Sabtu, 08 Juni 2013

Bermula dari Kemben dan Kerudung

(Sambungan dari tulisan Antara Jilbab Lebar dan Jilbab Rapat. Sekaligus juga bagian III dari tiga tulisan yang semula berjudul Gerak Merayap Penutupan Aurat: Catatan Dari Foto-Foto Masa Lalu, dan pernah dimuat di Jurnal Perempuan dan Multikulturalisme, Srinthil, edisi 17, diterbitkan oleh Desantara Foundation Jakarta pada Mei 2009)


Oleh Yoseph Kelik


FATMAWATI Soekarno sedang mengenakan kerudung (foto diunduh dari merdeka.com)

PALING tidak di Jawa hingga akhir 1970-an, kerudung menempati posisi yang kira-kira dimiliki oleh jilbab saat ini, yakni sebagai busana yang dianggap paling ideal untuk dikenakan oleh para perempuan Muslim.
Untuk kurun waktu yang panjang, pemakaian kerudung atau kain penutup kepala tampaknya sempat dianggap penduduk Jawa sebagai semacam perwujudan tertinggi dari konsep menutup aurat bagi perempuan, seperti yang diajarkan oleh agama Islam. Inilah mengapa perempuan berlatar belakang pesantren serta perempuan yang menjadi bagian organisasi-organisasi Islam dahulu acap menggunakan kerudung sebagai simbol kelekatan mereka terhadap identitas Islam. Sampai kini pun, perempuan-perempuan Muslim sepuh berlatarbelakang semacam itu, khususnya yang berusia 60-an lebih, generasi yang mengalami masa muda sebelum tahun 1970-an, tetap banyak yang menjadi pemakai kerudung dan tidak beralih ke jilbab.

Kerudung mudah dipadupadankan dengan berbagai jenis pakaian. Karena itu, kerudung lazim dikenakan bersama pakaian-pakaian tradisional Nusantara. Di Jawa, ia galib dipadukan dengan bawahan kain serta atasan kebaya. Di luar Jawa, ia sering ditemukan bersanding bersama atasan semisal baju kurung dan bawahan berupa balutan kain atau sarung. Hanya saja, kerudung terkesan inferior jika dibandingkan dengan pakaian yang menyertainya. Karena cuma berupa kain yang disampirkan sekedarnya di kepala, kerudung bukanlah pihak yang dapat menuntut banyak penyesuaian dari pakaian-pakaian yang menyertainya.

Pemakaian kerudung sebagai bagian dari pakaian perempuan Muslim Indonesia terlihat di dalam foto dari tahun 1960, yakni foto keluarga KH Abdul Karim, pengasuh Pesantren Lirboyo Kediri kala itu. Perempuan-perempuan dalam foto itu, yang notabene berlatarbelakang lingkungan pesantren, terlihat mengenakan kerudung, berkain serta berkebaya. Rambut para perempuan berkerudung dalam foto itu agaknya dirapikan dengan sanggul. Menariknya, kebaya para perempuan pesantren itu tampaknya serupa dengan kebaya para perempuan Jawa umumnya. Kebaya itu bukan kebaya longgar berukuran panjang seperti yang dikenakan para santriwati Pesantren Pabelan pada tahun 1980-an. Kebaya itu juga jenis yang memerlihatkan leher serta sedikit dari bagian dada. Maka, jika kerudung ditanggalkan, perempuan-perempuan akan terlihat sama saja seperti perempuan-perempuan dari luar lingkungan pesantren.

Terlepas dari berbagai kekurangannya, kerudung tetaplah pembuka jalan bagi keberadaan jilbab di Indonesia. Kerudung berkembang sebentuk pakaian perempuan Muslim sejak sekitar awal abad XX.  Seperti halnya jilbab yang muncul di akhir 1970-an dan awal 1980-an, kerudung pada dasarnya adalah simbol penguatan identitas Islam yang muncul pada awal abad XX. Kerudung  dipromosikan di kalangan perempuan Muslim oleh organisasi yang mencita-citakan purifikasi Islam semacam Muhammadiyah. Oleh mereka itu, kerudung dipakai sebagai salah satu alat untuk memerkenalkan ajaran Islam yang murni, bebas dari pengaruh unsur-unsur lokal yang bersifat sinkretis.

Kerudung juga merupakan simbol resistensi kelompok Islam terhadap gerakan kristenisasi yang menguat kala itu, khususnya di Jawa. Golongan evangelis Protestan maupun misionaris Katolik saat itu memang sedang gencar mendirikan berbagai sekolah, sejumlah rumah sakit, juga gereja-gereja. Hal-hal tersebut membuat banyak elite Islam berpandangan bahwa kaum mereka sedang diinfiltrasi serta hendak dimurtadkan oleh orang-orang Nasrani.

Wujud pemakaian kerudung di awal abad XX terekam dalam sebuah foto tentang kegiatan pengajian di Yogyakarta pada tahun 1920-an. Kegiatan pengajian itu berlangsung di halaman sebuah sekolah Muhammadiyah. Di hadapan kumpulan anggota pengajian yang duduk bersila, juga sekitar 10 meter di samping kanan pemimpin pengajian, beberapa perempuan Jawa terlihat berdiri seperti celingukan. Para perempuan itu mengenakan pakaian yang sejenis dengan pakaian yang dipakai oleh para perempuan dari Pesantren Lirboyo pada tahun 1965: berkerudung, berkebaya dan berkain.

Penyerapan kerudung sendiri di kalangan perempuan Muslim agaknya tak sampai menghasilkan kelompok pengguna harian yang sebegitu besarnya seperti halnya penggunaan jilbab sekarang. Kesimpulan semacam antara lain muncul karena keberadaan perempuan-perempuan berjilbab memang begitu sukar ditemukan dalam foto-foto lama kota-kota seperti Yogyakarta, Surabaya, Solo serta Magelang, dari kurun akhir abad XIX hingga 1960-an. Pemakaian kerudung sepertinya lebih banyak bersifat temporer, terbatas pada acara-acara khusus keagamaan Islam semacam peringataan hari raya Maulid, perayaan Lebaran atau pengajian. Melihat bahwa kerudung memang cenderung tersampirkan ala kadarnya di kepala, mudah sekali dipasang maupun dicopot, juga mudah saja untuk jatuh semisal tertiup angin, perempuan pemakainya pun rasa-rasanya akan cenderung memiliki penafsiran yang longgar pula terhadap keberadaan benda itu di kepala mereka. Mereka ini besar kemungkinan tak akan keberatan untuk terkadang tampil di hadapan umum tanpa mengenakan kerudung.

Penjinakan Ketelanjangan Dada
Jika serangkaian penelusuran yang berkaitan dengan jilbab serta kerudung ini ditarik mundur lebih jauh, segalanya akan tergiring ke satu perhentian, yakni penghujung abad XV. Titik tersebut adalah semacam tapal batas bagi dua zaman yang berbeda. Di satu sisi terentang sebuah zaman yang berisikan pemakluman berabad terhadap ketelanjangan dada perempuan. Di sisi seberangnya tumbuh tegak sebuah zaman dengan semangat yang berkebalikan. Zaman itu adalah zaman yang berjuang untuk menjinakkan ketelanjangan dada perempuan.

Kira-kira dari pertengahan alaf II hingga menjelang akhir abad XV, dada telanjang perempuan pernah menjadi bagian lazim keseharian di Jawa dan sejumlah tempat lain di Nusantara. Hal ini karena seperti hal kaum laki-lakinya, perempuan pribumi kala itu biasa mengenakan kain pada tubuh bagian bawah saja. Untuk tubuh bagian atas, mereka membiarkannya hampir sepenuhnya telanjang. Hanya selembar kain terkadang masih disampirkan atau dililitkan di dada secara minimalis. Kebiasaan semacam ini antara lain direkam oleh relief-relief pada dinding candi-candi semacam Borobudur dan Prambanan. Novel Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer, yakni bagian awal bab III atau halaman 38-41, sedikit menukilkan tentang bagaimana sisa-sisa kebiasaan tersebut masih dipraktekkan kalangan penduduk pedesaan Tuban pada awal abad XVI. Kebiasaan bertelanjang dada, baik pada laki-laki maupun perempuan ini tampaknya berkaitan pula dengan keberadaan kain yang kala itu merupakan barang impor dari India dan Cina.

PEREMPUAN Jawa tempo dulu berkemben
(foto diunduh dari  artwoart.blogspot.com)
Ketika Islam akhirnya bangkit menjadi kekuatan dominan di Jawa, kebiasaan bertelanjang dada, khususnya pada perempuan, menjadi sesuatu yang tak lagi direstui oleh pihak penguasa. Sejak itu, dada perempuan dan payudaranya beralih dimasukkan ke dalam golongan aurat yang harus ditutupi. Maka, para perempuan pun menjadi berkemben. Kebiasaan baru di awal zaman dominasi Islam ini terekam oleh lukisan orang Belanda dari sekitar tahun 1596 tentang situasi pasar di Banten yang notabene merupakan sebuah kerajaan Islam. Dalam lukisan itu terlihat adanya pedagang-pedagang perempuan yang mengenakan balutan kain serta kemben dada sebagai pakaiannya. Pada tahun-tahun setelahnya, perempuan Jawa kemudian mengenal pula atasan pelapis kemben semacam baju kebaya yang kemudian mereka jadikan pakaian sehari-hari.

Jika dilihat secara menyeluruh, jilbab, kerudung, kebaya, juga kemben ternyata menunjukkan adanya suatu urutan dari proses menutup aurat di kalangan perempuan Jawa. Kehadiran keempat jenis pakaian tadi secara evolutif dalam kurun sekitar setengah alaf  terakhir ini memerlihatkan usaha panjang Islam sebagai kultur dominan untuk menjinakkan ketelanjangan dada perempuan yang pernah begitu mengakar. Dengan demikian, jilbab sejauh ini boleh dipandang sebagai ujung atau puncak dari proses penjinakan yang telah berlangsung lima abad lebih itu.
<<<+>>>


CATATAN: tulisan dalam versi blog ini mengalami sejumlah pengeditan minor dari versi yang termuat di jurnal Srinthil edisi 17

3 komentar:

  1. Buah dada sebagai aurat di Nusantara, setahu saya bukan dipopulerkan atau "dipaksatutupkan" oleh ajaran Islam, tapi oleh orang-orang Belanda beragama Kristen di Bali yang memaklumatkan rasa malu atas keterbukaan buah dada, dan mungkin juga atas nama etika serta perbuatan dosa dalam ajaran Kristen...Salam.

    BalasHapus
  2. apa yg dilakukan belanda di bali kalo dirunut ya sambungan saja yg terjadi di jawa 4-5 abad sebelumnya kan, bang... cuma beda aktor saja.jawa sampai abad XV kan kurang lebih sama seperti bali sampai awal abad XX: sebenarnya dah mengenal kemben, tapi tidak permanen sebagaimana lalu didorong penguasa islam maupun belanda

    BalasHapus