Senin, 31 Oktober 2011

Peti Besi Ajaib

ANDREA Hirata pernah menyebut benda ini sebagai benda ajaib. Sebutan demikian dilontrakan penulis kelahiran Pulau Belitung itu melalui tulisan di bagian tengah novel perdananya yang luar biasa laris, Laskar Pelangi. 
BUS Surat di depan Kantor Pos Pemeriksa (Kantor Pos Besar) Kota Jambi.

Menurut  Andrea, keajaiban si benda berbentuk peti besi itu adalah dalam soal kemampuannya menghantarkan hingga ke tempat-tempat jauh benda-benda berbahan kertas, yang dicemplungkan ke dalam badannya melalui celah memanjang di sisi mukanya. Sebut Andrea, semua benda kertas yang dimasukkan ke dalam peti itu bakal sampai ke tempat manapun di Indonesia dalam hitungan tiga hari sampai dengan dua minggu.

Agar si peti besi ajaib mampu mengantar hingga tempat yang dituju ada dua macam syarat.
Pertama amplop pembungkus maupun kertas yang dicemplungkan ke dalamnya mesti ditulisi alamat tujuan yang jelas. Kedua, amplop dan kertas yang dicemplungkan tadi harus pula ditempeli pula dengan perangko yang cukup. Besar nominal perangko yang ditempelkan akan menentukan seberapa cepat si peti besi mengerjakan pengantarannya.

Benda yang dilukiskan Andrea semacam itu tadi, juga disebut dalam pemahaman seorang anak-anak sebagai piranti ajaib, sesungguhnya tak lain dan tak bukan adalah bus surat. Bus surat di dalam Laskar Pelangi memang dipinjam Andrea sebagai lawan keterpencilan Pulau Belitung, tempat tinggal Ikal, tokoh utama dalam ceritanya yang agaknya merupakan pula personifikasi dari sosoknya semasa kecil.

Dalam konteks 1980-an, seting waktu Laskar Pelangi, bus sura memang t merupakan sebuah instrumen penting dalam jalinan komunikasi surat menyurat antar berbagai tempat yang saling berjauhan. Mereka yang terlahir pada dekade 1980-an atau sebelumnya tentu masih dapat mengingat bahwa bus surat pernah menjadi sebuah fasilitas umum yang terpasang di titik-titik strategis di berbagai penjuru sebuah kota besar maupun kecil. Benda yang di Indonesia biasa bercat oranye itu antara lain menghiasi tepi jalan protokol, tegak di depan kantor pos, juga terpasang di dalam aneka komplek bangunan  dari mulai perkantoran, sekolah, hingga tangsi militer.

Mereka yang terlahir pada masa ketika bus surat menjadi pemandangan umum sebuah kota boleh jadi merasa keefektifan benda ini dalam mata rantai kegiatan surat menyurat via pos. Sebagaimana digambarkan Andrea Hirata,  cukup dengan mencemplungkan surat melalui lubang berbentuk garis memanjang di badan bus surat, maka surat pun akan sampai ke alamat tujuan dalam beberapa hari. Tak banyak orang tentunya rela berpusing- pusing memikirkan jasa layanan pos yang berada di balik terantarnya sebuah surat sampai tujuan.

Empat Saja
Namun, kini pada sebelas tahun pertama abad XXI, bus surat boleh dibilang telah kehilangan sama sekali fungsi strategisnya di masa lalu. Bus surat bukan lagi sebuah benda berderajat ajaib seperti pada era tokoh Ikal konon melewatkan masa kecilnya di Belitung.

Di Kota Jambi saja contohnya, bus surat sudah bukan lagi benda yang termasuk pemandangan lazim di areal publik. Bus surat tak lagi terlihat berdiri di pinggiran jalan-jalan raya maupun persimpangan penting. Bus surat tak lagi tampak terpasang di sekolah serta perkantoran. Bus surat bahkan tak lagi terlihat menghiasi gedung-gedung kantor pos.

Setahun lalu, saya pernah mencoba menghitung jumlah bus surat di kota yang berpenduduk sekitar setengah juta orang ini. Jumlahnya ternyata tinggal empat buah saja.

Dua yang pertama ada di Komplek Kantor Pos Pemeriksa  alias Kantor Pos Besar Jambi , Jalan Sultan nomor 5, Kawasan Tanggo Rajo, Kota Jambi. Satu bus surat berdiri di depan bangunan Kantor Pos Besar, satu lagi dipasang menempel dinding di dalam Kantor Pos Besar.

Bus surat di depan Kantor Pos Besar Jambi tegak di luar pagar kantor, tepatnya di bagian taman yang berhimpit dengan trotoar jalan. Bus surat ini berbentuk semacam tugu atau brankas besar bercat oranye. Tingginya sekitar 1,6 meter dengan lebar kira-kira 50 centimeter. Pintu di sisi kiri dan kanannya dikunci memakai gembok hitam bermerk Siwata. Bus surat itu memiliki dua mulut lubang surat, yakni di samping kiri serta kanan. Sebuah logo merpati melintas cepat milik PT Pos Indonesia menghiasi sisi depan bus surat. Tulisan samar berbahasa Belanda berbunyi BRIEVEN POS tampak menghiasi pinggiran sisi depan atas dari bus surat itu. Pinggiran kanan serta kiri dari bagian atas bus surat itu juga terhiasi oleh selarik kata-kata dalam bahasa Belanda, hanya saja bunyi beda. Kali ini yang tercetak DIEPENBROCK & REIGERS ULFT 1914. Itu agaknya merupakan nama pabrik pembuat bus surat dan tahun pembuatannya.

Bus surat kedua di dalam lingkungan Kantor Pos Besar adalah sebuah bus surat kecil yang berukuran kurang lebih sama dengan koper ukuran 20 kilogram. Bus surat ini adalah jenis yang ditempel ke dinding, dan memang begitulah pemasangannya di dalam bangunan Kantor Pos Besar. Namun, bus surat itu pada setahun lalu telah dialih fungsilan menjadi kotak saran bagi para pelanggan Kantor Pos Besar. Awal Oktober 2011 ini, ketika saya berkunjung kembali ke Kantor Pos Besar untuk sebuah liputan, bus surat tempel tersebut malah sudah tak lagi terlihat. Ia rupanya termasuk yang tersingkir oleh renovasi gedung Kantor Pos Besar beberapa bulan lalu.

Dua buah bus surat lain, nomor tiga dan empat dari daftar sangat pendeka bus surat tersisa di Kota Jambi, masing-masing masih saya lihat berdiri di depan bangunan Kantor Pos di daerah Paal Limo Kota Jambi serta di depan Kantor Kelurahan Kenali Asam Atas. Bus surat nomor tiga dapat ditemukan tegak di sisi kanan jalan jika anda menempuh perjalanan dari Simpang Kawat ke arah Kantor Kecamatan Kotabaru. Bus surat nomor empat bakal ditemukan berdiri di sisi kiri jalan dalam perjalanan  antara Kantor Kecamatan Kotabaru  ke arah Paal Sepuluh.

Dibongkar Tahun 2004
Awal Juni 2010 lalu, saya pernah mengobrolkan bus surat yang masih tersisa di Jambi dengan Wakil Kepala Kantor Pos Besar Kota Jambi ketika itu, Akhmad Sumaryadi. Menurut pria berkumis dan berkacamata yang menurut informasi terakhir menjabat sebagai Kepala Kantor Pos Pemeriksa di Padang tersebut, hampir semua bus surat di seantero Kota Jambi memang telah dibongkar pada 2004 dan 2005. Kebijakan pembongkaran bus-bus surat tersebut adalah kebijakan PT Pos Indonesia secara nasional. Itu terjadi karena jumlah surat yang dimasukkan masyarakat ke bus surat memang turun drastis sejak awal 2000-an. Masyarakat memang mulai lebih sering berkomunikasi melalui ponsel dan internet. Kalaupun berkirim surat konvensional, orang lebih memilih mengantarkannya langsung ke Kantor Pos. Pengecekan isi bus surat dua kali sehari pada 1999 hingga 2005 pun sering mendapati bus surat yang tetap kosong melompong sepanjang hari.

Menurut Akhmad Sumaryadi setengah tahun lalu, bus surat di depan Kantor Pos Besar lebih banyak berfungsi sebagai semacam monumen. Meski masih dicek isinya setiap hari, paling hanya dua lembar surat menjadi muatannya. Dalam kesehariannya benda itu pun lebih sering tak berisi surat.

Sejak sepuluh tahun terakhir, sebagai respon terhadap penetrasi pesat internet dan ponsel di masyrakat, PT Pos Indonesia memang lebih mengedepankan pelayanan surat-menyurat yang dilayani secara tercatat di kantor pos. Jasa pengiriman surat tercatat tersebut saat ini antara lain terdiri dari Kilat Khusus dan Pos Express.

Surat menyurat memakai perangko tak lagi merupakan model utama kegiatan pos. Peminat jasa surat menyurat jenis ini pun cenderung turun dari tahun-ke tahun dari waktu. Kini dari sekitar 3.000 surat yang diproses di Kantor Pos Besar Jambi tiap harinya, paling hanya ada sekitar seratus surat yang masih menggunakan perangko. Dengan demikian, keberadaan bus surat di berbagai penjuru kota memang tak lagi terlalu signifikan.


Dulu 25
Di hari yang sama saat saya mengobrol dengan Akhmad Sumaryadi, saya mengobrol pula dengan Sardjana, seorang petugas bagian pemrosesan surat di Kantor Pos Besar Jamb. Menurut pria setengah abad lebih ini, sebuah bus surat di Kota Jambi sebelum tahun 1999 berisikan paling tidak 40 surat setiap harinya. Bus-bus surat di kawasan ramai semacam Pasar, bahkan dapat berisi antara 200 hingga 600 surat dalam sehari.

Dulu, sebelum tahuan 2004, sebuah bus surat dicek isinya sebanyak dua kali sehari, yakni pada sekitar pukul 05.00 dan sekitar pukul 15.00. Pengeceknya adalah dua petugas yang mengendarai sebuah mobil. Setiap kali mengecek, para petugas ini mengambil kantong penampung surat dalam bus surat dan kemudian mengantinya dengan kantong penampung yang masih kosong.

"Kalau tidak salah dulunya ada paling tidak 25 bus surat di seluruh Kota Jambi. Umumnya terpasang di dekat persimpangan jalan," kata Sardjana tentang jumlah bus surat yang ada di Kota Jambi hingga lima-enam tahun lalu. Pria yang berdinas di lingkungan pos sejak 1979 itu mampu menyebutkan jumlah tersebut karena dulunya ia meang bertugas sebagai pengecek bus surat. (yoseph kelik)

Dimodifikasi dari Satu Tulisan yang Pernah Dimuat di Harian pagi Tribun Jambi pada 8 Juni 2010




Tulisan Berkaitan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar