SAYA kali pertama menginjakkan kaki di Kota Jambi hampir dua tahun lalu. Dua puluh dua bulan silam tepatnya.
Awal Desember 2009 itu, saya datang ke Ibukota Provinsi Jambi ini bersama delapan orang teman, sesama calon wartawan baru untuk calon jabang bayi Harian Pagi Tribun Jambi yang baru akan terbit empat bulan kemudian. Delapan orang teman seperjalanan dan seperjuangan saya itu, hasil pelatihan dua bulan di Bandung, terdiri dari lima reporter yakni Duanto, Bandot, Jari, Bony, serta Habibie, juga tiga fotografer yaitu Hanif, Prast, dan Taufan. Dua desainer grafis sesama peserta pelatihan di Tribun Jabar, Suud dan Prima, dititipkan lebih dahulu di Tribun Lampung
SEBELAS alumnus pelatihan wartawan di Bandung berfoto bersama dengan Pak Cecep, Mbak Hasanah, dan Mbak Dwi di depan Grha Tribun Jabar, Bandung (foto oleh Hanif Burhani) |
Karat di Sayap
Kami bersembilan sampai di Jambi dengan menunggang
penerbangan siang maskapai Sriwijaya Air. Pesawat yang mengantarkan kami ke Bandara Sultan Thaha ketika itu adalah sebuah Boeing 737 seri lama, punya noda karat cukup lebar di bagian sayapnya, juga getarannya terasa begitu grudak-gruduk sepanjang perjalanan. Oh ya, satu lagi yang saya ingat tentang perjalanan itu adalah satu di antara pramugarinya sempat memarahi Hanif di Bandara Soekarno Hatta. Mbak yang sedang berjerawat dan mengenakan riasan cukup tebal itu sewot karena melihat Hanif sempat iseng memotretnya.
"Maaf, Mas, tidak boleh memotret pramugari di dalam pesawat. Fotonya bisa dihapus ya!" ucap si mbak pramugari menghardik Hanif dengan nada judes. Saya sendiri tak tahu apakah Hanif akhirnya benar-benar menghapus foto si pramugari dari kamera Nikon DSLR-nya.
Mess Dua Lantai
Begitu sampai di Jambi, pihak kantor lantas membawa kami ke sebuah rumah besar dua lantai di daerah Paal Merah Lamo, Kecamatan Jambi Selatan. Rumah di pojok pertigaan itu merupakan mess wartawan selama setahun lebih, yakni antara awal Desember 2009 sampai dengan akhir Desember 2010. Rumah itu memiliki sembilan kamar tidur dan dua kamar mandi.
Bisa dibilang, saat melihat-lihat isi rumah, semua alumnus pelatihan Bandung ini terhenyak melihat isi kamar mandi. Hal pertama yang bikin kami lumayan heboh adalah bak mandinya yang segede gajah mamoth. Bak mandi yang pernah kami lihat sebelumnya dan telah anggap berukuran besar ternyata cuma sekitar separo dari bak mandi di mess itu.
Bak mandi rumah saya di Wonogiri juga bukan apa-apanya jika dibandingkan bak mandi mess. Bak mandi rumah agaknya muat untuk dicemplungkan ke dalam bak mandi mess, malah masih akan menyisakan sekitar seperempat bagian yang lowong. Padahal, bak mandi di rumah saya itu sering disebut famili saya dan para tamu yang kebetulan bertandang sebagai bak mandi yang berukuran terlalu besar.
MESS lama Tribun Jambi di Paal Merah Lamo (foto oleh Hanif Burhani) |
Namun, bak skala mamoth tersebut bukanlah yang paling kami ributkan. Ada satu jenis benda lain di dalam dua kamar mandi itu yang rupanya sampai mendatangkan sedikit syok kepada paling tidak separo dari kami. Benda itu adalah kloset duduk merk American Standard, yang sudah uzur dan tak bisa menyentor secara otomatis. Pembikin syok bukan pula ketidakmampuan sepasang American Standard itu soal menyentor. Kami umumnya lebih meributkan bentuk dan mekanisme dari dua kloset duduk tadi.
Maklumlah, semua dari rombongan alumnus pelatihan Bandung ini adalah bagian dari generasi Indonesia yang lebih mengakrabi kloset jenis jongkok. Paling tidak empat orang dari kami malah mengaku secara terbuka bermasalah dengan kloset duduk. Mereka ini merasa tak tak nyaman melakukan BAB alias buang air besar memakai kloset duduk.
"Nggak keluar," ucap seorang kawan berbagi secuil pengalaman dan kesannya memanfaatkan kloset duduk untuk BAB. Seingat saya, wajah kawan tadi terlihat cengengesan saat berkata demikian. Namun, di balik cengengesan tadi tersirat pula kekhawatiran.
Keluhan terbuka soal kloset jongkok di dua kamar mandi mess, juga pengakuan bahwa mereka bakal memilih nekat jongkok di bagian dudukan bokong kloset duduk, seingat saya sekadar terdengar di pekan pertama kami tinggal di sana. Hari-hari sesudahnya, keluhan tersebut menguap. Saya tak tahu apakah itu karena kawan-kawan akhirnya bisa beradaptasi dengan dua kloset di dua kamar mandi mess, ataukah ternyata mereka memang akhirnya nekat jongkok di alas bongkok kloset duduk. Saya tak bisa memastikan mana yang benar dari dua kemungkinan tadi. Pemanfaatan kloset, lebih lagi dalam soal BAB, bagaimanapun adalah sesuatu yang privat.Hmmm, siapa juga sih orang waras yang pengen nonton orang lain sedang BAB?
Jurus Nongkrong Membaca
Saya sendiri secara pribadi tidak berada dalam posisi kontra terhadap kloset. Alhamdulillah, jika mesti menggunakan kloset duduk, saya menempatkan diri sebagaimana benda tersebut dirancang. Saya mendudukinya sebagaimana saya biasa duduk di kursi, tak perlu harus akrobatik dengan jongkok di dudukan bokongnya.
Sebagaimana orang Indonesia umumnya, saya sebenarnya orang yang lebih mengakrabi kloset jongkok. Kloset di kamar mandi dan WC di semua rumah yang saya diami sebelumnya -dari mulai rumah saya di Wonogiri, kost saya selama kuliah di Samirono di Yogyakarta, rumah penginapan saya selama KKN di Bojonegoro di Jawa Timur, rumah kontrakan yang menampung saya di Jalan Kaliuarang KM 8,5 Yogyakarta, juga kost saya di Sekelimus di Bandung selama pelatihan wartawan fase pertama- semuanya juga berupa kloset jongkok. Namun, untunglah saya pernah cukup lama belajar menggunakan kloset duduk, yaitu saat selama setahun bekerja dalam sebuah proyek Pasca Gempa Yogyakarta 2006 di satu LSM berjaringan nasional. Kebetulan posko atau sekretariat LSM tersebut selama proyek di Yogyakarta antara 2006 hingga 2007 adalah sebuah rumah dua lantai yang dua kamar mandinya berkloset duduk. Sejak itulah saya relatif bisa membiasakan diri dalam urusan menaruh bokong di kloset duduk.
KLOSET duduk (foto dari inank.blogspot.com) |
Selama setahun tinggal di mess Paal Merah Jambi, saya pun kerap memraktikkan jurus nongkrong membaca ketika sedang menggunakan kloset duduk untuk BAB. Empat bulan pertama, saya punya banyak niat untuk itu, tapi kesempatannya minim. Soalnya saya ketika itu tergolong satu di antara yang paling dulu bangun pagi di antara penghuni mess, namun jurus nongkrong membaca di kloset duduk sayangnya tak bisa leluasa dijalankan empat bulan itu. Pelatihan berjalan dengan jam masuk mirip jam sekolah, yakni dimulai dari jam sembilan pagi. Keharusan masuk bersama-sama membuat siklus biologis soal mandi pagi dan BAB para penghuni mess, yang pernah sampai berisi 18 orang, jadi relatif berbarengan. Alhasil jam masing-masing orang untuk mandi dan BAB bisa jadi sangat pendek dan berebut. Jadi tidak satu dua kali saya mencoba memraktikkan jurus nongkrong membaca di kloset duduk pada pagi hari, tapi baru beberapa detik menaruh bokong, eh pintu sudah diketuk kawan yang ngantre dan tak sabar gantian menggunakan kamar mandi.
Selepas tanggal 17 Maret 2010, ketika koran mulai benar-benar cetak dan terbit, jam mandi dan BAB setiap penghuni mess jadi lebih variatif sekaligus personal. Pada praktiknya, orang jadi tak terlalu perlu lagi bergerak serentak meninggalkan mess untuk masuk pada pukul 09.00. Para reporter dan fotografer ada yang meninggalkan mess sejak pagi, ada pula yang baru pergi jelang tengah hari, ada pula yang dalam beberapa kesempatan tertentu cukup meliput sembari bermodal menelepon narasumber. Yang pasti, saat itu antrean mandi pagi dan BAB pagi tak lagi serapat sebelumnya. Hanya saja, jam bangun saya jadi lebih siang pula dari semasa pelatihan. Kalau pada masa pelatihan galib bangun pada pukul 06.00, begitu koran benar-benar terbit bangun pukul 08.00, 09.00 atau bahkan 10.00 jadi sering terjadi. Alhasil begitu bangun yang ada hampir selalu terburu-buru untuk berangkat. Saya pun jadi sangat jarang meluangkan waktu melakukan jurus nongkrong membaca pada pagi hari. Jurus nongkrong membaca paling jadinya dilakukan kalau kebetulan terasa butuh memenuhi "panggilan alam" pada sore atau malam hari.
Kloset Kantor
Sejak akhir Desember 2010, mess wartawan di Paal Merah Lamo dipindah ke satu rumah berlantai dua, tapi jauh lebih kecil. Nah, kamar mandi di rumah dengan enam kamar tersebut berkloset jongkok. Namun, tidak berarti keakraban saya terhadap kloset duduk lantas berakhir.
Kebetulan letak mess baru ini dengan kantor cuma sekitar 25 meter. Akhirnya sering kali pula kalau "panggilan alam" datang, saya tak jarang memilih menuntaskannya dengan menumpang di WC kantor. Kebetulan WC kantor berkloset duduk masih sehat walafiat. Penyentor otomatisnya masih berfungsi dengan sangat-sangat baik, bukan seperti American Standard yang telah cacat di mess lama, yang mesti disentor manual memakai gayung.
Jadilah saya masih bisa meneruskan kebiasaan memainkan jurus nongkrong membaca. Lebih lagi, memainkan jurus ini di kloset kantor saya tak kekurangan bacaan. Pilihan bacaan ada mulai dari koran-koran lama maupun baru di kantor, aneka tabloid dan majalah di ruang redaksi, juga koleksi buku perpustakaan redaksi. Mencomot bacaan dari tumpukan maupun koleksi kantor berarti pula koleksi buku pribadi saya lebih aman. Lho ya toh, kan saya jadi mengurangi risiko buku-buku saya sendiri untuk sampai basah karena dibawa masuk ke WC. He...he...he...
Beberapa buku perpustakaan redaksi yang terakhir ini saya comot beberapa lama sebagai teman sejenak nongkrong di kloset duduk antara lain Pak Beye dan Politiknya tulisan Wisnu Nugroho, Kicau Kacau tulisan Indra Herlambang, juga Habibie & Ainun tulisan BJ Habibie. Hanya saja, jumlah halaman yang saya baca dari buku-buku itu sekali duduk ya paling lima-tujuh halaman saja. Saya masih cukup ingat kalau WC adalah WC, bukan ruang baca yang sesungguhnya.
Cuma ada dua kekurangan kloset duduk di kantor. Dudukan bokongnya saya lihat cenderung lebih kotor dari seharusnya. Selain itu, kaki kloset duduk itu sepertinya sudah tak lagi terkunci kuat ke lantai, maka si kloset setiap diduduki pasti terasa sedikit goyah seakan akan hendak runtuh. Karenanya, saya jadi berprasangka buruk.
Jangan-jangan banyak penghuni kantor telah menggunakan kloset ini tidak dengan sepatutnya...
Jangan-jangan ketimbang duduk seperti seharusnya di sana, lebih banyak yang nekat jongkok nangkring di atasnya... . (yoseph kelik)
(Dikembangkan dari isi buku catatan harian selama Pelatihan Wartawan di Jambi, Desember 2009 - Maret 2010)
Artikel Berkaitan
so Kelik, kelik banget, gayanya, angkuhnya, jaimnya dan kadang respon anehnya :-D
BalasHapussoal angkuh dan sinis kelihatannya kita gak mirip-mirip lho, er...:-D
BalasHapus