Selasa, 31 Maret 2015

Mbah Kakung dan Sebuah Obituari Untuknya

Oleh Yoseph Kelik

DIA terlahir 85 tahun atau 83 tahun lalu. Jangan tanya tahun mana yang lebih tepat. Jangan pula tanya tanggal lahirnya. Ia lahir dari generasi yang belum menganggap penting  catatan rinci tentang tahun lahir, tanggal ulang tahun, apa lagi dokumen semacam akta lahir.

Nama yang diberikan kepadanya semasa kecil adalah Sugiyono, dipanggil Sugi. Setelah menikah, namanya berubah menjadi Karso Giyono.  Nama ini pula lah yang tercantum secara resmi di KTP-nya.
Meski begitu, banyak juga orang menyebutnya dengan gabungan dari nama resminya dan nama kecilnya, yakni Karso Sugi. Bagi orang-orang sedesanya, nama yang terakhir tadilah yang paling populer untuk menyebut dirinya.

Oh, ada satu sebutan informal lagi yang dipunyai yaitu Mbah RT. Sebutan tersebut didapatnya karena ia memegang jabatan RT di kampungnya selama sekitar seperempat abad. Ia berhenti menjadi RT sekitar 15 tahun lalu.

Ketika ia berusia lebih dari  separo abad, badan dan tenaganya mudah saja untuk dipakai memikul dua balita di keranjang depan, sedangkan keranjang belakangnya dibebani sejumlah hasil panen dari ladang, menempuh jarak sejauh sekitar 2 kilometer.

Sebelum  saya masuk TK, saya gemar mengamatinya meracik rokok tingwe memakai rajangan tembakau, wur, cengkeh, yang lalu digulung memakai kertas papir. Pada tahun-tahun itu saya juga senang sekali jika bisa mengekornya saat ia pergi ke balai pertemuan dusun, menyunggi sejumlah makanan dalam tampah yang hendak diikutkan menjadi bagian kenduri.
 
Saat saya hendak masuk SD, ia adalah orang yang pada suatu petang mengantarkan saya ke rumah seorang guru guna mendaftarkan diri. Pada tahun-tahun itu, ia adalah orang yang mengajari saya berbagai pengetahuan seputar kisah pewayangan. Ia menularkan hal tersebut dengan mengajak saya mendengarkan siaran wayang kulit di radio ataupun menonton siaran wayang kulit dan wayang di televisi. Dulu, ia biasa menyimak maupun menonton siaran semacam itu sepanjang malam sampai subuh.  Kalau saya sih biasanya cuma tahan menemaninya sampai sekitar tengah malam.

Ketika saya SMP, ia berganti pilihan rokok dari tingwe alias ngelinting dewe menjadi rokok kretek atau kretek filter bikinan pabrik. Merk rokok favoritnya adalah Sukun. Kala itu, saya biasa disuruhnya membeli rokok Sukun itu ke warung. Jika duit pembelian berlebih, saya sering diperbolehkannya memiliki uang sisa tersebut dan memakainya untuk jajan.

Di masa saya kuliah, selain Ibu saya, ia merupakan orang selalu getol mengingatkan saya untuk berhati-hati ketika berkendara sepeda motor ke Jogja. Sering kali pula ia terlihat khawatir kalau saya pergi ke Jogja ketika hari mulai gelap atau cuaca di langit sebelah barat terlihat mendung.
Selama-lama bertahun-tahun, bahkan sekitar usia 70 tahun, ia adalah orang yang paling terampil di rumah dalam urusan membetulkan genteng yang bergeser ataupun pecah.

Jika cuaca sedang buruk semisal hujan angin atau hujan deras berkilat dan berguntur hebat, ia justru akan berdiri di serambi rumah sembari memegang arit atau bendo. Matanya akan menatap ke langit yang murka; mulutnya akan berkomat-kamit samar. Ia memang seorang penganut kejawen. Karena itu, di rumah selalu saja ada kalender yang sejumlah tanggalnya akan diberi sejumlah tanda-tanda tertentu. Itu merupakan hitungan hari baik-buruk menurut sistem petungan weton Jawa.

Hanya saja, kesehatannya lantas merosot secara sangat kentara dari tahun ke tahun sejak 5 tahun silam. Ia mulai sering jatuh sakit. Ada batuk kronis juga yang lama diidapnya yang lantas memaksanya berhenti merokok pada akhirnya.  Ia harus berhenti juga  pergi ke ladang. Ia lalu harus selalu tinggal di rumah. Sedikit kesibukan yang dipunyainya tinggal membuka dan mengunci pintu dan jendela rumah pada setiap pagi dan sore. Ia lalu lebih banyak menghabiskan waktu dengan duduk di serambi rumah ketika pagi atau sore, juga dengan menonton acara-acara komedi di televisi ketika malam.

Pada 1,5 tahun terakhir, kesehatannya merosok kian drastis. Ia akhirnya kehilangan kemampuannya berjalan. Itu membuatnya harus menghabiskan waktu di kamar. Setelahnya, dari hari ke hari ia kehilangan sebagai  besar memorinya dan tak lagi bisa bicara dengan jelas. Sejak sekitar 4 bulan lalu, ia sudah tidak berhasil mengingat saya sebagai salah seorang  cucunya. Ia justru mengelirukan saya sebagai mendiang adik laki-lakinya.

Sepuluh hari lalu, ibu dan ayah saya memasukkannya ke rumah sakit karena luka lecet  yang tak kunjung mau mengering. Luka lecet itu adalah imbas yang didapatkannya selama hanya bisa berbaring di kamar beberapa bulan terakhir ini.  Opname 4 hari di rumah sakit memang membuat lukanya mengering. Namun, ketika ketika dibawa pulang ke rumah, ia sudah dalam kondisi tidak sadar. Kondisi semacam itulah saya lihat padanya kemarin, hari Minggu tanggal 29 Maret, ketika saya mudik selama 14 jam.

Senin pagi, 30 Maret, beberapa saat sebelum saya bertolak kembali ke Jogja dengan sepeda motor tunggangan saya, saya berpamitan dan mencium pipi pria teramat sepuh itu. Dia sudah begitu lemah. Sama sekali tak bisa berucap apa-apa. Membuka matanya pun ia sudah tak sanggup lagi.
Tak sampai 12 jam kemudian,  adik saya menelepon saya, mengabari saya bahwa pria sepuh yang saya cium pagi tadi akhirnya sudah dipanggil kembali oleh Tuhan. Sebagai orang yang beberapa tahun terakhir ikut menyaksikan merosotnya kesehatan kakek saya dari pihak Ibu itu, kabar yang disampaikan adik saya saya ternyata tetap saja membuat saya terhenyak.
...
Pada akhirnya, saya cuma bisa berucap sugeng tindak kepada Mbah Kakung saya. Semoga Tuhan mengampuni segala dosa yang diperbuatnya di antara 8 dasawarsa lebih usianya. Semoga Tuhan berkenan menerimanya di Surga, memberinya tempat yang layak serta istirahat yang tenang di sana. Sekali lagi sugeng tindak nggih, Kakung... .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar