Oleh Yoseph Kelik
JILBAB (foto diunduh dari www.tempo.co) |
SETIDAKNYA dari foto setengah badan mereka, jenis jilbab para wisudawati UGM pada kurun 1991 hingga 2006 dapat dipilah menjadi dua tipe besar.
Tipe pertama adalah jilbab lebar. Jilbab ini tak sekedar membungkus kepala. Ia juga menyamarkan bentuk leher serta pundak dari pemakainya. Tipe kedua adalah jilbab rapat. Jilbab ini memang membungkus kepala, tapi leher maupun pundak dari pemakainya masih dapat dikenali bentuknya atau bahkan terlihat.
Tampilan jilbab dari tipe lebar umumnya lebih sederhana ketimbang jilbab dari tipe rapat. Keduanya memang sama-sama banyak memiliki variasi warna, baik yang polos maupun yang bermotif. Hanya saja, jilbab dari tipe rapat memang cenderung lebih terpengaruhi oleh kaidah-kaidah fesyen dibanding jilbab dari tipe lebar. Di dalam jilbab-jilbab tipe rapat seringkali ditemukan adanya penambahan ornamen-ornamen pemercantik tampilan, yakni mulai dari bordir, lipit-lipit kain bertumpuk, model belitan leher, hingga semacam korsase.
Dalam perihal pakaian selebihnya yang dikenakan, dua tipe jilbab di atas juga berbeda langgam. Pakaian selebihnya dari jilbab lebar antara lain berupa terusan panjang, rok A line panjang, blus lengan panjang, tunik, hingga jubah besar. Pakaian-pakaian tadi biasanya cenderung longgar karena memang dimaksudkan untuk menyembunyikan bentuk raga dari pemakainya. Bentuk ekstrim darinya muncul dalam wujud jubah besar warna gelap dengan cadar sebagai penutup wajah. Di sisi yang lain, pakaian selebihnya dari jilbab rapat boleh dibilang tak banyak memiliki perbedaan dengan busana-busana yang dikenakan para perempuan tak berjilbab. Jilbab dari jenis rapat acap didapati dipadupadankan dengan pakaian-pakaian “sekuler” semacam blus lengan panjang, sweter, kaus berlapis kardigan, oblong dengan deker lengan, pantalon, hingga celana jins —bahkan termasuk jika pakaian-pakaian tadi cenderung ketat mengepas bentuk tubuh pemakainya. Saking adaptifnya terhadap beraneka pakaian “sekuler”, pola berjilbab semacam itu seringkali dijuluki secara sinis oleh sejumlah pihak sebagai “jilbab gaul”. Lekuk tubuh agaknya bukanlah sesuatu yang benar-benar ingin ditutupi oleh pola berjilbab satu ini.
Ekspresi Eksistensialis Serius
Potret-potret setengah badan dalam balutan jilbab oleh sejumlah wisudawati UGM, sebagaimana tersaji dalam buku-buku wisuda UGM dari kurun 1991 hingga 2006, sebenarnya adalah juga sebentuk eskpresi eksistensialis yang serius. Apa yang ditampilkan pada lembaran foto- foto setengah badan itu memang merupakan citra diri yang dikehendaki subjek untuk diserap oleh orang lain. Pakaian yang dikenakan untuk berfoto semacam itu biasanya merupakan hasil pilihan yang diambil secara sadar atau bahkan cermat. Pose orang-orang dalam foto-foto tersebut juga bersifat formal, diambil dari depan, dengan mimik wajah yang datar dan hanya menoleransi senyuman dalam kadar minimal. Foto-foto setengah badan itu umumnya adalah foto-foto yang dibuat melalui jasa foto profesional, entah dengan mendatangi studio foto atau mendatangkan tukang foto ke rumah. Meski harus mengeluarkan sejumlah uang, orang-orang toh tetap merasa perlu memeroleh foto-foto setengah badan semacam itu.
Perlu diingat pula, foto pada buku wisuda umumnya juga merupakan foto yang terpampang pada ijazah. Padahal, hingga sekitar pertengahan 1990-an, wisudawati UGM yang memilih tampil berjilbab untuk ijazah kelulusan mereka mestilah lebih dahulu menempuh serangkaian prosedur tertentu yang disyaratkan oleh pihak kampus. Mereka diwajibkan untuk membuat surat pernyataan siap menanggung segala konsekuensi yang mungkin muncul dari pilihan mereka itu. Di UGM, surat semacam itu pada awal hingga menjelang akhir 1990-an harus diurus calon wisudawati di tingkat rektorat, kemudian kira-kira selepas 1998 hingga awal 2000-an cukup diurus di level fakultas. Setidaknya begitulah seingat Ana, seorang perempuan alumnus Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) UGM tahun 2001 yang sekarang bekerja di lingkungan almamaternya. Jadi, perempuan-perempuan yang tampil berjilbab pada foto buku wisuda serta foto ijazah mereka adalah orang-orang yang memang ingin dikenal sebagai seorang perempuan Muslim.
Sebelum tahun 1990 pemakaian jilbab sempat cukup lama menjadi praktek yang tak direstui dan banyak dirintangi, baik oleh Pemerintah, dunia usaha, juga banyak kalangan di masyarakat. Ketika itu pemakaian jilbab bisa mengundang stigma buruk semacam “fanatik” atau “ekstrimis” bagi pemakainya. Jilbab secara de facto dilarang untuk dipakai di lingkungan sekolah-sekolah negeri serta instansi pemerintah. Perusahaan-perusahaan juga sering meminta perempuan berjilbab yang hendak bekerja di tempat mereka untuk menanggalkan jilbab.
Dalam prosedur pembuatan berbagai dokumen resmi semacam KTP, SIM, SKKB (Surat Keterangan Kelakuan Baik), paspor dan ijazah, berlaku sebuah aturan yang mengharuskan adanya pas foto dengan dua telinga terlihat sepenuhnya. Keberadaan aturan tersebut menjadi masalah serius bagi perempuan-perempuan berjilbab. Meski tidak secara eksplisit melarang pemakaian jilbab, aturan tentang dua telinga yang terlihat secara implisit menghendaki para pemakai jilbab untuk menanggalkan jilbab mereka ketika mengurus dokumen-dokumen resmi. Perempuan berjilbab yang bersikeras tidak memerlihatkan telinganya, yang berarti tak bersedia mencopot jilbabnya, bisa saja gagal mendapatkan dokumen-dokumen yang diperlukannya.
Dengan hambatan-hambatan seperti di atas, maka menjadi bisa dipahamilah mengapa pada tahun 1986 tak ada wisudawati S1 dan D3 UGM yang tampil berjilbab dalam buku wisuda mereka. Hal tersebut terjadi karena para perempuan berjilbab banyak yang memilih berkompromi dengan tampil tanpa berjilbab dalam foto buku wisuda maupun ijazah mereka. Mereka ini pada saat wisuda banyak kembali tampil dalam balutan jilbab mereka. Contoh dari mereka yang berkompromi seperti itu salah satunya bisa dipastikan adalah seorang wisudawati UGM berjilbab yang sosoknya kebetulan terekam dalam salah satu foto dokumentasi wisuda dari tahun 1986.
Sejak pencabutan larangan berjilbab di sekolah-sekolah negeri pada tahun 1990, Pemerintah Indonesia akhirnya berangsur-angsur melonggarkan pembatasan dalam hal berjilbab. Foto-foto berpakaian jilbab pun diterima sebagai foto-foto dokumen resmi. Aturan foto dengan dua telinga terlihat memang masih diberlakukan oleh instansi kepolisian, antara lain dalam soal pengurusan SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian) yang dahulu dikenal dengan nama SKKB. Akan tetapi, penerapannya sudah jauh lebih longgar. Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Abubakar Nataprawira, seperti dikutip dari Kompas.com tanggal 7 Agustus 2008, menyatakan bahwa foto perempuan berjilbab dapat dipergunakan dalam pengurusan SKCK untuk kepentingan mendaftar sebagai caleg Pemilu 2009.
Seiring dengan kebijakan akomodatif pemerintah dalam soal jilbab, terjadi perbaikan persepsi tentang busana islami satu ini di masyarakat maupun di dunia usaha. Jilbab yang dahulu dimaknai sebagai simbol fundamentalisme lantas cenderung bersilih ke arah simbol kesalehan. Kini, industri sinetron maupun perfilman Indonesia bahkan sering menjadikan tokoh berjilbab sebagai tokoh protagonis mereka. Pekerja berjilbab juga menjadi pemandangan wajar di berbagai tempat kerja. Tren peningkatan jumlah pemakai jilbab di UGM antara 1991 hingga 2006 menjadi petunjuk dari efek sikap akomodatif dalam soal jilbab dari Pemerintah Indonesia, masyarakat, juga dunia usaha, sejak tahun 1990.
Penguatan Identitas Islam
Jilbab lantas menjadi cara berbusana yang lazim di Indonesia pada tahun 2000-an. Beberapa daerah di negeri ini bahkan menabalkannya sebagai pakaian wajib bagi perempuan melalui pemberlakuan “perda-perda syariah”.
Ini tidaklah terlepas dari gerakan penguatan identitas Islam sejak tahun 1970-an. Berjilbab, yang ketika itu lebih banyak mewujud dalam pemakaian kerudung, menjadi salah satu simbol penegasan identitas Islam di dalam gerakan tersebut. Pada tahun 1970-an, kalangan Islam di Indonesia memang merasa bahwa eksistensi mereka sedang terancam. Hal-hal yang memunculkan persepsi semacam itu antara lain adalah pertambahan yang terhitung pesat dari jumlah penganut Kristen di Indonesia selepas geger politik G30S medio 1960-an, juga gencarnya upaya Rezim Orde Baru untuk mengukuhkan Pancasila sebagai semacam agama sipil nasonal lewat penyebarluasan ajaran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).
Revolusi Iran 1979 selanjutnya mengamplifikasi gerakan penguatan identitas Islam di Indonesia. Revolusi di negeri para mullah itu juga menginsipirasi keberadaan bentuk jilbab seperti umum dikenal di Indonesia saat ini. Jilbab, khususnya pada bagian tudung kepala, bertransformasi ke arah bentuk yang lebih permanen. Jilbab semacam itu perlahan-lahan menggeser keberadan kerudung yang sebelumnya lebih umum dikenal di Indonesia. Jilbab dianggap lebih memenuhi kaidah-kaidah menutup aurat ketimbang kerudung.
Bentuk jilbab dari medio 1980-an sedikit banyak dapat ditunjukkan oleh dua lembar foto dari beberapa santriwati Pondok Pesantren Pabelan di Muntilan, Magelang. Dalam foto yang diambil pada tahun 1986 atau 1987 itu, para santriwati tampak mengenakan jilbab bertipe lebar yang menjuntai hingga kira-kira sedada, menyamarkan bentuk leher maupun pundak. Warna dari jilbab-jilbab itu polos tanpa motif dan terkesan sederhana. Para santriwati mengenakan atasan semacam kebaya, tapi longgar dan berukuran lebih panjang. Tubuh bagian bawah dari para santriwati itu tampak terbalut kain dari jenis batik dan sarung tenun.
(BERSAMBUNG ke tulisan bagian III: Bermula dari Kemben dan Kerudung)
CATATAN: tulisan dalam versi blog ini mengalami sejumlah pengeditan minor dari versi yang termuat di jurnal Srinthil edisi 17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar