Jumat, 25 Mei 2012

Punya Relief Sejarah Paling Detail di Jambi

(Tulisan tentang Monumen Tentara Pelajar Sriwijaya)



Oleh Yoseph Kelik

MONUMEN TP Sriwijaya di Simpang Sado, Kawasan Pasar, Kota Jambi (foto dari http://jambi.tribunnews.com/2012/05/24/sejenak-menengok-monumen-tentara-pelajar-sriwijaya-berita-foto)

MONUMEN Pelajar Pejuang Tentara Pelajar Sriwijaya demikianlah nama lengkap komplek taman dan monumen seluas 810 meter persegi ini. Warga Kota Jambi yang biasa berkendara maupun berjalan kaki di seputaran Kawasan Pasar tentunya pernah melintas dan melihat monumen tersebut. Pasalnya, lokasi monumen ini ada di tengah Simpang Sado, pertemuan antara Jalan dr Sutomo dan Jalan dr Wahidin. Dengan begitu, si monumen sebenarnya ada di satu jalur lingkar utama Kawasan Pasar.

Namun, sepengamatan saya agaknya tak banyak orang yang meluangkan waktu untuk mengunjunginya. Paling mereka yang sering menginjakkan kaki di sana adalah petugas Dinas Kebersihan, Pertamanan, dan Pemakaman Kota Jambi. Soalnya, biarpun tegel keramik di sana banyak yang telah kusam juga pecah maupun copot di sana-sini, tanaman penghias tamannya tampak terpangkas cukup rapi. Selain itu, saya, ketika lewat di sekitar Simpang Sado pada pagi hari, beberapa kali melihat pula seorang tuna wisma yang memanfaatkan monumen tersebut sebagai tempatnya beristirahat, melewatkan malam.

Sedikit keramaian, tapi itu jarang sekali, pernah juga saya temukan di sana. Dilakukan oleh sejumlah anak muda pada 21 Agustus 2011 silam. Kala itu, mereka menggelar acara bernama Lapak Gratis, sebuah ajang berbagi cuma-cuma berbagai barang mereka yang tiada lagi terpakai, tapi masih layak, untuk masyarakat yang kurang mampu.  

Saya sejauh ini dua kali menginjakkan kaki plus melihat-lihat monumen yang namanya terasa lebih enak disebut secara singkat sebagai Monumen Tentara Pelajar Sriwijaya, atau Monumen TP Sriwijaya tersebut. Minggu, 11 April 2012 adalah kali pertama saya mengunjungi monumen bertetenger utama sepasang patung pemuda dan pemudi berseragam tentara, juga satu patung rajawali tersebut. Saat itu, saya bergabung dalam acara jalan-jalan pagi yang diselenggarakan Jambi Punyo Crito, komunitas anak muda yang tertarik melacak sejarah Kota Jambi. Kunjungan kedua terjadi pada Rabu, 23 Mei 2012, ketika berkeliling menengok berbagai spot arsitektur menarik di Kawasan Pasar. Kebetulan kali ini ditemani seorang rekan yang paham soal arsitektur yakni Rahmat Indrani,  alumnus Jurusan Arsitektur Itenas Bandung.

Melihat dari plakat prasati di bagian penopang patung sepasang pemuda-pemudi, monumen TP Sriwijaya menjadi bagian dari Kota Jambi sejak 2 dekade silam, tepatnya 19 September 1992. Setidaknya demikian menurut tanggal peresmiannya. Namun menurut pematung Sumardi DS ketika saya temui di rumahnya di daerah Sungai Kambang pada Kamis, 24 Mei 2012 ini, bangunan monumen itu sebenarnya telah rampung berdiri sebulan lebih sebelum peresmiannya.

"Sebulan sebelum peresmian itu tinggal nata tamannya saja," kata Sumardi yang termasuk satu dari empat orang yang  menangani pembangunan monumen tersebut hampir 20 tahun lalu.

Menurut pria berusia 62 tahun tersebut, ia dalam proyek tersebut bertanggung jawab membuat relief sejarah Provinsi Jambi dari sekitar medio 1940-an sampai dengan awal dekade 1990-an. Relief itu menghiasi bagian melengkung tepat di belakang monumen, tapi mengarah ke Jalan Wahidin dan Kawasan Pasar.

"Empat puluh hari saya mengerjakannya," kata Sumardi.

Di saat bersamaan kala itu, kakak dari Sumardi yakni Sudirman DS menggarap pula satu relief berukuran sama, tapi berada di sisi yang berpunggung-punggungan dengan relief yang dikerjakan  Sumardi. Relief karya kakak Sumardi tersebut bertutur tentang legenda angso duo, kisah asal asul Kota Jambi . Menurut Sumardi lagi, tiga patung penghias monumen dikerjakan oleh seniman lain dari Palembang, sedangkan taman dikerjakan oleh orang lain lagi.

Omong-omong, relief sejarah Jambi hasil karya Sumardi di belakang Monumen TP Sriwijaya tergolong cukup detail. Sepengamatan saya, relief tersebut mampu memvisualisasikan sejumlah bangunan kuno di Kota Jambi secara apik, sebagaimana tampang bangunan-bangunan tersebut pada sekitar medio 1940-an. Bangunan-bangunan yang tertampilkan di sana antara lain Rumah Dinas Gubernur, Kantor Direktorat Pengamanan Obyek Vital, serta SMP Negeri 1 Jambi. Melihat bentuk visualisasi bangunan-bangunan tadi dalam relief, orang bakal seolah sedang menatap lembaran-lembaran foto lawas. 

RELIEF sejarah Provinsi Jambi di bagian belakang Monumen TP Sriwijaya (foto dari http://jambi.tribunnews.com/2012/05/24/sejenak-menengok-monumen-tentara-pelajar-sriwijaya-berita-foto)
 Tentang kesan tersebut, Sumardi DS mengamininya. Dia mengaku melakukan semacam riset kecil secara serius sebelum mengerjakan relief. Dia antara lain melihat beberapa buku lawas, juga mengajak ngobrol ketua legiun veteran di Jambi yang menjabat periode itu. Namun, yang terpenting ia memerlukan pula mendatangi beberapa bangunan yang hendak divisualisasinya, lalu membuat skesta perkiraan bentuk bangunan pada masa sekitar 1940-an.

"Saya sket langsung di tempatnya, saya amati mana yang bagian asli, mana yang tambahan. Yang asli saja yang saya masukkan sket," kata Sumardi.

Saya mencoba bertanya kepada Sumardi tentang bentuk wajah besar Presiden II Republik Indonesia, Soeharto, yang ada di sisi kanan relief, tak jauh dari bentuk kapal laut besar dan pesawat trijet DC 10. Tentang itu Sumardi tersenyum. Jawabnya, itu merupakan pesanan sang ketua legiun veteran di Jambi kala itu.

"Kan waktu itu Pak Harto lagi jadi Bapak Pembangunan," ucapnya lebih lanjut.

Di dalam obrolan sore itu, Sumardi sempat pula bercerita kepada saya tentang asal-usul lahan yang menjadi lokasi Monumen TP Sriwijaya. Katanya, daerah itu dulu sebelum dikenal dengan nama Simpang Sado pernah lama diakrabi warga Kota Jambi dengan sebutan Taman Bunga. Itu karena di daerah tersebut pada zaman Belanda hingga sekitar 1970-an pernah menjadi lokasi bagi sebuah taman bunga yang luas. Lokasi tepatnya si taman bunga adalah di Kantor Telkom Pasar, depan Rumah Sakit Bratanata sekarang. Lahan Monumen TP Sriwijaya pun seingat Sumardi merupakan semacam sambungan area terbuka dari si taman bunga peninggalan Belanda. Hanya saja, antara taman bunga dan lahan yang kini menjadi lokasi monumen ada semacam seruas jalan kecil.
 <<<<+>>>



KETERANGAN: Tulisan ini sebelum dimuat sebagai feature alias human interest story di halaman 1 Harian Pagi Tribun Jambi pada Jumat, 25 Mei 2012 dengan judul Punya Relief Sejarah Paling Detail, yang juga dikembangkan dari satu berita foto online di situs tribunjambi.com pada Kamis, 24 Mei 2012. Namun, untuk pengunggahan di blog ini lantas ada sedikit pengeditan minor plus penambahan satu paragraf di bagian akhir tulisan.







1 komentar: