Oleh Yoseph Kelik
PERSIAPAN event Pawiyatan Budaya Adat 2007 (foto dari desantara.or.id) |
“Papan mriki niku ibaratipun segoro. Ireng ditompo, putih nggih ditompo (Tempat ini itu seperti lautan. Hitam diterima, putih juga diterima).”
Ibarat lautan yang bersedia menampung beraneka warna. Begitulah Walno memberikan satu komentar singkatnya tentang perhelatan tahunan PBA di lingkungan API Pondok Pesantren Tegalrejo, Magelang.
Walno dan 35 orang rekannya sesama anggota kelompok lénggér “Taruna Budaya” baru saja rampung berpentas di PBA. “Taruna Budaya” merupakan salah satu dari 200 lebih pementas PBA tahun 2007.
Tempat mereka tadi berpentas adalah halaman sebuah rumah besar yang sedang tertudungi sepenuhnya dengan tratag, suatu bangunan bambu semi permanen beratap dedaunan kelapa kering. Seperangkat gamelan dimainkan para niyaga dari atas satu panggung rendah pada sisi bagian barat tratag tersebut.
Ratusan penonton dari berbagai rentang umur maupun jenis kelamin ramai berkerumun di seluruh penjuru, tumpah hingga ke tepi jalan, sekadar menyisakan selingkar luas tanah kosong di tengah halaman.
Sembari menunggu semua anggota rombongan naik ke atas truk yang akan mengantarkan mereka pulang ke daerah asal mereka, Desa Sendangsari, Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo, Walno bercerita kepada saya bahwa tahun ini merupakan kali yang ketiga secara berturut-turut kelompoknya tampil di acara PBA. Kendati hanya mendapatkan penggantian biaya transport sekitar Rp 500 ribu plus jatah konsumsi serta rokok bagi semua anggota rombongan, Walno dan rekan-rekannya menyatakan tak bakal kapok datang ke Tegalrejo dalam rangka P BA. Menurut Handoyo dan Tenang, dua anggota lainnya dari “Taruna Budaya”, mereka selalu merasa jauh lebih tenang serta aman tampil di PBA ketimbang tampil di tempat-tempat lain.
“Meski penonton selalu berjubel, tak ada orang mabuk atau orang réséh yang macem-macem membuat onar di sini,” papar Handoyo.
Bagi mereka, tampil di PBA merupakan sebuah kehormatan tersendiri. Apa lagi, mereka tahu pasti pemrakarsa utama acara ini adalah K.H.Muhammad Chudlori (Gus Muh). Mereka percaya memenuhi tanggapan dari seorang kyai akan juga mendatangkan banyak berkah bagi kehidupan mereka.
”Kyai itu kan doa-doanya lebih didengar Tuhan,” kata Walno sedikit mengimbuhkan.
Perhelatan yang Spesial
Pernyataan bahwa PBA adalah suatu perhelatan yang spesial, hingga urusan bayaran lantas tak terlalu dijadikan soal, ternyata tak hanya datang dari kelompok lénggér “Taruna Budaya”. Berbagai ungkapan senada juga terdengar dari wawancara-wawancara saya kepada sejumlah kelompok kesenian rakyat lain yang pernah tampil di perhelatan ini. Semua itu sekilas menunjukkan posisi tinggi PBA, Gus Muh sang pemrakarsa, juga Pondok Pesantren Tegalrejo, di mata para pegiat kesenian rakyat.
Beberapa kelompok kesenian rakyat mengaku sudah berulang kali tampil di PBA. Kelompok seni prejuritan dan jaranan putri “Warga Budaya” dari Kalidukuh, Jambu, Kabupaten Semarang, menurut salah seorang pegiatnya yang bernama Sugiyam, sudah tampil sebanyak enam kali berturut-turut sampai tahun 2007. Kelompok kuda lumping “Turonggo Seto” yang disesepuhi Mbah Nitikromo dari Salam, Samiran, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, mengaku sudah rutin tampil sejak tahun 1999. Sukirman, pemimpin grup barongsai “Gotong Royong” dari Banyu Urip, Tegalrejo, Kabupaten Magelang, malah menyebut kalau kelompoknya tak pernah jeda berpartipasi di PBA sejak event tersebut pertama kali digelar pada awal dekade 1970-an.
Namun, ada pula kelompok seni rakyat yang keterlibatannya masih sangat muda di ajang PBA. Dua contoh dari jenis yang terakhir ini adalah grup “Butho Birowo” dari Dusun Lencoh, Selo, Boyolali, serta kelompok ndolalak “Ngesti Budoyo” dari Giritengah, Borobudur, Kabupaten Magelang. Dua kelompok ini masing-masing baru tampil sebanyak dua serta satu kali di PBA.
Ihwal partispasi di acara khataman Pesantren Tegalrejo itu, kelompok yang sudah begitu sering tampil maupun kelompok yang baru satu dua kali ikut ngraméni, secara umum memberikan jawaban seragam. Semua dari mereka mengaku mendapatkan undangan tampil dari pihak panitia PBA sekitar 3 bulan sebelum hari H perhelatan. Undangan tersebut bisa diantar sendiri oleh pihak panitia PBA, tapi bisa juga dititipkan lewat tangan aparat desa di daerah asal kelompok-kelompok kesenian tersebut.
Setiap kelompok kesenian rakyat mempunyai cerita yang tak selalu sama soal bagaimana pihak panitia PBA menemukan keberadaan mereka. “Turonggo Seto”, misalnya, mereka ”ditemukan” panitia PBA ketika tengah pentas di sebuah acara tanggapan. Beberapa kelompok lain berhubungan dengan PBA lewat pihak ketiga, yakni aparat desa tempat mereka bermukim ataupun juga paguyuban yang menaungi kelompok kesenian mereka. “Butho Birowo” dan “Ngesti Budoyo” merupakan dua contoh dari jenis yang terakhir tadi.
Sejauh ini kesempatan untuk tampil di PBA tersebut kebanyakan direspon secara positif oleh kelompok-kelompok kesenian rakyat. Bukti sahihnya adalah lembar daftar pengisi acara milik panitia yang pada tahun ini terisi dengan nama dari 216 pementas. Dua ratus lebih pementas tersebut datang dari berbagai kabupaten di Jateng serta DIY: Magelang, Boyolali, Semarang, Temanggung, Wonosobo, Sleman, Kulon Progo, Bantul, juga Batang.
Besarnya minat para pelaku seni tradisi ini merupakan fenomena yang menarik. Sebab PBA sebenarnya bukanlah perhelatan yang menawarkan banyak uang bagi kelompok-kelompok kesenian rakyat. Di PBA, setiap kelompok kesenian yang tampil hanya memperoleh pengganti uang transport serta jatah konsumsi. Besarnya uang transport dari panitia itu pun hanya sepertiga atau bahkan seperempat dari duit bayaran yang biasanya diterima para kelompok kesenian rakyat. Dengan kompensasi yang kecil semacam itu, lalu mengapa kelompok-kelompok kesenian rakyat masih saja bersedia untuk berpartisipasi di PBA?
Secara umum, kelompok-kelompok kesenian seakan bersepakat bahwa PBA merupakan sebuah perhelatan berkelas tersendiri dan punya posisi lebih jika dibandingkan dengan acara pentas lain yang biasanya mereka dapat, baik itu tanggapan dari hajatan semacam mantu atau khitanan, juga undangan tampil di acara-acara yang diselenggarakan oleh pemerintah ataupun pengelola obyek wisata. Alasannya beragam. Ada yang memandang PBA memberikan kesempatan untuk berkesenian dan sekaligus meningkatkan ibadah. Ada yang menjadikan PBA sebagai ruang interaksi dengan kelompok-kelompok kesenian lain. Ada pula yang memanfaatkan PBA sebagai ajang untuk lebih mengenalkan kelompok kesenian mereka kepada khalayak ramai
Beberapa waktu setelah perhelatan PBA 2007, saya berkesempatan menyambangi kelompok “Turonggo Seto” langsung ke markas mereka di Dusun Salam, kaki Gunung Merapi. Saat itu, kelompok tersebut sedang berbenah mempersiapkan perlengkapan pentas mereka. Keesokan harinya, para anggota kelompok, yang sehari-harinya banyak bermata pencaharian sebagai petani sayur dan peternak sapi itu, akan berangkat menuju Jakarta, tampil beberapa hari di komplek TMII.
Menurut Mbah Nitikromo, kuda lumping di Dusun Salam sudah ada sejak masa kanak-kanaknya. Mbah Nitikromo sendiri sekarang telah berumur lebih dari 70 tahun. Kakek ini bertutur bahwa dulu di tahun 1950-an orang-orang sekampungnya sudah kerap berkuda lumping hingga ke seluruh pelosok Boyolali dengan berjalan kaki menempuh jalan berbatu sejauh belasan tau puluhan kilometer.
Menurut para pegiat kelompok ini, PBA merupakan ajang berkesenian yang sekaligus memberi kesempatan untuk meningkatkan keimanan pada Tuhan. Syahdan, sebagai hasil dari interaksi selama delapan tahun dengan Pesantren Tegalrejo, kelompok tersebut mengaku tak lagi memerhitungkan perihal uang transport dari pihak panitia PBA. Tanpa itu pun mereka bakal berangkat dengan biaya sendiri. Hal ini dikarenakan para anggota kelompok “Turonggo Seto” tak sekedar datang ke Tegalrejo untuk tampil berpentas, tapi juga sudah turut bergabung pada acara pengajian yang berlangsung di sana.
“Di sana itu kan istilahnya mengembangkan agama lewat pentas kesenian. Mencoba mendekatkan kelompok kesenian karena mereka itu kan pondok yang besar. Pokoknya mengikuti caranya Sunan Kalijaga,” demikian ujar Lono, seorang pemuda pegiat kelompok “Turonggo Seto”.
Inilah yang menurut Lono membuat kelompoknya selalu bersemangat untuk selalu tampil di perhelatan PBA, termasuk untuk selalu menjalin silaturahmi dengan kalangan Pondok Pesantren Tegalrejo. Saat ini, kata pemuda dua puluhan tahun tersebut, antara kelompoknya dan orang-orang Tegalrejo terjalin suatu relasi yang cukup baik. Terbukti seorang kiai dari Tegalrejo selalu hadir ketika para anggota kelompok “Turonggo Seto” menggelar pengajian tahunan di setiap bulan Maulud.
Lain lagi bagi grup kesenian rakyat “Ngesti Budoyo”,di Giritengah di kaki Perbukitan Menoreh. Bagi mereka tampil di Tegalrejo merupakan ajang agar mereka bisa dikenal khalayak luas. Meski cuma dibayar 400 ribu, jauh dari angka 2,5 juta yang biasa mereka terima setiap manggung, grup Ngesti Budoyo tetap total bermain di pentas PBA.
“Ini memang tidak diandalkan untuk mencari jenang (penghasilan), tapi lebih untuk mencari jeneng (ketenaran) saja dulu,” ujar Istijab, pria paruh baya pimpinan grup Ngesti Budoyo.
Grup kesenian rakyat pimpinan Istijab ini secara resmi memang baru berdiri serta memiliki nama sejak empat tahun lalu, namun akar dari kesenian ndolalak serta jathilan yang kini ia gumuli bersama kelompoknya ini sesungguhnya sudah hidup sejak lama di daerah Giritengah. Setiap tanggal 10 Suro biasanya warga Giritengah menggelar pementasan kesenian-kesenian rakyat yang ada di kampung mereka. Semuanya itu bersamaan dengan upacara haturan sesajen ke tiga sumber mata air yang ada di kampung tersebut. Acara haturan sesajen dalam rangka penghormatan terhadap leluhur ini masih terus rutin diselenggarakan sampai sekarang.
Sebagian besar grup kesenian rakyat di daerah Magelang memang sangat antusias menghadiri perayaan PBA di Pesantren Tegalrejo. Namun demikian, tak semua kelompok kesenian yang diundang lantas hadir.Beberapa kelompok kesenian yang ditemui Desantara mengaku tak mengistimewakan Tegalrejo. Mereka memilih kegiatan lain. Grup “Wono Budoyo” dari Desa Wonolelo, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, serta “Mahesa Lodra” dari daerah Tuksongo, Borobudur, Kabupaten Magelang, adalah kelompok yang menolak undangan panitia PBA.
“Barengan dengan ada pentas acara kampung di sini,” tandas Ali Maksum alias Yito, laki-laki 47 tahun, ketua grup dhayakan “Mahesa Lodra.”
Alasan yang relatif sama diutarakan pula oleh Sutarjo Mijan, ketua kelompok “Wono Budoyo”. Namun, selain repot karena harus berpentas dalam rangka merti dusun dan nyadran di kampung sendiri, Sutarjo Mijan ternyata masih memiliki pula beberapa alasan tambahan. “Dulu itu yang diminta tampil di sana cuma jaranan saja. Saya tidak mau itu.”
Kelompok pimpinan Sutarjo Mijan ini sejak berdiri 10 tahun lalu memang biasa menampilkan 5 jenis tarian dalam setiap pementasannya. Selain jaranan, mereka memiliki pula suguhan tarian semacam butho topeng, butho ambal, wanoro, denowo dan peksi. Sutarjo Mijan tak mau pentas kelompoknya dibuat jadi terpenggal-penggal.
Kendati begitu, baik Yito maupun Sutarjo Mijan menganggap semua penolakan mereka tak lebih dari halangan secara teknis. “Kelak kalau sewaktu-waktu Tegalrejo membutuhkan, dengan mengakali waktu, ya kami siap,” ujar Sutarjo Mijan.
Kategorisasi yang Sebenarnya Tak Mati
PONDOK Pesantren Tegalrejo, Magelang (foto dari ismorginations.blogspot.com) |
Namun, menjadi tak lazim kemudian jika acara tahunan ini ternyata justru disandingkan dan dibarengkan dengan pentas berhari-hari aneka kesenian rakyat: jathilan, kuda lumping, kethoprak wayang kulit, dan lain sebagainya. Padahal kesenian-kesenian rakyat selalu identik dengan citra gelap dunia non islami. Sesuatu yang secara kasatmata biasanya dapat ditunjukkan dengan kedekatan mereka terhadap hal-hal beraroma syirik semacam kemenyan, sesajen dan kembang setaman, mantra-mantra serta azimat, juga keberadan adegan ndadi (kesurupan) di dalam penampilan mereka.
Selama ini, sebagai pengaruh model pemilahan masyarakat Jawa yang dikemukakan Clifford Geertz lewat The Religion of Java, pesantren dan kelompok kesenian selalu cenderung dianggap mewakili dua dunia yang berbeda. Pesantren sebagai sebuah lingkaran yang memusar kepada sosok kyai merupakan representasi dari kaum yang disebut sebagai santri, sedangkan kelompok-kelompok kesenian rakyat semacam lénggér, jathilan, dhayakan dan lain-lain merupakan etalase dari kaum yang dinamakan abangan.
Sedari kemunculannya di abad XV Masehi, pesantren merupakan candradimuka serta sekaligus pos garis depan bagi penyebaran Islam di tengah masyarakat Jawa. Di sisi lain, sebagian besar kelompok kesenian rakyat bisa dimaknai sebagai benteng-benteng dari pengaruh pra Islam yang berakar di kalangan masyarakat Jawa, terutama di pedesaan. Pesantren dianggap berkepentingan untuk menarik mereka yang masih dekat dengan pengaruh pra Islam tersebut ke dalam naungan Islam. Kelompok kesenian tradisional dianggap berkepentingan memertahankan kepercayaan-kepercayaan lama mereka. Jadi, tak mengherankan jika pesantren dan kelompok kesenian rakyat cenderung dilihat sebagai dua pihak yang berseberangan dan terlibat persaingan.
Sebuah kota kecamatan kecil semacam Tegalrejo ternyata bisa menjadi tempat bertemunya dua pihak yang lazim dianggap seperti air dan minyak ini. Setiap tahun dengan khataman, PBA, juga pentas-pentas musik modernnya, selama sepekan lebih antara tanggal 5 hingga tanggal 13 Bulan Ruwah, Tegalrejo memamerkan suatu wajah cantik yang begitu manglingi dari kesehariannya.
Dari sekadar sebuah titik perhentian di jalur tembus Magelang-Salatiga, yang kebetulan menjadi tempat berdiri satu pesantren terkenal, berubah drastis menjadi pusat keramaian yang nyaris setanding dengan Sekaten di Alun-alun Utara Kraton Solo dan Jogja. Rumah-rumah sepanjang jalan dicat cerah dan dijadikan penginapan wali santri dari berbagai daerah. Jalan raya sepanjang seratus meteran ditudungi dengan tenda terpal bercagak besi. Berbagai kesenian dipentaskan selama berhari-hari. Sejumlah santri muncul di jalan dengan memakai celana jins yang sebenarnya terlarang untuk mereka kenakan. Terminal angkudes dan lapangan kecamatan beralih fungsi menjadi pasar malam. Karnaval besar digelar mengelilingi di jalanan.
Saat ketika orang-orang menyemut dan berseliweran untuk mencari tontonan maupun mendengungkan keagungan Tuhan lewat pengajian. Inilah yang terus terang membuat apa yang setahun sekali terjadi di Tegalrejo selalu menarik untuk dibicarakan.
Pertanyaan ‘kok bisa?’ memang wajar meluncur dari mulut tentang mengapa semua hal itu dapat berlangsung di.Tegalrejo setiap tahunnya. Motif misionaris agama mungkin menjadi jawaban yang terbit di kepala beberapa orang. Namun bagi Gus Yusuf, kalangan pesantren tak pernah berharap para pegiat kesenian lantas berguguran karena bersentuhan dengan hajat tahunan di Tegalrejo. “Menurut kita, asal berkesenian itu tidak sampai tahap menghilangkan Allah, kita masih bisa toleran”.
KH Yusuf Chudlori (foto dari 123people.com) |
Gus Muh dan Gus Yusuf bisa memilih memeriahkan khataman Pondok Pesantren dengan aneka kesenian, sementara para pegiat kesenian tradisional tetap tampil apa adanya tanpa pernah merasa perlu menjadi sosok lain. Bisa jadi apa yang berlangsung di Tegalrejo sebenarnya tak perlu untuk terlalu diherankan. Semua itu tampaknya merupakan cerminan dari kecenderungan toleran asimilatif khas Jawa, sesuatu yang kata Pramoedya Ananta Toer dalam novel Rumah Kaca konon dimiliki penduduk pulau ini sejak lama, jauh sebelum pengaruh-pengaruh dari negeri seberang datang dan dikenal di sini.
Semangat itu selama berabad menemani orang Jawa berjumpa secara berturut-turut dengan Hindu, Budha, Islam, Kristen, juga isme-isme modern. Sekilas, ia terlihat membiarkan orang Jawa tertaklukkan. Namun, kalau ditelisik lebih seksama, ia bisa jadi justru telah menapis pula menjinakkan semua yang datang dari seberang, membuat mereka jadi tak lagi sama seperti ihwalnya.
Ini semua juga bisa menjadi pembuktian dari apa yang dikemukan oleh Amartya Sendalam bukunya, Identity and Violence: Illusion of Identity, yakni bahwa identitas sebenarnya bukanlah sesuatu yang final maupun tunggal. Setiap orang pada dasarnya menyandang lebih satu kategori identitas yang kenyataannya bisa saja hadir secara serentak Karena itu, setiap orang pun sejatinya terlibat setiap waktu dalam proses memutuskan identitas mana yang ia kedepankan di dalam berbagai waktu, yang sekali lagi akan bergantung pada konteksnya
Barangkali itulah penjelasan tentang perjumpaan tahunan antara mereka yang santri dan mereka yang abangan di Tegalrejo. Gus Muh dan Gus Yusuf, juga kalangan di sekeliling mereka yang membantu penyelenggaraan PBA, sah saja untuk disebut sebagai kaum santri, representasi dari Islam. Pegiat-pegiat kesenian dari berbagai penjuru Jateng-DIY sah pula untuk disebut sebagai kaum abangan, yang sinkretis, yang tidak atau kurang Islam.
Namun, kedua pihak tersebut, dengan apa yang mereka pilih untuk lakukan, membuktikan bahwa identitas santri maupun abangan merupakan kategorisasi yang sebenarnya tak mati. Siapa pun yang memilikinya memiliki kemungkinan untuk membuatnya saling berpilin, saling menyerap ataupun saling bertukar. Baik santri maupun abangan ternyata tak benar-benar berseberangan. Ada identitas-identitas lain yang ternyata bisa memertautkan keduanya, membuat mereka untuk suatu ketika bisa berbicara dalam bahasa yang sama. Semua ini mungkin bukan sesuatu yang disadari ataupun dipahami, tapi justru telah menjadi laku dalam hidup sehari-hari.
Setiap tahun, Pesantren Tegalrejo menjadi ruang pertukaran dan persilangan itu: menjadi lautan tempat segala hal tumpah ruah. Dan pada sepenggal pekan bulan Ruwah di Tegalrejo, telinga mereka yang peka akan pula seolah mendengar sebait petuah lama Jawa menyelip di antara tetabuhan gamelan dan lantunan lantunan ayat suci quran: ”Ojo duméh, Ojo gumunan, Ojo rumongso biso, nanging bisoo rumongso…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar