TOMPI saat manggung dalam event JAZZ MOMENT di RCC Jambi, 12 Juli 2011 (foto oleh Hanif Burhani) |
Rampung berpentas pada pukul 22.15, pria 32 tahun bernama asli Teuku Adifitrian tersebut beristirahat sambil bersantap malam di Rumah Makan Iga Bakar Mas Giri, Jalan Arif Rahman Hakim, Telanaipura. Di sana, penyanyi yang juga dokter spesialis bedah plastik tersebut menempati meja di bagian tengah rumah makan. Ia duduk dikelilingi para anggota band pengiringnya serta sejumlah orang dari Warzone plus dua orang dari dua stasiun radio FM di Kota Jambi.
Tompi tampak rileks di sana. Ia melepas jas krem yang melekati badannya sepanjang konser, menyisakan paduan pantalon krem serta kemeja hitam plus dasi hitam. Meski demikian topi bowler tetap tak lepas menudungi kepalanya. Seraya menunggu pesanan iga bakarnya datang, Tompi sesekali mengecek beberapa hal di tablet iPad ber-casing putih kepunyaannya.
Di saat inilah, Tribun menyelanya sejenak, mengajaknya ngobrol. Dalam perbincangan yang kemudian terjadi, Tompi bercerita tentang sejumlah kicauan yang dibacanya di Twitter, terutama dari orang-orang Jambi, sebelum dan sesudah konsernya berlangsung.
Dari berbagai tweet itu, Tompi tahu bahwa animo kaum urban Jambi terhadap kontesenya tinggi. Contohnya sedari siang, banyak orang Jambi yang berkicau di Twitter, menyesali diri karena kehabisan tiket masuk JAZZ MOMENT Featuring Tompi. Gedung RCC pun buktinya dipenuhi pengunjung malam itu, yang selama show rajin menyahut ajakan koor dari Tompi, juga tak sungkan menunjukkan ekspresi mereka.
"Musiknya bukan musik santapan umum, tidak semua orang ngerti, bisa menikmatinya, cukup segmented sebenarnya. Namun, peminatnya cukup banyak. Seribu lebih ya kira-kira," kata penyanyi yang sejak 2004 telah menelurkan delapan album yang di antaranya adalah Bali Lounge (2004), T (2005), serta Tak Pernah Setengah Hati.
Akustik
Namun, Tompi tetap memberikan sedikit kritiknya, yang antara lain ditujukan kepada otoritas pemerintahan di Kota Jambi dan Provinsi Jambi. Pria kelahiran Lhokseumawe, Nangroe Aceh Darussalam tersebut berpendapat bahwa ibukota provinsi seperti Kota Jambi ini seyogyanya memiliki sebuah gedung pertunjukan yang lebih representatif. Gedung pertunjukan yang diharapkan Tompi tersebut tak harus benar-benar besar, namun paling tidak dirancang memiliki kualitas akustik yang benar-benar bagus. Sehingga jika menjadi venue pertunjukan musik, paling tidak penonton dapat mendengar jelas, tak harus jernih, apa yang dimainkan pementas dari panggung.
Menurut penyanyi yang mengaku sebelum masuk kuliah tak pernah berpikir dirinya sebagai seseorang yang memiliki talenta suara merdu sehingga tak pernah juga menyanyi itu, keberadaan gedung pertunjukan berakustik bagus semacam itu tak cuma akan berfaedah bagi para pementas seperti dirinya. Tompi menilai gedung pertunjukan berakustik bagus akan pula meningkatkan kualitas bermusik para pemusik yang ada di Kota Jambi. Lanjutnya, itu tak menutup kemungkinan bakal membantu para pemusik lokal Jambi mampu moncer ke level nasional, contohnya dengan memiliki album rekaman sendiri yang beredar luas seindonesia.
"Sebelum saya main, saya lihat banyak band yang main sebelum kita main dan itu berarti menunjukkan antusias orang sini. Artinya di sini musik itu hidup. Sayang kalau tidak difasilitasi," ucap Tompi. Malam itu sendiri, Tompi berkata bahwa ia banyak mengakali kualitas akustik gedung yang kurang dengan sering memainkan jurus-jurus akustik semacam sekadar memadukan gitar dengan vokal serta memadukan piano dengan vokal.
Kecelakaan
Tribun dan Tompi lantas masih saling mengobrol selama lima menit kemudian. Dia antara lain sempat bercerita tentang bagaimana ia akhirnya menyadari talenta menyaninya melalui kejadian sedikit konyol di masa orientasi mahasiswa baru kampusnya dulu. Pada 1997 itu, ketika masuk kuliah, oleh para senior kampus, ia dan sejumlah kawan sebagai mahasiswa baru diharuskan membentuk suatu band. Sialnya di hari H ketika harus tampil di depan orang banyak, sang vokalis tak masuk karena sakit perut. Alhasil, Tompi mesti menggantikannya.
Ternyata, apa yang semula "kecelakaan" ini lantas menjadi berkah. Tompi lantas keterusan bernyanyi, khususnya di band-band kampus. Ini disebut Tompi sebagai periode nyanyi lucu-lucuan saja.
"Saya itu baru benar-benar memutuskan nyanyi profesianal 2003, eh 2002-2003 lah," kata Tompi sebelum akhirnya Tribun berpamitan kepadanya, sekaligus memberi kesempatan ia berfoto dengan sejumlah fans yang memburunya hingga Iga Bakar Mas Giri.
>>Tulisan ini pernah dimuat di halaman 1 Harian Pagi Tribun Jambi tanggal 13 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar