Sabtu, 29 Desember 2012

1 Hari Tak Selalu 24 Jam

Oleh Yoseph Kelik

JAM weker (foto dari www.fantom-xp.com)


SATU hari adalah satuan waktu yang setara dengan 24 jam. Itu adalah
dihitung  sejak selepas tengah malam, dengan sejamnya sepanjang 60
menit. Demikianlah pembagian waktu ala Barat yang menjadi mainstream pada masa
kini.

Aslinya malah dalam tatacara Barat ada pembagian dua terhadap waktu
satu hari, yakni ada AM (Ante Meridiem) dan PM (Past Meridiem). AM
adalah paro pertama yang berlaku dari tengah malam sampai tengah hari,
sedangkan PM adalah paro kedua yang berlaku dari tengah hari hingga
tengah malam.

Hanya saja, pembagian waktu sehari sama dengan 24 jam yang dihitung
mulai dari tengah malam ternyata tak selalu berlaku di semua wilayah
serta zaman.
Sejumlah peradaban ternyata punya pembagian waktu versi
mereka sendiri. Banyak di antaranya menetapkan awal hari dimulai dari
petang alias sejak matahari tenggelam. Masyarakat Jawa adalah satu di
antara yang memiliki pembagian waktu dan menghitung awal hari dengan
cara semacam ini. Masyarakat di wilayah Arab dan Timur Tengah pun
agaknya memiliki cara penentuan awal hari yang serupa. Lalu, suku-suku
bangsa lain di Nusantara pun sepertinya juga banyak yang menganut
penentuan awal hari sebagaimana masyarakat Jawa, yakni memulainya
sedari petang.

Pengaruh kuat pembagian waktu yang menghitung awal hari mulai dari
petang agaknya bisa dilihat dari bahasa sehari-hari yang dipakai orang
Indonesia ketika menyebutkan dan mendeskripsikan waktu. Orang
Indonesia contohnya lebih lazim menyebut waktu antara Sabtu pukul
18.00 sampai dengan 24.00 dan Minggu dini hari sebagai “malam Minggu”,
bukannya “Sabtu malam” yang sebenarnya lebih tepat jika merujuk kepada
bahasa Indonesia yang baku.

Pembagian dan penyebutan waktu  di masyarakat Jawa kuno, paling tidak
sampai dengan masa seputaran Majapahit, malah beda lagi. Demikian jika
merujuk kepada isi buku Kalangwan tulisan PJ Zoetmulder. Dalam
pembagian waktu semasa Jawa kuno, 1 hari itu ternyata tidak lah sama
dengan 24 jam, melainkan justru sepanjang 16 ‘jam’ ala Jawa.  Sejam
ala Jawa kuno itu setara dengan 90 menit menurut ukuran waktu masa
kini. Sebutan untuk jam atau pukul semasa Jawa kuno itu  adalah
tabeh atau dawuh. Menurut tata cara masa itu, pergantian dari satu
tabeh/dawuh ke tabeh/dawuh selanjutnya ditandai dengan pukulan
kentongan atau gong. Jumlah pukulan kentongan atau gong itu serasi
dengan waktu bersangkutan yang ditandainya.

Semasa Jawa kuno, awal hari atau tanggal juga dihitung sejak petang
alias sedari matahari tenggelam. Kala itu, 1 hari juga terbagi menjadi
dua bagian yang sama panjang. Keduanya sama-sama terdiri dari 8 tabeh.
Bagian pertama yang meliputi petang, sepanjang malam, hingga matahari
terbit disebut paro peteng. Bagian kedua yang meliputi pagi, sepanjang
siang, hingga matahari terbit disebut paro terang.

Tak cuma masyarakat Jawa kuno yang membagi waktu dalam sehari semalam
secara berbeda dengan pola mainstream saat ini. Bangsa Romawi pada
masa eksis mereka sekitar dua alaf silam pun tak menganut pembagian
waktu sehari semalam ala 24 jam.

Mereka membagi siang hari menjadi dua belas jam. Pertama adalah hora
prima yang dimulai pada terbitnya matahari. Terakhir adalah hora
duodecima yang berakhir kala matahari terbenam.

Bangsa Romawi membagi malam menjadi delapan sekuen waktu. Vespera,
prima fax, concubia dan intempesta untuk penyebutan waktu sebelum
tengah malam. Lalu, ada pula inclinatio, gallicinium, conticinium,
dan diluculum untuk menyebut waktu setelah tengah malam hingga
matahari terbit.
<<<+>>>



CATATAN: Sebagian besar tulisan ini dikembangkan dari rangkaian twit
di akun @sephkelik pada Kamis pagi, 20 Desember 2012. Dua buku menjadi
referensi bagi tulisan ini yakni buku tentang analisis sastra Jawa
kuno, Kalangwan karya PJ Zoetmulder dan diterbitkan oleh Penerbit
Djambatan, serta novel Pompeii karya Robert Harris yang edisi bahasa
Indonesianya diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar