Minggu, 01 Maret 2015

Jika Perang Bubat Tak Terjadi

Oleh Yoseph Kelik

PERANG Bubat (foto ilustrasi  diambil dari kaskus.co.id)


PERANG Bubat adalah sebuah tragedi terjadi pada 1279 Saka atau1357 Masehi. Rombongan Raja Sunda Galuh tewas seluruhnya di Bubat, sebuah lapangan tempat berkemah para tamu negara Majapahit sebelum datang ke kotaraja. Bubat terletak dekat Pelabuah Canggu, sekian kilometer arah utara dari daerah Trowulan saat ini yang merupakan situs bekas ibukota Majapahit. Kematian orang-orang Sunda itu adalah karena diserang wadyabala Majapahit. Dua pihak tersebut terlibat pertempuran yang tidak berimbang. Rombongan dari Sunda Galuh cuma ratusan orang, sedangkan pasukan Majapahit yang sedang berada di dekat pusat negara mereka sendiri tentu saja mudah mengerahkan tenaga prajurit sampai ribuan orang.

Turut tewas dalam tragedi tersebut adalah Raja Sunda Galuh sendiri, Prabu Linggabuwana, permaisurinya, juga putri mereka yakni sang sekar kedaton Dyah Pitaloka.
Linggabuwana gugur dalam pertempuran bersama para prajurit dan punggawa kerajaan yang mengiringinya. Permaisuri, Putri Dyah Pitaloka, juga para perempuan dalam rombongan itu kehilangan nyawa karena memilih bela pati alias bunuh diri daripada dinodai kehormatan mereka oleh orang-orang Majapahit, atau dihinakan sebagai seserahan rampasan perang.

PETA perkiraan lokasi Tragedi Perang Bubat pada 1357 (foto dari artikeltulisan.files.wordpress.com)


Padahal, rombongan Kerajaan Sunda Galuh sebenarnya datang ke Majapahit guna mengantar Dyah Pitaloka yang akan dinikahi Prabu Rajasanagara alias Hayam Wuruk, Maharaja Majapahit. Sayangnya, perselisihan dan pertumpahan darah lah yang akhirnya terjadi. Itu dipicu oleh tuntutan pihak Majapahit pada saat-saat terakhir, yang enggan  menempatkan Dyah Pitaloka maupun orangtuanya dalam posisi yang sederajat dengan Raja Majapahit serta keluarga, bahkan cenderung menuntut Dyah Pitaloka sebagai tanda bakti atau takluk Sunda Galuh kepada Majapahit.     

Kisah tentang Perang Bubat ini tertulis dalam naskah-naskah kuno yang ditulis pihak Majapahit dan  Sunda. Naskah-naskah tersebut adalah Pararaton, Kitab Sunda, Kitab Sundayana, juga Carita Parahyangan. 

Hanya saja, saya kerap kali terpancing berpikir tentang sejarah alternatif jika pada 1357 itu tiada terjadi pertumpahan darah di Lapangan Bubat. Apa yang terjadi jika daup ageng antara Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka dapat dilangsungkan, lalu dari pernikahan itu terlahir penerus tahta bagi Majapahit?
   
Kalau saya pikir-pikir, jika Tragedi Perang Bubat tak terjadi, maka ujung dampaknya adalah Kepulauan Nusantara tak akan melihat lahirnya kesatuan teritorial dan politik bernama Indonesia seperti yang ada saat ini. Pasalnya, jalannya sejarah Nusantara antara abad XIV sampai dengan abad XIX tampaknya akan jauh berbeda.

Tanpa adanya Perang Bubat, Jawa dan Sunda tampaknya akan lebih terintegrasi dan berasimilasi secara budaya. Integrasi itu menurut saya akan lebih menguatkan pengaruh Hindu-Buddha di Jawa, termasuk dalam menghadapi perkembangan dunia pada abad XV dan  setelahnya. Karena itu, pada abad XV pun hegemoni peradaban Hindu-Buddha tak akan sampai terdesak dan terisolasi sebatas di Bali dan Blambangan/Banyuwangi. Pengaruh Hindu-Buddha agaknya akan tetap mampu bertahan di seluruh Jawa, atau paling tidak sebagian besar darinya. Wilayah pengaruhnya akan pula meliputi Madura, Bali, Lombok, atau juga Lampung serta Kawasan Pesisir Timur Sumatera Bagian Selatan seperti Palembang dan Jambi.

Pengaruh Islam di Nusantara tentu akan menguat sejak abad XV. Namun, berhubung Jawa/Majapahit dan Sunda lebih terintegrasi secara kultur sejak abad XV, maka kemungkinan pengaruh Islam bakal lebih banyak meliputi kawasan-kawasan seperti Aceh, Sumatera Bagian Utara, Pesisir Barat Sumatera, serta Semenanjung Malaya. Dalam wilayah hegemoni Islam tersebut, Aceh agaknya akan menjadi kerajaan terbesar.

Kekuatan hegemonik Islam dari Sumatera Bagian Utara maupun Hindu-Buddha dari Jawa-Sunda akan terlibat persaingan pengaruh secara berkepanjangan. Itu antara lain dipicu hasrat masing-masing untuk mengontrol jalur perdagangan ke arah Maluku, daerah penghasil komoditi penting rempah-rempah. Daerah-daerah yang agaknya menjadi spot-spot gesekan maupun benturan antara dua pihak yang bersaing tersebut adalah Pesisir Timur Sumatera, Kalimantan Barat dan Selatan, juga Sulawesi Selatan. Dampak dari persaingan menahun atau bahkan berabad tersebut adalah tersedotnya energi dua pihak tadi.

Lalu, pada saat kekuatan asal Sumatera Bagian Utara maupun Jawa-Sunda kelelahan berkonflik, kekuatan Barat yang didorong semangat penjelajahan samudera untuk menemukan daerah penghasil rempah-rempah akan masuk ke Nusantara. Portugis adalah kekuatan Barat pertama yang datang. Namun, penetrasinya atas Nusantara mungkin akan terlokalisasi di Malaka dan tak akan cukup leluasa menanamkan pengaruh sampai ke Maluku. Pada akhirnya, Portugis pun akan tergeser oleh Belanda dan Inggris yang menyusul datang berlayar ke Nusantara. Hanya saja, Belanda dan Inggris rasanya akan cenderung tertahan pula penetrasinya dan cuma berhasil mengontrol sekitar Malaka, Bengkulu, Lampung, Sunda Kelapa, dan Palembang. Dengan demikian, tanpa terjadinya Perang Bubat, maka Kepulauan Nusantara Bagian Barat akan menjadi region pertarungan pengaruh antara kekuatan Islam, Hindu-Buddha, juga Barat.

Dalam kondisi demikian, Spanyol bakal jadi kekuatan Barat yang paling diuntungkan di Nusantara. Itu karena Spanyol sebagai dampak Perjanjian Tordesillas akan mendatangi Nusantara dari arah Timur dan relatif tak harus langsung terlibat benturan dengan kekuatan-kekuatan besar asal Sumatera Bagian Utara maupun yang berasal dari Jawa-Sunda. Banyak daerah di Nusantara Bagian Timur mungkin justru akan berhasil dikontrol Spanyol antara abad XVI-XVIII atau malah sampai abad XIX. Daerah-daerah yang kemungkinan akan jatuh ke tangan Spanyol tersebut adalah Kepulauan Maluku, Sulawesi Utara, atau bahkan Sulawesi Selatan. Dampak lainnya lagi, Maluku dan Sulawesi Utara mungkin akan justru termasuk dalam wilayah teritorial Filipina.

Wilayah Nusantara selebihnya di bagian barat mungkin akan terpecah menjadi beberapa negara. Sumatera mungkin justru menjadi satu negara dengan Malaysia. Lalu,  Jawa, Madura, Bali, dan Lombok mungkin menjadi sebuah negara dengan kultur ala Thailand.
 <<<+>>>


*Dikembangkan dari serangkaian twit di akun Twitter @sephkelik pada 28 Februari 2015.

1 komentar:

  1. Wahai Gajah Mada, apa maksudnya engkau bermulut besar terhadap kami? Kami ini sekarang ingin membawa Tuan Putri, sementara engkau menginginkan kami harus membawa bakti sama seperti dari Nusantara. Kami lain, kami orang Sunda, belum pernah kami kalah berperang. Seakan-akan lupa engkau dahulu kala, ketika engkau berperang, bertempur di daerah-daerah pegunungan. Sungguh dahsyat peperangannya, diburu orang Jipang. Kemudian patih Sunda datang kembali dan bala tentaramu mundur. Kedua mantrimu yang bernama Lěs dan Beleteng diparang dan mati. Pasukanmu bubar dan melarikan diri. Ada yang jatuh di jurang dan terkena duri-duri. Mereka mati bagaikan kera, siamang dan setan. Di mana-mana mereka merengek-rengek minta tetap hidup. Sekarang, besar juga kata-katamu. Bau mulutmu seperti kentut jangkrik, seperti tahi anjing. Sekarang maumu itu tidak sopan dan berkhianat. Ajaran apa yang kau ikuti selain engkau ingin menjadi guru yang berdusta dan berbuat buruk. Menipu orang berbudi syahdu.

    BalasHapus