Rabu, 31 Juli 2013

Pinjaman Mobil Sekaligus Pemiliknya

(Bagian Pembuka dari tulisan-tulisan cerita perjalanan ke Sumatera Barat dan Sumatera Utara)

Oleh Yoseph Kelik


DARI kiri ke kanan: saya (Yoseph Kelik), Hanif, Wahid, dan Wahyu

TULISAN ini sebenarnya sangat telat saya kerjakan. Seharusnya saya sudah menuliskannya sekitar tujuh bulan silam. Soalnya, ini adalah satu cerita tentang perjalanan semacam tamasya dari Jambi ke Sumatera Barat, yang telah berlangsung pada penghujung 30 November -2 Desember 2012. Namun, dengan berpedoman kepada ungkapan populer “lebih baik telat dari pada tidak sama sekali”, akhirnya saya bikin juga catatan cerita perjalanan tersebut.

Perjalanan ke Sumatera Barat tersebut muncul dari ide rekan sekantor saya kala itu, Hanif. Suatu hari, di antara tanggal-tanggal yang dipunyai bulan Oktober 2012, dia berbagi info tentang adanya event Pacu Jawi,
yakni adu ketangkasan memacu  lembu khas Minang, di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Kata pria yang merupakan satu dari tiga fotografer di bekas kantor saya di Jambi itu, hari H pelaksanaan Pacu Jawi adalah 1 Desember 2012. Event pada tanggal perdana bulan kedua belas itu adalah penutup bagi serangkaian event Pacu Jawi yang berlangsung sejak sekitar Oktober 2012.

Hanif melontarkan usul kepada saya dan sejumlah kawan sekantor lainnya untuk menyambangi event tadi. Saya dan dua kawan lain yakni Wahyu dan Wahid menyambut baik ajakan itu. Ajakan tersebut tak cuma menarik karena bermenu utama event Pacu Jawi. Kami empat berempat sekawan melihatnya juga sebagai kesempatan jalan-jalan bareng yang pas, sebelum saya dan Wahyu akhirnya resign dari kantor di Jambi serta lalu balik ke Jawa pada medio Desember 2012.

Rencana kepergian ke Tanah Datar akhirnya sudah ditetapkan. Saya, Hanif, juga Wahid, masing-masing lalu membuat pengajuan izin cuti. Untuk Wahyu, dia setahu saya tak mengajukan cuti. Dia cuma berencana “menabung” beberapa tulisan berita pada jelang hari keberangkan, untuk dikemudian dikirim via surel ke kantor dalam beberapa bagian sepanjang hari-hari pelesir.  Kalau pun butuh tambahan, dia merencanakan liputan via telepon saja selama total tiga hari yang dipakai bolak balik Jambi-Sumatera Barat itu.

Mobil atau Bus
Hanya saja, kami selama sebulan sebelum berangkat ke Sumatera Barat itu sempat ribet perihal pilihan sarana transportasi yang bakal digunakan. Wahyu dengan semangat sih mengusulkan mencari pinjaman atau menyewa mobil.  Alasannya, membawa mobil dari Jambi tentu bakal memudahkan menjangkau tempat-tempat lain selepas menonton Pacu Jawi di Tanah Datar. Kami memang juga sepakat mengagendakan kunjungan ke Bukittinggi selama pelesir itu,  berencana pula menginap di kota berikon Jam Gadang tersebut.

Karena itulah, Wahyu sampai berinisiatif mencari info tentang tarif sewa mobil di beberapa rental di Jambi. Ia pun mencoba kemungkinan untuk meminjam satu dari dua mobil kakaknya. Mobil yang terutama ingin ia pinjam adalah Daihatsu Xenia. Sayangnya, kakak Wahyu ternyata hendak menggunakannya pula keluar kota pada hari-hari ketika kami berencana hendak ke Sumatera Barat.

Sebenarnya kakak Wahyu masih punya satu mobil lagi, sebuah sedan Mitsubishi Lancer lawas edisi tahun 1990-an awal. Mobil itu sering dipakai Wahyu kemana-mana. Mobil itu pula lah yang sebelumnya sempat kami pakai jalan-jalan ke Kuala Tungkal serta Palembang.  Namun, untuk membawa si Lancer tuwir ke Tanah Datar dan Bukittinggi, Wahyu ternyata pikir-pikir. Dua kali pengalaman membawa si Lancer keluar kota seharian penuh menunjukkan kalau sedan tua itu punya sejumlah masalah kronis ketika dikendarai malam hari: lampunya kurang terang dan jangkuannya kurang jauh. Wipernya pun tak lagi sungguh-sungguh gesit ketika dinyalakan. Akibatnya, hujan agak deras sedikit saja, maka kaca depan bisa jadi buram.

Berbeda dengan usulan Wahyu, saya lebih mengusulkan pilihan menumpang bus saja. Itu supaya seluruh anggota rombongan bisa memanfaatkan 10-12 jam perjalanan antara Kota Jambi ke Tanah Datar dan Bukittinggi  untuk beristirahat saja.  Tak perlu ada yang terkuras energinya untuk menyetir. Barulah di Tanah Datar atau Bukittinggi kami bisa mencari sewa mobil untuk putar-putar. Lagi pula, bus-bus berpenyejuk udara dari Jambi ke kota-kota Sumatera Barat seperti Padang dan Bukittinggi, terlebih yang berkelas eksekutif, agaknya keren penampilannya, menjanjikan kenyamanan ketika ditumpangi.

Usul saya  tersebut sempat diperkuat oleh kesanggupan Berman, seorang kawan sekantor lain, untuk mencarikan mobil sewaan selama kami beredar di Sumatera Barat. Berman sendiri ketika itu mengutarakan keinginan turut bergabung menjadi anggota kelima rombongan pelesir itu. Kebetulan kawan tersebut terbilang mengenal baik Sumatera Barat. Ia dulu kuliah dan sempat pula bekerja di Padang. Sayangnya, Berman kemudian mengurungkan rencana keikutsertaannya berpelesir bersama saya, Hanif, Wahyu, serta Wahid.  Berman terganjal adanya proses rolling daerah peliputan yang dilakukan pihak kantor kala itu.

Mertua Teladan  
Lalu, suatu hari datang kabar gembira dari Hanif. Katanya, mobil Kijang Innova kepunyaan mertuanya dapat kami gunakan ke Sumatera Barat. Namun, ada satu hal yang sempat bikin saya, Wahyu, serta Wahid lumayan kaget. Pak Jarwadi, mertua Hanif, ternyata tak sekadar ingin meminjamkan mobilnya kepada kami.Lebih dari itu, ia ternyata ingin turut pula berpelesir ke Sumatera Barat untuk melihat Pacu Jawi.

Minat Pak Jarwadi untuk menjadi anggota kelima dalam rombongan pelesir awalnya sempat bikin kami antara berkerut dahi  hingga senyum-senyum kecil. Itu sungguh bukan satu hal yang terduga. Pelesir ke Sumatera Barat itu semula direncanakan sebagai acara hore- hore empat rekan sekantor, yang notabene relatif sebaya secara usia: twenty something and early thirty. Akan tetapi, seorang yang berusia dua kali dari usia rata-rata kami mendadak bakal bergabung dalam rombongan kami. Itu terus terang satu hal yang semula tak terbayang.

Namun, bayangan bakal beroleh solusi mudah lagi menarik perihal alat transportasi antara Jambi, Tanah Datar, serta Bukittinggi, membuat kami semua akhirnya mengiyakan saja niat Pak Jarwadi turut serta. Lebih lagi, Hanif pun kemudian meyakinkan kami bahwa mertuanya itu biarpun terkesan sangat pendiam, bicara begitu seperlunya, sebenarnya adalah kawan perjalanan yang menyenangkan.

Bahkan imbuh Hanif, mertuanya yang berada di usia pertengahan lima puluhan itu masih doyan menyetir mobil untuk perjalanan jauh.  Soalnya sedari muda memang suka bepergian dengan bermobil. Itu artinya dalam rombongan kami nanti  ada tiga orang yang tak asing dalam soal menyetir jarak jauh: Hanif, Wahyu, serta Pak Jarwadi. Tiga orang itu bisa saling bergantian mengendarai mobil nantinya. Tak ada yang perlu terlalu lelah karena mesti terlalu lama mengendalikan setir.

Hanya saja, tentang keikutsertaan Pak Jarwadi pada akhirnya, saya menyempatkan diri berkomentar di depan Hanif dan Wahyu. “Bapak mertuamu itu mertua teladan, Nif. Bapak yang baik juga untuk istrimu. Dia akan memastikan menantunya nggak bakal aneh-aneh selama di Tanah Datar dan Bukittinggi,” kata saya kala itu seraya tersenyum. Hanif seingat saya cuma menanggapinya dengan cengiran. (BERSAMBUNG ke tulisan Jambi ke Sumatera Barat pada Peralihan November ke Desember)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar