juga Carletto yang merupakan julukan akrabnya.
Mungkin yang saya ceritakan tentang pria kelahiran Reggiolo, 10 Juni 1959 ini terasa terlalu sentimental. Ya, saya tak menyangkalnya. Jujur mesti saya akui, desiran rasa hormat tadi pastilah muncul karena saya seorang Milanisti, sedangkan Ancelotti sendiri merupakan satu di antara sosok legenda hidup AC Milan.


Mungkin jika saya melihat Ancelotti sebagai sosok yang lebih utuh, mencakup pula sisi positif maupun negatif di luar ketokohannya di bidang sepakbola, persepsi saya kepadanya bisa saja lain. Hormat saya kepadanya boleh jadi tak akan terlalu mendesir di dada. Lebih lagi, jika saya membandingkannya karir gemilangnya di dunia sepakbola dengan kehidupan pribadinya yang tak sungguh-sungguh lempang. Pernikahan Ancelotti dengan Luisa, istrinya selama 25 tahun, juga sekaligus ibu dari dua anakknya, berakhir dengan perceraian pada 2010. Perselingkuhan sejak 2004 Ancelotti dengan Marina Cretu, seorang wanita asal Bulgaria yang kini berusia 32 tahun, merupakan penyebabnya.


Namun, kaitan antara Ancelotti dengan perceraiannya, juga dengan hubungan serongnya selama enam tahun dengan Cretu, saya pilih tak saya bahas di sini. "Itu urusan sangat pribadi dari Ancelotti," demikaian saya kalau boleh beralasan. Perbolehkan saya untuk meneruskan cerita tentang Ancelotti ini dengan berfokus kepada geliat aktivitasnya di dunia sepokbola. Ya...ya...boleh ya...?


Sembilan Plus Delapan
Ayah dari Katia serta Davide ini tercatat menjalani lima tahun sebagai pemain I Rossoneri pada 1987 sampai dengan 1992. Ia juga lantas menjadi pelatih Il Diavolo Rosso selama tujuh setengah tahun dari mulai November 2001 sampai dengan Mei 2009. Dua periode keberadaan Ancellotti di AC Milan itu pun boleh dibilang bergelimang prestasi.


Selama menjadi satu di antara prajurit lini tengah Milan pada era Arrigo Sacchi dan Fabio Capello, pria bertinggi badan 180 centimeter ini tercatat turut berperan dalam menyumbang sembilan trofi. Juara Seri A Italia 1988 dan 1992, Juara Piala Super Italia 1988, Juara Piala Champions 1989 dan 1990, Juara Piala Super Eropa 1989 dan 1990, serta Juara Piala Intercontinental 1989 dan 1989 merupakan sembilan gelar yang menjadi catatan kontribusinya.
ANCELOTTI semasa masih sebagai pemain
(foto dari magliarossonera.it)


Lalu, saat menjadi jenderal pengatur stategi dan taktik Milan selama hampir sewindu di dekade pertama abad XXI, Carletto menyumbang delapan trofi. Juara Coppa Italia 2003Juara Liga Champions 2003 dan 2007, Juara Piala Super Italia 2004, Juara Seri A 2004, juga Juara Piala Dunia Antarklub FIFA 2007 merupakan rincian gelar yang diberikannya kepada klub sepanjang periode kepelatihannya.


Lebih dari Cukup
Tim di bawah kepelatihan Ancelotti, sebenarnya bukan skuad Milan yang terbaik yang pernah ada. Banyak Milanisti maupun jurnalis sepakbola tentunya bakal mudah menempatkan Milan era Ancelotti di belakang Milan era pelatih-pelatih sukses lainnya semacam Nereo Rocco, Arrigo Sacchi, serta Fabio Capello.


Oh tapi tentu saja yang saya maksud di sini adalah Milan era Arrigo Sachi pada kurun 1987 sampai dengan 1991 serta Milan era Fabio Capello 1991 sampai dengan 1996, bukan Milan era Arrigo Sachi sekuel 2 pada musim 1996/1997 yang meneruskan pekerjaan kacau Oscar Tabarez dan finish di  posisi 11 dari 18 peserta Seri A, bukan pula Milan era Fabio Capello jilid 2 pada musim 1997/1998 yang finish di urutan 10 dari peserta 18 peserta Seri A. Ah, baiknya tak usah lagi mengingat-ingat dua tim dengan penampilan mengecewekan dari medio 1990-an. Mari kembali saja membahas tentang Ancelotti.


Raihan gelar Ancelotti selama menukangi Milan boleh jadi memang tak semoncer raihan gelar para pendahulunya semacam Capello, Sacchi, maupun Rocco. Namun, untuk sebatas masuk list para pelatih terbaik Milan sepanjang masa, Ancelotti dan delapan trofi raihannya selama menukangi Milan tentu lebih dari cukup. Lagi pula, pasca era Capello, skuad Milan era Ancelotti lah yang terbukti mampu mengejawantahkan kembali sepakbola idaman ala Milan: menyerang, menang dengan meyakinkan, juga mendominasi lawan-lawannya. Paling tidak itu berhasil diperagakan Milannya Ancelotti terutama pada kurun 2002 sampai dengan 2007.


Ya, Milan pada kurun 2002 sampai dengan 2007 jelas merupakan kekuatan signifikan di level Eropa. Tiga final Liga Champions dalam lima musim, dengan dua diantaranya berbuah manis trofi si telinga lebar menjadi pembuktian nyatanya.


Milannya Ancelotti pada kurun 2002 sampai dengan 2007 juga dikenal dengan julukan I Meravigliosi alias The Amazing atau Yang Mengagumkan. Julukan itu muncul karena Milan sepanjang era Ancelotti kerap memertontonkan permainan cantik nan menghibur, terutama dengan penguasaan bola dominan.


Model umpan variatif dari kaki ke kaki ala para pemain Milan di era Ancelotti kala itu boleh dibilang adalah cara bermain paling menghibur di sepanjang awal 2000-an. Itu berlaku paling tidak sampai akhirnya publik melihat ball possession versi lain yang lebih atraktif serta lebih dominan, berbasis umpan-umpan pendek, sebagaimana dipertontonkan Barcelona-nya Pep Guardiola dari 2008 sampai sekarang melalui tiki taka.


Permainan penuh penguasaan bola dominan ala Milan terutama di kurun 2002 sampai dengan 2007, atau terutama lagi pada 2002 sampai dengan 2005, bersumber dari kreativitas penuh keberanian dan melanggar pakem. Pada musim 2002/2003, dan relatif terus bertahan hingga dua musim sesudahnya, Ancelotti memang biasa memainkan formasi 4-3-1-2 dan 4-3-2-1 yang bisa berisikan 3 atau bahkan 4 pemain berkualifikasi playmaker. Padahal, penggelaran pemain secara konvensional cenderung selalu menyarankan untuk memercayakan permainan kepada satu playmaker saja. Nyatanya pada musim 2003/2004, Milan di bawah Ancelotti pernah membuat pusing lawan-lawannya dengan memainkan secara sekaligus Rui Costa sebagai gelandang serang, Rivaldo sebagai gelandang serang ataupun second striker, Seedorf sebagai gelandang kanan, serta Pirlo sebagai deep lying playmaker, pembagi bola di belakang playmaker utama dan di depan barisan bek, sebuah posisi hasil konversi yang akhirnya memasyurkan nama pemain kelahiran 1979 itu sampai akhirnya dijuluki The Metronome. Pada musim-musim sesudahnya selama menangani Milan, Ancelotti terus memainkan formasi ber-playmaker majemuk tersebut, terutama dengan kombinasi Kaka, Seedorf, serta Pirlo. Sayangnya, model permainannya ini lama-lama dihafal para pelatih lawan, sedangkan di sisi lain Seedorf dan Pirlo melamban, dan tumpuan permainan akhirnya kian tergantung kepada sosok Kaka.


Namun dan bagaimanapun, formasi ber-playmaker merupakan bukti bahwa Ancelotti memang pelatih yang selain berani berinovasi, juga berkarisma. Tanpa karisma yang membuat strateginya didengarkan dan dilaksanakan pemaian-pemainnnya, formasi ber-playmaker majemuk tentunya bakal menjadi sebuah bencana dengan para playamaker yang saling berebut peran selama bermain...(BERSAMBUNG KE TULISAN BAGIAN KEDUA)


Artikel Berkaitan 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar