Kamis, 05 Januari 2012

Miniatur Istana Pagaruyung di Sungai Puar

Oleh Yoseph Kelik


RUMAH Gadang versi mini milik pasangan Ridwan-Nurleli








BUS warna hijau yang ditumpangi rombongan Komunitas Bike To Work (BTW) Jambi serta saya menyusur jalan aspal sempit di daerah Sungai Puar, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Beberapa meter bergerak di depan bus adalah truk pengangkut sepeda-sepeda anggota rombongan. Sabtu, 24 Desember 2011 sore itu, rombongan yang sedang menjalani rangkaian kegiatan tur bersepeda ke daerah Bukittinggi ini baru saja pulang dari berkunjung dari Lembah Harau, Payakumbuh.

Usai melahap satu tanjakan, dari entah sekian tanjakan di daerah di lereng Gunung Marapi tersebut, bus kemudian berhenti. Umumnya penumpang mengira bus sekadar berhenti sekadar karena berpapasan dengan kendaraan lain dari arah depan, juga mesti memberi jalan kepada mobil itu.

Seorang perempuan muda anggota rombongan kami menoleh ke satu rumah yang berdiri di sisi kiri jalan. Rumah itu sungguh mampu mencuri perhatian. Bentuk bangunannya adalah khas Tanah Minang yakni berupa rumah gadang, tapi dalam versi kecil. Atapnya memiliki total lima lengkungan meruncing seperti tanduk, yakni masing-masing dua di kiri dan dua di kanan, juga satu di depan. Warna merah yang berpadu ornamen warna-warni, plus pola garis-garis vertikal keemasan, menghiasi dinding-dinding rumah itu.


"Wah, ayo turun sebentar, foto-foto di depan rumah itu," celutuk si perempuan berjilbab tadi karena agaknya terpukau kepada si rumah gadang mini. Tak disangka kemudian terdengar pengumuman dari pemimpin rombongan, bahwa para penumpang diharap turun dan memasuki si rumah gadang mini. Rombongan BTW Jambi selama di Bukittinggi rupanya menginap di bangunan cantik yang sepintas menyerupai miniatur Istana Pagaruyung itu. 

Ternyata Tembok
Rumah itu jika sepintas dilihat seperti bangunan kayu. Ternyata, jika didekati, dipegang dinding- dinding-dindingnya, juga dimasuki barulah ketahuan jika rumah itu sebenarnya merupakan bangunan berdinding bata.

"Oh, dari tembok ya? Sering orang omong begitu setelah lihat dari dekat atau pegang-pegang temboknya," ucap Ridwan Puar (67), sang pemilik rumah, meniru celutukan beberapa orang yang pernah berkunjung ke rumahnya. Ridwan mengucapkan hal itu pada Sabtu malam ketika diajak mengobrol santai oleh saya dan sejumlah anggota Rombongan BTW Jambi.

ATAP rumah
Ridwan  memilih menjadikan ini bangunan tembok karena merasa hal tersebut jauh lebih mudah dalam perawatannya. Alasan itu pula lah yang menjadikannya memilih atap bergenteng metal, bukan ijuk seperti halnya rumah gadang lama.

Dari segi bentuk rumah, Ridwan mengadopsi rumah gadang lama keluarganya yang tegak sekitar 50 meter dari rumah temboknya sekarang. Namun, ia tentu saja memerkecil dimensi rumah. Di rumah temboknya cukup ada tiga ruang besar utama di dalam rumah yakni ruang tamu merangkap ruang keluarga serta dua kamar tidur, sedangkan di rumah gadang lama keluarganya ada sembilan ruang.

"Dulu di rumah yang ini ada juga rumah gadang tua, tapi rumah itu tidak menghadap ke arah jalan seperti sekarang, tapi menghadap ke arah selatan, ke arah Gunung Marapi," imbuh Ridwan tentang rumah yang kini menghadang ke arah barat ini. Ridwan mengubah rumah tuanya menjadi seperti sekarang sekitar enam tahun lalu.

Bagian fungsional dari rumah yakni dapur dan kamar mandi dilekatkkan Ridwan dalam bagunan terpisah sekitar 10 di utara rumah utama. Bangunan tambahan ini dihubungkan oleh satu selasar beratap dari teras belakang rumah.

Ukiran

Tentang bentuk ukiran di dinding bagian depan rumah, juga bentuk anyaman bambu di dinding samping rumah, itu merupakan serangkaian relief yang ditorehkan ke dinding tembok.

"Itu dulu dibentuk ketika dinding dalam keadaan antara basah dan kering. Jadi, begitu dinding diplester, ditunggu sebentar, baru dicongkel-congkel," kata Ridwan. Pilihan menciptakan tembok seolah dinding papan kayu serta anyaman merupakan cara Ridwan menghadirkan citra tradisional kepada bangunan yang sebenarnya berkonstruksi moderen tersebut.

Kesan ukiran tradisional di dinding depan dikuatkan dengan pengecatan dominan memakai warna merah. Lekukan relief dicata memakai warna hitam. Detail motif sulur, bunga, serta daun, ditegaskan oleh pengecatan memakai warna kuning dan biru.

DINDING depan beserta relief dan tempelan cerminnya

Uniknya, Ridwan menambahkan tempelan cermin-cermin mungil bundar di dinding depan itu. Jika siang dan tertimpa sinar, cermin-cermin kecil tampak berkilauan bahkan dari bukit seberang. Cermin-cermin kecil didapat Ridwan dari membeli segepok wadah bedak ukuran saku di pasar dan kemudian mencongkelinya. Dia memilih cermin wadah bedak karena telah memiliki ukuran seragam dan bentuk yang bundar.       

DINDING samping dan motif mirip annyaman bambu
 Dinding samping yang dibentuk seolah terbangun dari lembar-lembar anyaman bambu dicat memakai warna hitam. Dinding ini terbagi menjadi sejumlah sekuens. List bermotif sulur dan bunga yang dicat kuning biru dan merah membingkai setiap sekuens itu.

Di antara tiang-tiang teras, juga di atas setiap jendela dan pintu, ada sejumlah hiasan kayu berukir. Kata Ridwan, ukiran itu didatangkannya dari Jambi. Motif ukiran pun lebih ke arah ala Jambi dan Jawa, bukan Minang. Itu merupakan kreasinya semata. Ridwan dan Nurleli (55), istrinya, memang sebenarnya lebih banyak tinggal di Jambi, cuma sekali sebulan tinggal di Sungai Puar.

Unsur kayu diaplikasikan Ridwan sebagai pelapis dinding bagian dalam serta sebagai plafon. Lantai rumah dipilih Ridwan dari jenis parket dengan warna sedikit lebih gelap dari pada kayu pelapis dinding.

LAMPU di ruang utama rumah

Tempat Favorit Berfoto
"Sering sekali orang lewat di jalan depan itu terus berhenti dan minta izin foto-foto, "ucap Nurleli (55), istri Ridwan, ketika ikut berbagi cerita kepada saya mengenai rumahnya. Tentang orang-orang yang mampir berfoto itu, Nurleli dan suaminya tak berkeberatan.

Malah seingat Nurleli, rumahnya itu pernah nongol di beberapa videoklip untuk lagu pemusik lokal Sumatera Barat. Paling tidak tiga kali rumah itu dipakai untuk pengambilan gambar video klip semacam itu.

Hanya saja, berhubung setiap pengambilan gambar itu akhirnya merepotkan empunya rumah maupun penjaga rumah. Berbagai fasilitas rumah dari mulai kamar mandi, dapur, serta listrik turut terpakai untuk proses produksi, Nurleli dan sang suami akhirnya tak mengizinkan lagi pengerjaan videoklip di rumahnya.



CATATAN: Pernah dimuat di Rubrik Home and Garden Harian Pagi Tribun Jambi pada Minggu, 1 Januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar