Cerita tentang Batik Kuno dari Nurlaini

Oleh Yoseph Kelik

BATIK kapal kompeni tergelar di atas lembaran batik patolah Jambi di
Ruang Tekstil Storage Museum Negeri Jambi (foto oleh Hanif Burhani) 

NURLAINI sang Kepala Seksi Pengelolaan Koleksi Museum Negeri Jambi membuka sebuah laci kabinet di sudut ruang kerjanya. Ia lalu memilih satu renceng anak kunci dari sekian renceng yang ada di dalam laci kabinet tadi.

Lalu, ia mengajak saya, rekan saya fotografer Hanif Burhani, juga Amalia Siregar sang Juara 3 Duta Batik Jambi 2012, untuk berjalan keluar. Kami pun lantas mengekor sosok yang pada Kamis pagi, 29 Maret  2012 itu mengenakan setelan batik warna hijau tersebut. Sepuluh langkah berbelok ke kiri dari ruangannya, Nurlaini berhenti dan menyorongkan anak kunci ke lubang kunci yang ada di pintu di depannya.

"Ini namanya ruang tekstil," ucap wanita paro baya yang lahir dan besar di Sumatera Barat tersebut.

Di dalam ruangan, Nurlaini segera membuka satu lemari. Helai demi helai batik kuno koleksi penting Museum Negeri Jambi dikeluarkannya dari sana, dan lantas digelarnya di atas sebuah meja. Nurlaini melakukannya sembari mengingatkan kami untuk tak menginjak gelaran karpet merah di tengah ruangan.

"Koleksi batik kuno Museum Negeri Jambi itu ada sekitar 160 lembar. Yang sudah dideskripsikan ada sekitar 100 lembar. Yang dipajang di depan di lantai 1 dan 2 museum 15 lembar  saja," kata Nurlaini.  

Pada awalnya, Nurlaini banyak menjelaskan tentang motif patolah, yang merupakan satu motif batik kuno klasik Jambi. Patolah yang dipamerkannya kepada saya, Hanif, dan Amel, disebut Nurlaini berasal dari akhir abad XVIII . Patolah itu tersusun dari bentuk-bentuk gambar yang menyerupai daun talas dan teratai.

Usai menerangkan patolah, Nurlaini secara bergiliran ganti menerangkan tentang motif bungo jeruk kuno, durian pecah, tampuk manggis, juga kapal kompeni yang menyerupai sebuah lukisan pendaratan tentara dari sebuah kapal uap berlayar. Lalu menyusul pula motif riangriang, yang terdiri dari dua bagian yakni tepiannya berhias bentuk kupu-kupu, sedangkan bagian tengahnya berhias bentuk burung merak. Nurlaini sempat pula menerangkan tentang kain penutup mayat yang berhias motif batik ayat suci Al Quran, juga kain untuk penyembuhan yang bermotif batik bentuk rajah mantra tertentu.

Pewarnaan batik-batik kuno Jambi, dalam penjelasan Nurlaini, berasal dari perebusan kulit pohon, getah pohon, hingga kulit buah. Contohnya antaral lain warna merah yang didapat dari getah jernang atau buah pohon mahoni. Warna biru tua didapat dari kayu lebato. Cokelat tua didapat dari kayu bulian. Lalu untuk mendapat warna hitam didapat dari kayu lebato atau bulian yang ditambah rebusan kulit jengkol. Namun, pewarnaan alami semacam ini tidak memiliki pakem pasti. Setiap pembuat batik punya cara sendiri-sendiri, tergantung ketersediaan bahan maupun keinginan kreasi.

Kata Nurlaini, batik-batik Jambi awalnya tidak mengenal figur manusia atau hewan. Namun, kemudian mengenalnya seiring dengan adanya pengaruh dari Jawa, yang sebenarnya telah masuk sejak zaman Adityawarman, lalu bercampur lagi dengan pengaruh Belanda. Dia mencontohkan pengaruh itu ada pada batik motif kompeni yang berwanr kombinasi cokelat tua dan cokelat muda. Di batik mirip lukisan besar dari antara abad XVIII hingga XIX itu memang selain ada bentuk kapal besar, ada pula bentuk manusia berseragam serdadu dan binatang seperti kuda.

"Ini asalnya dari daerah Tanjung Jabung Timur," kata Nurlaini.

Sambungnya, koleksi-koleksi batik kuno Museum Negeri Jambi diperoleh pihak museum dari membeli maupun beroleh dari sumbangan berbagai pihak dari berbagai pelosok Jambi. Daerah- daerah asal batik kuno koleksi museum antara lain Tanjung Jabung Timur, Merangin, dan Kerinci

"Bisa sampai berapa harga batik itu, Bu?" tanya sayakepada Nurlaini tentang harga-harga batik-batik kuno bermotif unik dari abad XVIII jika jatuh di tangan kolektor. Menurut taksiran Nurlaini, ada dari batik-batik itu yang bisa mencapai Rp 6 juta sehelainya. Namun sambungnya, dalam hal pengadaan koleksi oleh museum, anggaran per helai ada di bawah angka tadi.

Sekeluarnya dari ruang tekstil, saya mencoba bertanya kepada Amel, yakni umpama dia memiliki uang berlebih dan berkesempatan membeli kain batik kuno, maka kain motif apa yang kira-kira bakal dibelinya. Setelah berpikir sejenak, Amel seraya tersenyum lalu menyebut secara berurutan tiga motif  batik Jambi sebagai jawabannya: kapal kompeni, riangriang, dan tampuk manggis. Namun, ia lantas mengimbuhkan lagi dua kalimat sebagai semacam catatan kaki untuk jawabannya tadi.

"Tapi kalau beli batik kuno seperti tadi untuk pribadi sepertinya egois. Batik kuno seperti itu ya baiknya disimpan di museum, supaya bisa dilihat semua orang."

<<<+>>>

KETERANGAN:
Tulisan ini sebelumnya pernah dimuat di halaman 10 Harian Pagi Tribun Jambi pada Minggu,1 April 2012. Namun, untuk versi dalam blog ini ada sejumlah pengeditan minor.