Selasa, 28 Mei 2013

Jilbab, Arustama Baru Tampilan Perempuan Indonesia



(Bagian I dari tiga tulisan. Sebelumnya pernah dimuat dengan judul Gerak Merayap Penutupan Aurat: Catatan Dari Foto-Foto Masa Lalu di Jurnal Perempuan dan Multikulturalisme, Srinthil, edisi 17, diterbitkan oleh Desantara Foundation Jakarta pada Mei 2009)




Oleh Yoseph Kelik
JILBAB di sampul tabloid (foto oleh Franciska Anistiyati)

SEPOTONG halo bersambung selamat siang terucap di bawah pengaruh kental sebuah aksen asing. Bibir seorang perempuan bule paro baya merupakan muasalnya. Sekumpulan anak muda yang tengah sibuk mengerjakan praktek fotografi menjadi tujuannya. Selepas saling bertukar senyum, dua pihak tersebut lantas berbincang sejenak dalam bahasa Indonesia, yang banyak bercampur bahasa Inggris. Usut punya usut, perempuan kulit putih berambut coklat pendek itu bermaksud untuk memotret beberapa orang dari kumpulan yang disapanya.

Moslem girls.”

Si perempuan bule memberi penjelasan lebih lanjut dalam bahasa Inggris yang kentara berlogat Jerman atau Belanda
. Rupanya empat orang gadis berjilbablah yang dikehendaki olehnya. Permintaan itu sendiri dikabulkan dengan senang hati. Maka, selama lima menitan menjadi sibuklah si perempuan  bule memotreti model-model dadakannya.            

Serangkaian adegan tadi terjadi kurang lebih sewindu silam, suatu hari menjelang akhir tahun 2000. Tempat kejadiannya adalah reruntuhan Pulo Kenanga di selatan Pasar Burung Ngasem Yogyakarta. Semua itu barangkali hanyalah bagian prosesi berwisata seorang dari negeri seberang, yang dengan kameranya berupaya sebanyak mungkin mengumpulkan foto-foto kenangan mengenai lawatannya di Indonesia. Hanya saja, bahwa seorang kulit putih dari Eropa merasa tertarik untuk menjadikan foto-foto para perempuan berjilbab sebagai bagian dari foto-foto kenangannya tentang Indonesia kiranya merupakan satu hal yang tak seyogyanya diabaikan begitu saja. Kisah singkat tadi boleh jadi malah dapat menjadi sedikit petunjuk tentang bagaimana orang-orang Barat, seperti halnya sang perempuan bule pengunjung Pulo Kenanga, memandang perempuan-perempuan Melayu berjilbab, juga memandang jilbab itu sendiri.

Representasi 
Kini, jilbab serta perempuan-perempuan berparas Melayu yang mengenakannya barangkali telah menjadi ikon-ikon yang kian identik dengan sosok Indonesia. Dua hal tadi sepertinya telah menjelma menjadi representasi-representasi menonjol dari citra perempuan Indonesia saat ini. Jilbab pun bertransformasi jadi semacam busana khas dari perempuan Indonesia. Para perempuan yang mengenakannya berkembang pula jadi sebentuk arustama baru dari tampilan perempuan Indonesia. Dalam merepresentasikan sosok perempuan Indonesia, daya pencitraan  jilbab serta para penggunanya agaknya telah menyepadani daya pencitraan dari sekian ikon mapan bercitarasa Mooi Indie: gadis-gadis Bali, perempuan-perempuan berkemben serta berkebaya, juga petani-petani wanita bercaping.

Apa yang terjadi ini sangat bisa dimaklumi. Kondisi yang ada akhir-akhir ini memang cenderung mendukung lahirnya pemahaman semacam tadi. Khususnya pada sekitar tiga dekade terakhir,  berjilbab —sebagai cara berbusana yang dianggap paling ideal bagi perempuan menurut agama Islam— sedang menjadi praktek berbusana yang kian populer di kalangan perempuan Muslim Indonesia, yang tentu saja adalah juga bagian terbanyak dari kaum perempuan Indonesia. Padahal, Indonesia sendiri dikenal sebagai sebuah negara yang sekitar 90 persen dari seluruh penduduk memeluk agama Islam. Maka, meluasnya pemakaian jilbab di antara para perempuan Muslim Indonesia ini berdampak pada makin lekatnya Indonesia dengan identitas Islam. Besarnya jumlah perempuan Muslim Indonesia yang tampil berjilbab tentunya cenderung menjadi simbol yang signifikan tentang besarnya jumlah pemeluk Islam di Indonesia.

Bagaimana pemakaian jilbab meluas di dalam kalangan perempuan Muslim Indonesia dalam sekitar tiga dekade terakhir dapat disimak dari perkembangan yang berlangsung di Yogyakarta antara awal 1990-an hingga medio 2000-an. Pada kurun tersebut, jumlah perempuan berjilbab di kota gudeg, khususnya yang berusia muda hingga sekitar 30 tahunan serta menuntut ilmu jenjang S1 dan D3 di UGM, terlihat meningkat signifikan. Buku-buku wisuda S1 dan D3 UGM merupakan sumber-sumber dokumentasi yang merekam cukup baik fenomena tadi.  Buku-buku yang terbit periodik empat kali dalam setahun tersebut dapat membantu mengidentifikasi keberadaan perempuan-perempuan pemakai jilbab di lingkungan UGM, juga menunjukkan perkembangan jumlah mereka dari waktu. Hal ini dimungkinkan karena sejak pertengahan 1980-an buku-buku wisuda S1 dan D3 UGM telah dilengkapi dengan foto-foto setengah badan para wisudawan-wisudawatinya.

Pada tahun 2006, sekitar 45 persen atau hampir separo dari seluruh wisudawati S1 dan D3  UGM sepanjang tahun tersebut ternyata para perempuan berjilbab. UGM sendiri sepanjang tahun 2006 tercatat mewisuda tak kurang dari 3.400 wisudawati S1 dan D3. Dari jumlah tersebut, berdasarkan foto yang ada dalam buku wisuda, 1633 orang di antaranya teridentikasi sebagai para pemakai jilbab.

Lima tahun sebelumnya, yakni tahun 2001, UGM tercatat mewisuda 2751 wisudawati S1 dan D3. Dari jumlah tersebut, 848 orang atau hampir 31 persen teridentifikasi sebagai para pemakai jilbab.

Mundur lima tahun lagi, yakni tahun 1996, UGM tercatat mewisuda 1650 wisudawati S1 dan D3. Dari jumlah tersebut, 320 orang atau 19 persen lebih teridentifikasi sebagai para pemakai jilbab.

Jauh sebelumnya lagi pada tahun 1991, UGM tercatat mewisuda 1355 wisudawati S1 dan D3. Dari jumlah tersebut, baru 52 orang atau sekitar 3,8 persen saja yang teridentifikasi sebagai para pemakai jilbab.
(BERSAMBUNG ke tulisan bagian II: Antara Jilbab Lebar dan Jilbab Rapat)



CATATAN: tulisan dalam versi blog ini mengalami sejumlah pengeditan minor dari versi yang termuat di jurnal Srinthil edisi 17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar