Rabu, 31 Juli 2013

Dari Jambi ke Sumatera Barat pada Peralihan November ke Desember

(Sambungan dari tulisan Pinjaman Mobil Sekaligus Pemiliknya sekaligus bagian II tulisan-tulisan catatan perjalanan ke Sumatera Barat dan Sumatera Utara)


Oleh Yoseph Kelik


MOBIL Innova silver milik Pak Jarwadi yang membawa rombongan pelesir ke Sumatera Barat

JUMAT sore, 30 November 2012, adalah waktu keberangkatan bagi rombongan kami, rombongan pelesir yang hendak menonton Pacu Jawi ke Sumatera Barat . Titik kumpul adalah adalah rumah Pak Jarwadi di daerah Bagan Pete di pinggiran Kota Jambi. Saya, Wahyu, serta Wahid sampai di rumah mertua Hanif, kawan sekantor kami, tersebut sekitar pukul 16.30.

Tak seberapa lama setelah sampai, Hanif, saya, Wahyu, juga Wahid, menata tas-tas bawaan di barisan kursi balik belakang mobil Kijang Innova silver yang bakal mengangkut kami ke Sumatera Barat.
 Sekitar lima belas menit terpakai untuk urusan tersebut.

Dalam mobil yang akan membawa kami berempat serta Pak Jarwadi berpelesir ke Sumatera Barat, istri Pak Jarwadi yakni Bu Habibah rupanya turut pula hendak menumpang sampai ke Muara Bungo. Bu Habibah ada satu urusan sekitar sehari dua hari di ibukota Kabupaten Bungo itu. Bu Habibah membawa dua tas. Kami mesti menaruh tas-tas Bu Habibah tersebut di bagian paling atas dari tumpukan bawaan dalam mobil, supaya begitu sampai di Muara Bungo mudah menurunkan keduanya.

Jelang pukul 17.30, mobil pun mulai bergerak meninggalkan rumah Pak Jarwadi. Lambaian tangan Putri, istri Hanif, yang sedang menggendong putra mereka, si kecil Giras, mengantar keberangkatan kami. Tak sampai sepuluh menit, kami pun sudah berada di luar Kota Jambi. Ini karena rumah keluarga Pak Jarwadi memang berada di dekat jalur Jalan Lingkar Barat Kota Jambi.

Ketika bertolak dari Jambi ini, Pak Jarwadi memilih turun tangan langsung menyetir. Bu Habibah duduk di kursi depan kiri, menyebelahi suaminya. Di bangku tengah mobil duduk saya, Hanif, serta Wahyu. Wahid yang berbodi XXL duduk ada di baris paling belakang, berbagi ruang dengan tumpukan tas serta sekardus air mineral berkemasan cup.

Awal perjalanan, suasana dalam mobil lebih banyak terasa senyap dan diliputi kesungkanan. Kalaupun ada obrolan, itu bisa dibilang terpecah jadi dua kutub. Pertama adalah kutub berisi obrolan antara Pak Jarwadi  dan Bu Habibah, lalu yang kedua adalah kutub obrolan antara saya, Hanif, Wahyu, dan Wahid. Boleh jadi, itulah yang bikin saya dan Wahid dengan cepat tertidur. Padahal, jalan menuju Muara Bulian, juga jalan-jalan selepas ibukota Kabupaten Batanghari itu "berhiaskan" banyak sekali lubang. Tak sedikit yang lebar lagi dalam ukurannya. Ketika terjebak karena luput menghindari mereka, goncangan keras dapat dipastikan terasa menggemetarkan seisi mobil.

Saya baru terbangun ketika mobil sudah mendekati Muara Tembesi. Hari mulai gelap, hujan juga turun. Hanif serta Wahyu segera saja mem-bully saya yang mereka sebut pelor alias nempel langsung molor, biarpun mobil sebenarnya berulang kali tergoncang-goncang sepanjang jalan.

Di bangku belakang terdengar dengkur halus dari Wahid. Itu bukan sesuatu yang mengagetkan kami, meski tak ayal tetap membuat kami beberapa kali tertawa. Wahid memang selalu tertidur sampai ngorok pada setiap perjalanan jauh bermobil. Bunyi ngoroknya juga biasanya bertambah seiring pertambahan kilometer yang ditempuh. Dulu, waktu ke Kuala Tungkal dan Palembang pun kejadiannya. Level pelor si Wahid memang jauh lebih parah ketimbang saya.

Sesi makan malam di sebuah warung tenda nasi uduk di Muara Tembesi mencairkan suasana. Agaknya berkah juga dari nasi uduk hangat berlauk pecel lele maupun ayam digoreng panas yang mengenyangkan perut kami. Obrolan ngalor ngidul terjadi di antara para anggota rombongan, juga sesekali dengan para pegawai warung nasi uduk.

PECEL lele, menu santap malam pengganjal perut di sebuah warung tenda di Muara Tembesi 
Setelah para anggota rombongan menunaikan salat magrib, perjalanan berlanjut. Mobil meluncur menuju ke arah kota Muara Bungo, kota yang menjadi tujuan Bu Habibah. Wahid si penghuni bangku belakang lagi-lagi mengisi perjalanan dengan tidur.  Sekitar satu setengah jalan meninggalkan Muara Tembesi, pula menyusur jalanan sembari menembus guyuran hujan, mobil menyempatkan singgah di sebuah SPBU, untuk isi bensin serta memberi kesempatan sebagian besar anggota rombongan untuk salat isya, juga melakukan urusan toilet.

Beberapa jam selanjutnya, ketika malam telah larut, kami akhirnya sampai di Muara Bungo. Kami berhenti sejenak di depan sebuah hotel melati, tempat menginap Bu Habibah selama menangai urusan-urusannya di kota di tengah Provinsi Jambi itu. Pak Jarwadi untuk beberapa lama ikut masuk ke hotel, membantu  Bu Habibah memilih calon kamar di lantai 1 hotel, sekaligus membantu mengangkut beberapa barang bawaan istrinya. Meja resepsionis di lobi sederhananya tiada lagi tertunggui, penjaga malam hotel pun sudah tidur, butuh untuk dibangunkan.  Waktu beberapa menit itu bagi saya, Wahyu, serta Hanif, lantas kami gunakan menata ulang tumpukan tas di bak belakang mobil. Kami pun menggoda Wahid yang enggan bangun, memotretnya yang lagi sedang bermuka bantal banget sampai beberapa kali.

EKSPRESI bangun tidur si Wahid

WAHYU menyempatkan diri nampang di depan hotel di Muara Bungo

Dua Jalan Raya
Mulai dari Muara Bungo, Hanif mengambil alih kendali setir dari mertuanya. Lepas dari urusan mengemudi, Pak Jarwadi lalu duduk di kursi penumpang depan, bekas kursi yang semula diduduki Bu Habibah. Pak Jarwadi kemudian banyak leluasa bercerita kepada kami, terutama tentang perkembangan dari tahun ke tahun kota-kota di Provinsi Jambi yang kami lewati sepanjang rute menuju Sumbar. Mendengar ceritanya itu, saya akhirnya mengakui bahwa Jarwadi merupakan kawan perjalanan menyenangkan, persis sebagaimana telah dijamin oleh Hanif beberapa hari lalu.

Kata Pak Jarwadi, ia kali pertama injakkan kaki di Provinsi Jambi pada awal dekade 1970-an, merantau dari daerah asalnya di Temanggung, Jawa Tenggah. Satu kota yang termasuk pertama diinjaknya setelah menumpang bus sepekan lebih adalah Muara Bungo, yang tentu jauh lebih kecil serta belum seramai seperti sekarang.

Imbuh Pak Jarwadi, Muara Bungo kini merupakan juga kota yang menjadi penanda bagi dua jalan raya besar yang membelah Provinsi Jambi. Dari Muara Bungo ke arah Sumatera Barat membujur Jalan Raya Lintas Tengah Sumatera, sedangkan antara Muara Bungo dan Kota Jambi ada Jalan Raya Jambi-Muara Bungo. Umur Jalan Raya Lintas Tengah Sumatera lebih tua dari pada Jalan Raya Jambi-Muara Bungo. Jalan Raya Lintas Tengah Sumatera termasuk bagian jalan raya lintas provinsi yang  tertua di Pulau Sumatera. Seingat mertua Hanif itu, ketika pertama kali menginjakkan kaki di Sumatera sekitar empat puluh tahun silam, Jalan Raya Lintas Tengah Sumatera pun cuma menyandang nama Jalan Lintas Sumatera. Waktu itu, jalan-jalan penghubung provinsi-provinsi di Sumatera belum lah seterkoneksi seperti sekarang. Apa yang sekarang merupakan Jalan Raya Jambi-Muara Bungo masih berupa jalan kecil, yang tidak seluruhnya telah beraspal, yang juga selalu memiliki jembatan di setiap sungai yang dilewati.

"Jalan Raya Lintas Tengah ini yang membangun insinyur dan kontraktor-kontraktor Korea," kata Pak Jarwadi tentang jalan raya yang sedang ditapaki mobil kami.

Secara fisik, Jalan Raya Lintas Tengah punya banyak bagian lurus yang sangat panjang. Kalau pun membelok, bentuk sudutnya tidak tajam. Sungguh terasa lebih enak berkendara di sini ketimbang Jalan Raya Jambi-Muara Bungo yang berkelak kelok tajam serta turun naik.

Kata Pak Jarwadi, Jalan Raya Jambi-Muara Bungo dibangun dan diperlebar sebagaimana bentuk jaringannya sekarang sekitar sepuluh atau lima belas tahun selepas dirinya bermukim di Provinsi Jambi. Di satu sisi, Jalan Raya Jambi-Muara Bungo merupakan prestasi karena telah merupakan hasil para insinyur dan kontraktor Indonesia. Namun, secara kualitas, memang mesti diakui bahwa jalan tersebut masih kalah dari pada Jalan Raya Lintas Tengah Sumatera. Jalan Raya Jambi-Muara Bungo begitu berkelak-kelok dan turun naik, membuat pengendara mesti lebih berhati-hati. Jalan raya itu pun lebih mudah rusak.

"Mungkin pemborongnya dulu terlalu banyak cari untungnya," demikian seloroh Pak Jarwadi tentang hal tersebut. Lalu, saya dan kawan-kawan semobil, kecuali Wahid yang asyik terlelap, tertawa karenanya.

Selepas tengah malam, selepas beberapa kali menembus daerah hujan, juga setelah  saya sekali lagi merasakan tidur setengah jam, mobil pun saya dapati telah melaju di daerah Provinsi Sumatera Barat. Jalan raya yang kami lewati terasa lebih mulus lagi lebih lebar. Sinyal seluler, yang sebelumnya kerap hilang timbul selama di wilayah Provinsi Jambi, kini terasa jauh lebih bagus kualitasnya. Di daerah perbatassan itu, simbol 3G pada ponsel muncul dengan stabil. Urusan ngetwit dan mengunggah foto ke  jejaring sosial pun terasa lebih lancar. Sampai-sampai untuk beberapa kali saya dan Wahyu sempat saling bertukar sahut via twitter, biarpun kami berdua sebenarnya duduk bersebelah.

Mobil kemudian berhenti beberapa lama di sebuah warung di daerah Sungai Dareh, Dharmasraya. Saat itu sekitar pukul 01.15. Tanggal telah berganti dari 30 November ke 1 Desember. Di warung berdinding papan kakyu itu, para anggota rombongan rehat sejenak dengan memesan kopi panas serta indomie rebus maupun goreng yang penuh irisan cabai. Pak Jarwadi menyempatkan diri mengobrol dengan suami-istri pemilik warung, juga beberapa pria yang bermain kartu di dalam warung tersebut.

SAYA dan Wahid ketika rehat di warung di daerah Sungai Dareh
WAHID sedang iseng main kartu ceki sisa para bapak yang nongkrong di warung daerah Sungai Dareh 
Sebelum kembali melanjutkan perjalanan, saya terpikir untuk melegakan isi kandung kemih saya. Eh, minta izin ke pemilik warung untuk numpang kencing di kamar kecil mereka, tapi ternyata mereka tidak punya kamar mandi maupun WC. Di bagian belakang warung mereka itu cuma satu bilik kecil berisi kompor serta drum tampungan air. Bilik itu jelas lebih berfungsi sebagai dapur sederhana, bukan kamar mandi maupun WC. Akhirnya, saya pun mau tak mau harus kencing di semak-semak di luar warung. Baru kemudian numpang cuci tangan di dalam warung.

Rombongan kami kembali melanjutkan perjalanan. Hanif yang kembali menyetir. Perut yang kenyang dan dihangatkan oleh kopi membuat kami ngobrol ngalor-ngidul selama sejam kemudian. Namun, tetap saja saya akhirnya jatuh terlelap.

Pemandangan Menentramkan Mata
Saya terbangun ketika hari sudah subuh. Mobil melewati jalan-jalan yang berkelak kelok. Mobil lalu singgah di sebuah SPBU. Pak Jarwadi, Hanif, Wahyu, serta Wahid memerlukan diri menunaikan salat subuh. Saya menunggu di mobil, mengamati truk tangki yang sedang menyetor pasokan BBM ke SPBU, juga lantas berbaring santai di bangku tengah yang untuk sementara lowong bin lega.

Kami baru meninggalkan komplek SPBU tersebut ketika langit mulai terang. Kini giliran Wahyu yang menyetir. Pemandangan sekeliling mulai tampak lebih jelas. Di luar samar-samar kini terlihat bukit-bukit dataran tinggi berselang-seling aneka bangunan. Beberapa kali terlihat pula sawah dan sungai kecil berbatu-batu dengan airnya yang jernih.

Bagi saya, pemandangan semacam ini menentramkan mata sekaligus familiar. Tak cuma karena saya menyukai pemandangan semacam itu ataupun juga karena saya setahun sebelumnya pernah pula berkunjung ke Sumatera Barat. Dalam beberapa hal, saya yang lahir dan tumbuh besar di Jawa bagian selatan seperti menemukan sejumput kecil daerah asal saya.

Itu sekaligus terasa jauh lebih akrab di mata ketimbang pemandangan yang sehari-hari saya saksikan antara akhir 2009 sampai dengan akhir 2012. Maklumlah, saya dalam tiga tahun tersebut merasakan penempatan kerja sebagai wartawan di Kota Jambi dan sekitarnya. Topografi daerah tugas saya berupa daerah dataran rendah pesisir timur Sumatera serta bagian dari daerah aliran Sungai Batanghari. Sungguh bertolak belakang dari daerah asal saya di Wonogiri yang berbukit-bukit.

Di sebelah saya, Hanif sibuk dengan ponsel Samsung ber-OS Android miliknya, mengecek posisi kami maupun daerah tujuan melalui Google Maps. Katanya, kami tinggal terpaut jarak sekitar 40 kilometer dari lokasi acara Pacu Jawi.
(BERSAMBUNG ke Empat Rekan Sekantor dan Seorang Mertua Menonton Pacu Jawi.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar