Selasa, 25 Oktober 2011

Wonogiri, dari Peta Naik ke Hati (4: Solo Coret)

KOTA Wonogiri dan Gunung Gandul (foto dari
http://www.skyscrapercity.com/showthread.php?t=520809&page=34)
Bagian Keempat dari Lima Tulisan


JIKA kini dilihat dari udara, Kota Kabupaten Wonogiri membentuk semacam huruf Y. Bagian awal kota ini, yang berkembang dari awal abad XX sampai dengan sekitar tahun 1980-an adalah kaki si huruf Y, terhampar dari utara ke selatan. Sejak 1980-an perkembangan kota ini lantas cenderung bercabang ke dua arah. Cabang pertama mengarah ke utara dan barat laut alias mengarah ke Sukoharjo dan Solo, cabang kedua mengarah ke timur alias ke arah Ponorogo. Sumbu dari huruf Y itu sendiri adalah Ponten,
sebuah perempatan dengan tiga cabang jalan besar dan satu cabang jalan kecil.

Sisi luar sebelah kiri dari kaki huruf  Y, juga cabang Y yang mengarah ke utara dan barat laut, dibatasi oleh sebuah barisan perbukitan kapur. Masyarakat Wonogiri galib menyebut perbukitan itu Gunung Gandul. Perbukitan iru menjadi semacam dinding tinggi besar yang tegak di sisi barat dan selatan dari kota ini. Perbukitan ini seingat saya juga menjadi satu petunjuk dari musim. Pada puncak musim penghujan, perbukitan ini beserta pohon dan semak-semaknya memamerkan warna hijau yang gelap, sebaliknya pada puncak kemarau perbukitan ini tampak pucat berbalut warna cokelat kekuningan.

Sepengetahuan saya, dari berbagai remah-remah informasi yang pernah saya peroleh, dari mulai beberapa foto lama dan beberapa tulisan dari halaman-halaman koran lokal, juga cerita dari beberapa sosok sepuh, Wonogiri rupanya mulai memiliki wujud kota pada sekitar awal abad XX. Bentuk dan ukuran kota ini di awal abad XX kira-kira seukuran kota kecamatan kecil.

Hadiah dari Waduk
Dekade demi dekade setelahnya, kota ini berkembang.  Perkembangan Kota Kabupaten Wonogiri dalam seabad terakhir cuma bergeser dari ukuran semacam kota kecamatan kecil ke kota kecil. Penduduk kota ini saat ini paling sekitar 90 ribu orang. Perkembangan terpenting kota ini untuk akhirnya sampai akhirnya berpenduduk 90 ribu dan membentuk pola huruf Y terutama terjadi sejak awal 1980-an, yakni sejak adanya Waduk Gajah Mungkur, satu di antara waduk terbesar di Jawa dan bahkan di Indonesia. Jadi jika Herodotus pernah menyebut Mesir sebagai hadiah dari Sungai Nil, maka Kota Kabupaten Wonogiri saat ini boleh jadi merupakan hadiah dari Waduk Gajah Mungkur.

BENDUNGAN Waduk Gajah Mungkur
(foto dari http://pediaview.com/openpedia/Wonogiri)
Tanpa adanya waduk yang bendungannya ada di bagian selatan Kota Wonogiri itu, Wonogiri diyakini banyak warganya akan sekadar menjadi kota yang sangat sepi dan berukuran kecil, persis sebagaimana gambarannya pada tahun 1970-an dan sebelum itu. Bapak saya, yang lahir di Semarang 52 tahun lalu dan lantas menjalani masa kecil hingga dewasanya di Solo, adalah contoh orang yang sangat percaya hal tadi. Setiap kali ia bercerita tentang tentang Wonogiri pada sekitar peralihan dekade 1970-an ke dekade 1980-an, tahun-tahun awal ketika ditugaskan di Wonogiri. cerita soal sepi dan kecil itulah yang meluncur.

Oh ya, cerita Wonogiri yang sepi pada peralihan dekade 1970-an ke dekade1980-an versi Bapak saya itu hampir selalu berkelindan dengan sedikit penyesalan karena dia merasa luput memrediksi perkembangan kota. Dalam beberapa kesempatan, ia berkata kepada saya bahwa tak menyangka bahwa Kota Wonogiri bagian utara, contohnya daerah Wonokarto, lantas menjadi daerah pemukiman penduduk yang padat, tapi sekaligus terhitung mentereng di dalam Kota Wonogiri. Padahal, daerah itu pada peralihan dekade 1970-an ke dekade1980-an boleh dibilang masih merupakan hutan. Kata Bapak saya, andai ia tahu perkembangan Kota Wonogiri bagian utara akhirnya bakal begitu maju, ia tentu bakal berjuang menyisihkan uang gajinya untuk membeli tanah di sana. Seingat saya, pada peralihan dekade 1970-an dan 1980-an itu harga tanah di Kota Wonogiri bagian utara masih sangat murah. Dengan tambahan sedikit utang dari pihak lain, Bapak saya yakin dapat membeli tanah yang cukup lumayan, yang harganya tentu bakal bisa berlipat-lipat setelah seperempat abad. Namun, pikiran selintas di masa mudanya untuk membeli tanah di daerah Kota Wonogiri bagian utara itu tak pernah diwujudkan Bapak saya. Ia sampai sekarang bermukim di Bero, desa asal Ibu saya dan juga desa kelahiran saya, 24 kilometer dari Kota Kabupaten Wonogiri.

Medan dan Shenzhen
Namun, perkembangan Wonogiri dalam seabad terakhir tak juga sampai sepesat misalnya Kota Medan di Sumatera Utara, yang dalam dalam sekitar lima dasawarsa dari awal abad XX berubah dari kota kecil menjadi bagian tiga kota terbesar di Indonesia, lalu sampai 2010 lalu telah berpenduduk hingga 2,1 juta. Atau apa lagi jika dibandingkan dengan Shenzhen di Republik Rakyat China, yang dalam 40 tahun terakhir berganti rupa dari sebuah desa nelayan kecil menjadi sebuah metropolitan berpopulasi total sekitar 10 juta orang. Aduh, tapi saya kok kejam sekali ya ngebandingin Wonogiri dengan Medan dan Shenzhen... Those are so assymetric... .

Di seputaran kota Wonogiri memang tak memiliki potensi masif yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi berlipat-lipat sebagaimana pernah terjadi terhadap Medan, yang maju pesat di separo pertama abad XX gara-gara maraknya perkebunan semacam perkebunan tembakau dan karet. Lahan yang tak terlalu subur dan sekaligus berkontur bergunung-gunung dari wilayah Kabupaten Wonogiri membuat tak ada pertanian maupun perkebunan berskala besar ada di sana.

Rasanya, hasil pertanian yang paling identik dengan Wonogiri adalah gaplek. Ini adalah singkong kupas yang dikeringkan dan merupakan bahan baku tepung tapioka jika ditumbuk. Kabupaten Wonogiri sejak lama memang dikenal sebagai satu di antara daerah utama penghasil gaplek. Hanya saja, singkong sebagai sumber bahan mentah untuk dijadikan gaplek tidaklah berasal dari budidaya oleh perkebunan besar. Singkong-singkong itu merupakan tanaman-tanaman yang dibudidayakan di ladang-ladang milik penduduk.

GAPLEK  alias singkong kupas kering 
(Foto dari mandalalestari.indonetwork.co.id)
Masyarakat Wonogiri memang punya kedekatan hubungan dengan gaplek. Para petani lahan kering di berbagai pelosok Wonogiri, termasuk di antaranya Mbah Kakung (kakek) dan Mbah Putri (nenek) saya dari pihak Ibu, menanami ladang mereka dengan singkong dan lantas mengolahnya menjadi gaplek. Itu bukanlah melulu karena adanya kebutuhan industri pengolahan tepung tapioka. Masyarakat pedesaan Wonogiri di rumah secara tradisional menjadikan gaplek sebagai model pengawetan hasil panenan singkong dari ladang mereka. Gaplek itu lantas mereka olah lebih lanjut menjadi tiwul, semacam nasi berbahan tepung tumbukan gaplek, untuk dikonsumsi sehari-hari.

Tiwul pernah lama menjadi makanan pokok penduduk Wonogiri, khususnya di pedesaan. Akan stigma bahwa tiwul kurang bergizi dibanding nasi beras, bahwa tiwul makanan ndeso dan makanan orang miskin, akhirnya membuat mayoritas masyarakat Wonogiri mengonversi makanan pokoknya menjadi nasi beras. Lebih lagi, semasa Orde Baru  demi bagian pencitraan keberhasilan menyejahterakan rakyat, Pemerintah memang menempuh kebijakan penyeragaman makanan pokok ke beras. Alhasil, tiwul pun terpinggirkan. Pengonsumsi tiwul kini lebih banyak dari kalangan berusia sepuh yang memang mengakrabi nasi gaplek ini semasa muda mereka. Paling tiwul kini lebih banyak menjadi makanan selingan atau bahkan makanan untuk kebutuhan pameran semacam yang bertema keanekaragaman pangan, tetapi jarang dikonsumsi sehari-hari.

Saya sendiri terus terang adalah orang yang telah berjarak dengan kebiasaan konsumsi tiwul. Seingat saya, saya mengonsumsinya paling sampai sekitar umur empat tahun. Itu dulu karena ikut-ikutan Mbah Kakung dan Mbah Putri saya yang sampai sekarang memang masih sering makan dengan tiwul atau mencampurkan tiwul ke nasi beras mereka. Ketika saya masih doyan makan tiwul, saya contohnya menikmati sepiring kecil tiwul yang ditaburi parutan kelapa dan gula jawa. Namun kini, dengan sangat jujur, sepiring tiwul sepertinya bakal sulit untuk dapat saya tandaskan. 

SEPIRING tiwul dengan kerupuk dan sayur 
(foto dari mandalalestari.indonetwork.co.id)
Saking identiknya Wonogiri sebagai daerah penghasil gaplek dan daerah masyarakat pengonsumsi tiwul, kota ini kerap mendapat julukan kota gaplek atau kota tiwul. Namun, julukan itu paling tidak bagi telinga dan mata saya kurang terasa membanggakan. Lagi-lagi berkaitan dengan gaplek dan tiwul yang selama bertahun-tahun dicap sebagai bahan makanan berderajat lebih rendah dibanding beras serta nasi, julukan kota gaplek atau kota tiwul itu jadi terasa tak seindah julukan kota gudeg milik Jogja atau julukan kota dodol milik Garut.

Sesungguhnya, Wonogiri memiliki hasil pertanian menonjol yang lain yakni mete. Biji jambu monyet ini yang sudah dikupas dan menjadi kacang mede, lebih lagi yang telah digoreng, sebenarnya termasuk oleh-oleh yang dicari orang di Wonogiri. Namun, julukan kota mete agaknya kurang memiliki gaung luas jika dibanding julukan kota gaplek atau kota tiwul. Entahlah apa penyebabnya, mungkin karena harga kacang mede yang tergolong mahal yakni sekitar Rp 50 ribu per kilonya. Namun, boleh jadi juga karena orang memang lebih mudah mengingat sisi yang "jelek" ketimbang sisi yang "bagus" dari Wonogiri. Kombinasi antara "Wonogiri" yang dalam bahasa Jawa berarti hutan dan gunung atau hutan bergunung di satu sisi, dengan sisi lain yang berisi serentang hal semacam "bukit kapur", "tandus", "kering", "gaplek", dan "tiwul" rupanya terasa sinkron dan nancep di benak orang. Itu rupanya lebih mudah dibayangkan orang ketimbang mesti mengaitkan "Wonogiri" dengan "mete" dan "panganan mahal". Apa lagi mete masih diiolah dan dikemas oleh industri kecil rumahan, belum sampai punya pabrik segede gaban seperti Kacang Garuda dan Dua Kelinci di Pati, Jawa Tengah.

Wonogiri juga bukanlah kota industri semacam Shenzhen. Kota ini tidaklah dijubeli pabrik-pabrik yang setiap pabriknya menyerap tenaga buruh dalam jumlah ribuan atau belasan ribu. Pabrik tentu saja ada.  Namun, secara tradisional pabrik yang memilih berbasis di Wonogiri adalah pabrik jamu yakni Deltomed dan Air Mancur. Jumlah buruh mereka tentu saja tak sebesar pabrik tekstil, pabrik perangkat elektronik, juga pabrik kendaraan bermotor.

Pernah terdengar rencana untuk mendirikan pabrik semen di daerah karst di bagian selatan dari kabupaten asal saya ini. Namun, rencana itu agaknya sekadar berhenti di tataran wacana dan survei.

Berhubung saya antara tiga hingga dua tahun lalu pernah beberapa kali bertandang ke lingkungan warga Sukolilo, Kabupaten Pati, yang menolak pendirian pabrik semen di kecamatan mereka karena menakutkan kerusakan daerah karst dan mata-mata air di sana, saya sekarang agaknya lebih mensyukuri bahwa di Wonogiri selatan urung berdiri hadir sebuah pabrik semen. Alasan saya kurang lebih sama dengan warga Sukolilo di Pati. Lagi pula, pabrik-pabrik baru sebaiknya didirikan saja di pulau-pulau di luar Jawa, supaya penduduk Indonesia tak lagi terlalu menumpuk di Jawa.

Proyek
Wonogiri tidak pula kota yang benar-benar hidup oleh topangan pariwisata. Objek pariwisata yang tergolong lumayan representatif ya paling Taman Wisata Waduk Gajah Mungkur yang dikonsentrasikan di Desa Sendang, Kecamatan Wonogiri, berjarak sekitar 5 kilometer dari pusat Kota Jambi. Taman wisata itu antara lain berisi kebun binatang mini, tapi tak cukup menarik untuk saya karena tak punya koleksi harimau; perahu motor yang menawarkan pelayaran singkat ke tengah waduk; kereta api mini tanpa rel yang aslinya berupa modifikasi mobil yang dipasangi gerbong berangka besi dan memiliki beberapa deret bangku; warung-warung makan; juga kolam renang yang terakhir-terakhir ini saya dengar telah dilengkapi pula dengan water boom.   Masyarakat yang bermukim dan berasal dari Kabupaten Wonogiri lebih umum menyebut taman wisata itu dengan nama Proyek, sebuah istilah yang agaknya diwariskan dari masa pengerjaan Waduk Gajah Mungkur pada akhir 1970-an hingga awal 1980-an.

TEPIAN tempat sandar perahu di Objek Wisata Waduk Gajah 
Mungkur alias Proyek  (foto dari htt://solorayaonline.com)
Di tahun-tahun saya duduk di bangku SD, saya lumayan mengakrabi suasana di seputaran objek wisata itu. Hampir sepekan sekali setiap hari Minggu, saya turut bersama Bapak saya yang rutin berolahraga bulutangkis di sebuah gedung olahraga kecil, sekaligus aula Kantor Desa Sendang, yang letaknya berseberangan jalan dari area pintu gerbang objek wisata Proyek. Namun, pergi ke tempat olahraga badminton hampir setiap pekan selama sekitar empat - lima tahun tak lantas membuat saya mahir menepok shuttle cock sebagaimana Bapak saya. Soalnya, ketika itu setiap ngikut Bapak saya kenyataanya tak terlalu tertarik untuk belajar mengayun raket dan memukul si bulu angsa. Saya selalu saja lebih tertarik nongkrong di kantin untuk minum Fanta merah atau segelas es teh dan makan gorengan mendoan yang lebar lagi empuk, kalau tidak itu ya nongkrong mengamati lalu lalang orang yang mengunjungi Proyek, sesekali juga main melihat-lihat ke dalam areal Proyek.

Hanya saja, Proyek, juga sejumlah goa-goa kecil dan pantai-pantai sepi di sisi selatan Kabupaten Wonogiri, pula beberapa daerah wisata ziarah semacam Gunung Giri dan Dlepih, bukan objek-objek wisata yang mampu menarik minat orang untuk menghabiskan waktu sampai berhari-hari di Wonogiri. Waktu kunjung wisatawan, yang kebanyakan adalah wisatawan lokal dari kabupaten-kabupaten lain di sekitar Wonogiri, sangat singkat, dan Tribun yakin paling  sekitar sehari saja. Alhasil tak ada hotel berbintang hadir di Wonogiri. Yang ada di sana hanyalah hotel-hotel kelas melati dan losmen. Kebanyakan berdiri di seputaran pinggir Waduk Gajah Mungkur, di jalur sepanjang tiga kilometer ke kiri maupun ke kanan dari Proyek.

Sayangnya, keberadaan hotel-hotel melati dan losmen-losmen di kawasan pinggiran Kota Kabupaten Wonoguru itu selalu dibayang-bayangi imej negatif di mata warga Wonogiri. Berbagai penginapan itu selalu saja dipandang sebagai tempat kencan baik bagi pasangan kekasih maupun kegiatan prostitusi terselubung.

Soal penginapan-penginapan itu dan imej minus mereka, saya ingat sejumlah pengalaman ketika menumpang angkutan umum semasa  masih bersekolah di SMP dan SMA. Pasangan pria dan wanita yang turun atau naik angkutan umum di sekitar hotel-hotel dan losmen-losmen itu biasanya terlihat kikuk atau bahkan pura-pura tak saling mengenal.

Pernah pula suatu kali ada seorang perempuan tiga puluhan tahun mencegat mikrobus yang saya naiki. Lokasi naik perempuan itu dekat atau bisa dibilang seberang jalan dari satu hotel melati di lintasan antara Kota Wonogiri dan Proyek. Melihat rambut perempuan itu yang basah dan terlihat seperti habis berkeramas, saya dan seorang teman segera cekikan dan berbisik-bisik di bangku belakang. Kata teman saya itu, konon dari beberapa kali pengamatannya terhadap para penumpang yang naik turun di sekitar hotel-hotel melati, perempuan adalah seorang pekerja seks komersial. Entahlah soal kebenaran bisik-bisik kami. Dasar tebakan kami lebih banyak hasil gabungan dari ingatan teman saya, rambut basah milik wanita itu, juga bau rumit yang dibawanya, suatu campuran antara wangi dari sampo dan sisa-sisa apak dari cucuran keringat.

Mengakrabi Ketika Bersekolah
Saya sendiri  terutama mengakrabi Kota Kabupaten Wonogiri dalam satu kurun sepanjang enam tahun antara 1994 sampai dengan 2000. Itu adalah ketika saya bersekolah di satu SMP yayasan Katolik dan lantas berlanjut di satu SMA negeri di tengah kota itu.

Enam tahun itu sendiri selalu saya ingat sebagai tahun-tahun paling rajin dalam hidup saya sejauh ini. Kala itu, saya rutin bangun setiap hari pukul 05.00 pagi, lalu segera mandi dan membuat sekian persiapan lain, sebelum akhirnya menumpang mikrobus alias kol pada pukul 06.00 untuk menempuh perjalanan ke Wonogiri selama sekitar 45 menit. Maklumlah, rumah tempat saya tinggal ada di sebuah desa yang berjarak 24 kilometer dari Kota Kabupaten Wonogiri. Sepulang sekolah, saya biasanya baru akan sampai di rumah saya juga pada sekitar pukul 14.30 atau 15.00.

Kala itu, sekitar dua kali dalam sepekan, saya malah baru akan sampai di rumah pada sekitar pukul 18.00. Itu adalah hari-hari ketika di sekolah ada jam ekstrakurikuler yang berlangsung antara pukul 15.00 sampai dengan 16.30 atau 17.00. Pada petang hari seperti itu, Bapak saya mesti menjemput saya memakai sepeda motor di Cengkal, sebuah simpang tiga yang berjarak sekitar enam kilometer dari rumah saya. Pasalnya, angkutan umum terdekat ke daerah rumah saya  cuma melintas sampai di simpang tiga itu, sebelum akhirnya justru membelok ke cabang jalan lain yang tak mengarah ke kecamatan yang saya diami.

Kembali ke soal Kota Kabupaten Wonogiri.  Selama enam tahun mengakrabinya, saya rasanya tak bisa menemukan sesuatu yang benar-benar istimewa dari Kota Wonogiri. Bangunan-bangunan modern yang ada di kota ini tergolong biasa-biasa saja dari segi arsitektur maupun ketinggian. Bangunan-bangunan tua bukan sesuatu yang banyak bisa ditemukan di kota ini. Rasanya bangunan paling tua yang ada di kota ini adalah Stasiun Kereta Api Wonogiri  yang ada dari tahun 1922, yang melayani perjalananan kereta feeder ke Stasiun Kereta Api Puwosari di Solo.

STASIUN Wonogiri (foto dari
Untuk bangunan lain semacam bangunan di Komplek Rumah Dinas Bupati maupun Sekretariat Daerah Kabupaten, atau petilasan Sunan Giri di Bukit Gunung Giri saya tidak tahu tingkat otentisitasnya kini. Masih soal bangunan lama, Wonogiri pun rasanya tidak memiliki komplek Kota Lama maupun Pecinan. Kota kecil ini dahulu saking kecilnya tak sampai banyak ditinggali oleh orang bule dan konsentrasi kaum Tionghoa  di sini pun tak sampai begitu besar dan mencolok sedari awal.

Kota ini jika dibanding kota-kota sekitarnya wilayah eks Karesidenan Surakarta maupun Provinsi Jawa Tengah tetap saja sebuah kota yang kecil dan terletak di pojok. Ia sampai sekarang tak pula dipandang punya nilai strategis signifikan, kecuali ketika puncak musim kemarau dan puncak musim penghujan. Di dua periode dalam setahun, debit air Waduk Gajah Mungkur biasanya menjadi sorotan. Jika sangat surut di puncak kemarau, debit air yang minim bakal membuat pasokan irigasi ke kabupaten-kabupaten di daerah utara tak optimal, sebaliknya di puncak musim penghujan, waduk bakal disorot seberapa mampu menampung curahan air hujan. Maklumlah bagian timur dan selatan Kota Solo pernah dibuat tergenang pada penhujung Desember 2007. Saat itu, Waduk Gajah Mungkur mesti melepas banyak cadangan akhirnya karena curah hujan yang sangat tinggi.

Toko, Sekolah, dan Bioskop
Fasilitas umum maupun jasa yang ada di Wonogiri, seingat saya hingga sekitar pertengahan dan akhir 1990-an, bisa dibilang selalu kalah dari kota-kota di sekitarnya. Simbol gaya belanja masyarakat urban modern berupa pasar swalayan dan supermarket tak dapat ditemukan di kota ini sampai medio 1990-an. Untuk berbelanja dengan gaya swalayan, orang-orang yang tinggal di Wonogiri mesti meluangkan waktu dan energi pergi ke Solo atau Jogja.

Konyolnya, saya pun waktu itu tak sampai punya bayangan jernih bahwa suatu hari di kota kabupaten saya ini bakal pula memiliki toko-toko berformat swalayan. Di antara menerangkan pelajaran dalam kelas, seorang guru saya semasa SMP pernah berucap bahwa toko-toko model swalayan, termasuk pengembangan jaringan swalayan nasional, bakal menjadi tren pada tahun-tahun ke depan. Saat mendengar cerita itu terus terang saya lebih banyak melongo, lebih banyak tak percayanya. Prediksi futurisme saya ketika itu memang payah... .

Hingga medio 1990-an, toko-toko terbesar di Kota Kabupaten Wonogiri sekalipun menggunakan format konvensional alias semua barang dagangan dipajang dalam rak-rak etalase kaca. Setiap pengunjung toko untuk memilih-milih dan akhirnya membeli barang yang diinginkanya mesti meminta bantuan seorang pramuniaga. Jika akhirnya terjadi kesepakatan untuk membeli, si pramuniaga akan membuat dua salinan nota pembelian, satu untuk diantarkannya ke kasir bersama barang pilihan konsumen, satu nota lagi diberikan kepada konsumen untuk kepentingan pembayaran di kasir. Selesai membayar di kasir, berbekal lembaran kertas bukti pembayaran barulah barang dapat diperoleh dengan mengantre di tempat pengambilan barang. Format toko konvensional semacam ini rasanya saat ini lebih sering digunakan oleh toko kertas, toko karpet, dan toko bangunan.  

Supermarket swalayan baru hadir di Wonogiri pada tahun 1995. Ketika itu, toko kelontong terbesar di Wonogiri yakni Toko BARU memutuskan untuk mengubah format toko mereka menjadi swalayan. Hari pertama format baru itu, juga mungkin hampir sepekan sesudahnya, rasanya warga sekota seperti tumplek blek memadati. Beberapa teman sekolah saya juga turut menyerbu Toko BARU rasa baru itu. Barang yang terutama mereka cari ketika itu adalah Coca Cola kemasan plastik PET 500 mililiter, yang kala itu merupakan hari-hari pertamanya dirilis untuk pasaran Indonesia.

Kini, sebagaimana kota-kota lain di Jawa, model toko swalayan menjadi format yang paling populer dan berdiri di berbagai sudut kota. Supermarket dibuka baik oleh pengusaha lokal, pengusaha dari lain daerah sejak medio 1990-an dan awal 2000-an. Jaringan minimarket semacam Indomaret dan Alfamart pun melakukan ekspansi kemari sejak medio 2000-an.

Oh ya, SMA Negeri tempat saya bersekolah selama tiga tahun adalah SMA negeri pertama di kota Wonogiri maupun di Kabupaten Wonogiri. SMA almamater saya ini baru berdiri pada awal dekade 1960-an. Itu artinya berdiri ketika kemerdekaan Indonesia telah lewat dari lima belas tahun

SMA saya itu berdiri di bekas gedung komplek rumah sakit. Konon ada sejumlah cerita horor tentang sekolah itu. Satu di antaranya adalah tentang keberadaan hantu perawat yang disebut "suster ngesot" karena katanya jika munculakan terlihat bergerak dengan cara mengesot di lantaiBegitu saya merantau keluar Wonogiri, saya baru tahu bahwa  si suster ngesot ternyata bukan milik eksklusif SMA dan kota kabupaten saya. Syukurlah pula, selama tiga tahun bersekolah di sana, saya tak sampai bertemu si suster yang akhir-akhir ini namanya sering ditampilkan menjadi tokoh darlam film-film horor Indonesia.

Hingga akhir 1980-an, Wonogiri memiliki tiga bioskop yang terkonsentrasi di seputaran Perempatan Gudang Seng. Ketiganya adalah Widya Theatre, Kartini Theatre, serta Giri Cahaya Theatre. Widya merupakan bioskop pertama  di Wonogiri dan awalnya bernama Wonogiri Theatre. Ini bioskop dengan tiket paling murah dengan pangsa penonton mereka yang berkantong cekak. Orang-orang Wonogiri kerap mengolok-oloknya sebagai bioskop yang bau pesing. Kartini di seberang Widya yang merupakan bioskop terkecil dan berfasilitas paling bagus karena studionya ber-AC, namun umurnya ternyata paling pendek. Giri Cahaya Theatre yang merupakan bioskop terbesar dan awalnya bernama Giri Jaya.

Saya mengingat kegairahan publik terhadap bioskop-bioskop itu pada akhir 1980-an hingga awal 1990-an. Film-film yan antara lain diminati adalah franchise film laga kolosal yang diadopsi dari sandiwara radioSaur Sepuh. Saya biasanya menonton film-film laga itu bersama Bapak.

Namun, memasuki medio 1990-an, film-film yang diputar di bioskop Kota Wonogiri lebih banyak film esek-esek Indonesia yang ketika itu antara lain dibintangi Inneke Koesherawati pas zaman masih liar, juga Sally Marcellina. Film-film Barat biasanya baru diputar di Wonogiri setelah selang dua bulan atau bahkan lebih dari pemutaran bioskop-bioskop di Solo.

Pada tahu-tahun pergantian abad XX ke abad XXI, bioskop di Wonogiri akhirnya gulung layar. Widya menyusul tutup di paruh kedua 1990-an. Giri Cahaya masih mencoba bertahan beberapa tahun sebelum akhirnya angkat tangan juga. Bekas bioskop Widya dan Kartini berubah menjadi ruko, sedangkan Giri Cahaya berubah menjadi gedung pertemuan serbaguna.

Wono dan Wono
Kalau menilik serenteng cerita ngalor ngidul tadi, bermukim di Wonogiri jadinya harus rela tertinggal sekian langkah dari kota-kota lain di sekitarnya. Rasanya ketika bersua orang non Wonogiri jadi sulit untuk bercerita apa dan membanggakan apa tentang Wonogiri. Sebaliknya, sebuah daftar panjang kekurangan bisa saja dibuat dengan cepat. Di dalam kotanya tak ada spot nongkrong yang benar-benar menarik, tak ada bakeri yang enak, tak ada bangunan-bangunan antik. Di lingkup kabupatennya tak ada pula rasanya objek wisata yang benar-benar luar biasa membanggakan. Sebuah museum berskala nasional yakni Museum Karst memang dibangun di daerah Pracimantoro, tapi selama berbulan-bulan sejak selesai dan diresmikan, museum itu sempat tak kunjung dibuka untuk umum. Lha gimana, museum itu dibikin di daerah yang malah belum ada aliran listriknya sih... .

Hal menyedihkan lainnya, Wonogiri ternyata sebuah tempat yang bisa dibilang berkategori semacam antah berantah bagi banyak orang di luar Wonogiri . Jika diberi peta dan diminta menunjuk dengan cepat, maka ada banyak orang akan menunjukkan letak Wonogiri bukan di tempat yang seharusnya. Mereka ini bisa juga mengelirukan Wonogiri dengan tempat-tempat lain, terutama yang namanya berawalan Wono semacam Wonosobo, Wonosari, Wonokromo, atau bahkan dengan Imogiri. Ealah...ealah... Saya terus terang sebel, tapi pengen juga ketawa kalo ketemu golongan semacam ini.

Untuk waktu yang cukup lama, saya memang bukanlah orang yang bisa berbicara secara nyaman tentang Wonogiri. Pokoknya, asal usul saya sebagai seorang dari Wonogiri sempat berada di luar daftar topik yang ingin saya perbincangkan dengan orang lain. Hal semacam ini saya alami sampai sekitar pertengahan masa kuliah saya di Jogja. Jika mengobrol dengan orang di kampus, di bus, di kereta api, dan lain sebagainya, lalu orang itu bertanya saya berasal dari mana, maka jawaban saya cenderung berbelit. Saya dulu biasa tak langsung mengaku berasal dari Wonogiri. Karena adik perempuan Ibu, paman dan bibi Ibu, juga kakek dari pihak Bapak beserta kakak-adik Bapak tinggal di Solo, saya beberapa kali mengaku berasal dari Solo. Padahal dalam hati berucap 'maksudnya Solo coret alias Solo masih ke selatan.'

Soal ini, saya jadi teringat bagaimana Bapak dan Ibu saya pernah makan bakso di sebuah warung kaki lima pada sebuah kesempatan pergi ke Jakarta pada pertengahan 1990-an. Si pedagang bakso menorehkan tulisan Bakso Solo di gerobak dan tendanya. Bapak saya lantas mengajak ngobrol si pedagang memakai bahasa Jawa.

"Solonipun aslinipun pundi, Mas? (Solonya aslinya mana, Mas?)," tanya Bapak

"Sebelah kidul, Mas (Sebelah selatan, Mas)," jawab si pedagang.

"Gading?" tanya Bapak saya seraya menyebut nama satu daerah di bagian selatan Kota Solo.

"Oh, taksih ngidul malih (Oh, masih ke selatan lagi)," jawab si pedagang.

"Cemani? Grogol?" tanya Bapak saya lagi menyebut dua daerah yang sebenarnya telah masuk Kabupaten Sukoharjo tapi berbatasan dengan Solo.

"Oh, taksih ngidul malih (Oh, masih ke selatan lagi)," jawab si pedagang lagi.

"Sukoharjo?" kejar Bapak saya

"Taksih ngidul malih (Masih ke selatan lagi)," jawab si pedagang dengan suara lebih pelan.

"Nguter?" tanya Bapak saya lagi.


"Taksih ngidul malih (Oh, masih ke selatan lagi)," jawab si pedagang, suaranya lebih pelan.

Setelah mengernyitkan dahi sebentar, Bapak saya tersenyum dan lantas melontarkan tebakan, "Saking Wonogiri, nggih? (Dari Wonogiri ya?)


Si pedagang ganti tersenyum dan mengangguk. Begitu Bapak dan Ibu saya mengenalkan diri berasal dari Wonogiri, si pedagang lantas menyebutkan satu kecamatan tempat asalnya di Wonogiri.

Hmmm, rupanya pedagang bakso  itu punya "penyakit" yang sama seperti saya, tak pede untuk langsung mengaku berasal dari Wonogiri. BERSAMBUNG KE BAGIAN 5... (yoseph kelik)

Artikel Berkaitan

1 komentar:

  1. Informasi yang sangat bermanfaat untuk lebih mengenal Kota Gaplek, sing ngangeni.

    BalasHapus