Oleh Yoseph Kelik
VERSI tua dan muda dari Carlo Ancelotti (foto diambil dari static.guim.co.uk) |
Saya sendiri sekarang seorang yang curiga bahwa sebenarnya tak banyak lagi yang dicari oleh Ancelotti di dunia sepakbola. Ia memang merilis buku autobiografi berjudul Preferisco la Coppa alias I Prefer the Cup, tapi dugaan saya, Ancelotti sebagai pelatih sejatinya tak selapar piala sebagaimana Fergie atau Mou.
Dugaan ini muncul begitu melihat permainan Milan cenderung menurun pasca memenangkan Liga Champions 2006/2007. Saya melihat mulai saat itu, Ancelotti kehilangan determinasi dan kretivitasnya dalam menukangi Milan. Pada musim 2007/2008, apa yang saya sebut hilangnya determinasi Ancelotti tadi belum terlalu kentara. Ancelotti masih mampu menyumbang dua trofi penting yakni Piala Super Eropa dan Piala Dunia Antarklub FIFA. Tapi, ingat juga bahwa musim ini Milan tergelincir ke posisi finish di urutan 5 klasemen akhir Seri A. Lalu, pada Liga Champions musim itu, Milan gagal melewati hadangan Arsenal di babak 16 besar.
Namun, musim terakhirnya di Milan yakni musim 2008/2009, meski posisi akhir liga membaik dua peringkat, tapi musim ini berakhir tanpa raihan gelar. Geliat Milan di Piala UEFA berakhir di tangan Werder Bremen pada babak 16 besar.
Dua musim tak terlalu moncer di bagian akhir karir kepelatihan Ancelotti di Milan boleh jadi bakal disebut orang karena pengaruh tak adanya pemain baru signifikan yang mampu menjadi suntikan darah segar. Namun, dengan stok pemain yang kurang lebih sebanding pun sebenarnya Milan mampu mencapai final dan bahkan memenangkan Liga Champions 2006/2007. Saya kok lebih melihat bahawa Ancelotti kala itu sudah tidak termotivasi untuk menukangi Milan. Hei ingat, selama delapan musim di Milan, delapan gelar yang disumbang Ancelotti sudah memuat semua piala yang dianggap mentereng bagi seorang pelatih klub. Ia pernah memenangi Seri A, dua kali merebut Champions, juga sukses meraih Piala Dunia Antarklub. Satu-satunya piala penting yang belum diraihnya selama menukangi Milan cuma UEFA Cup atau yang kini dinamai Piala Liga Europa. Namun, bagi banyak klub besar dan pelatih besar, piala satu ini selalu dianggap piala kelas dua di level Eropa. Ancelotti boleh jadi tak terlalu termotivasi merebutnya biarpun berkompetisi di sana pada musim 2008/2009. Pada dua musim itu, motivasinya membuktikan diri sebagai pelatih hebat sudah tuntas di Milan. Ingat sewaktu awal dia datang ke Milan, ia kerap terbebani citra sebagai pelatih semenjana, yang cuma spesialis runner up sebagaimana menjadi catatan prestasinya selama dua musim di Juventus antara 1999 sampai dengan 2001. Citra pelatih spesialis runner up itu akhirnya sukses dibuang jauh-jauh Ancelotti dengan rentetan kesuksesannya di Milan antara 2003 sampai dengan 2008.
Prestasi Ancelotti kembali membaik begitu menukangi Chelsea. Dalam dua musim yakni 2009/2010 serta 2010/11. Di sana ia tercatat menyumbang tiga gelar yakni Community Shield 2009, juga gelar ganda Liga Primer Inggris 2009/2010 dan Piala FA 2009/2010. Menurutnya, hal yang paling membuatnya termotivasi menukangi Chelsea adalah memberi pembuktian bahwa ia adalah pelatih Italia yang bisa sukses di luar Italia.
Oh ya, biarpun Abramovich mengontrak Ancelotti dengan target memenangi Liga Champions, saya cenderung menduga bahwa Ancelotti secara pribadi tak terlalu benar-benar tersemangati memenuhi target itu. Hei dia sudah pernah memenangi Champions dua kali sebagai pelatih dan dua kali juga sebagai pemain. Sensasi memenangi Champions yang sudah sering ia menangi boleh jadi kalah menarik dari memenangi Liga Primer Inggris dan Piala FA, yang di atas kertas memang kalah mentereng dari Champions, tapi sebelum tahun 2010 belum pernah dimenangi oleh Ancelotti
Artikel Berkaitan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar