Minggu, 10 Maret 2013

Sandal Jepit: Resminya Dibenci, Senyatanya Disukai

Oleh Yoseph Kelik
SANDAL jepit (foto diunduh dari deltakirana.devianart.com)

BAGI kaki-kaki bersandal jepit, pintu-pintu kantor di Indonesia bukanlah benda yang rela menjadi pintu biasa. Pintu-pintu itu lebih memilih berlaku layaknya gerbang perbatasan dari suatu negeri tak ramah. Begitu enggan mengizinkan wilayah di sebalik pintu untuk dilongok, apa lagi dikunjungi, oleh kaki-kaki bersandal jepit. Seolah si pintu adalah garis lintang utara 38 derajat, sedangkan  wilayah di sebalik pintu itu adalah Korea Utara.

Penegas status sebagai perbatasan itu lazimnya adalah plakat atau tempelan kertas, berisi larangan penggunaan sandal jepit.
Kalau tak ada itu, atau kalau butuh lebih dari itu, hardikan petugas sekuriti atau staf kantor lah yang akan memberitahukan larangannya. Maka, visa untuk akhirnya dapat memasuki “Korea Utara” tadi  hanyalah menanggalkan si sandal jepit, menggantinya dengan sepasang sepatu. Soal ini, saya sendiri masih ingat bagaimana tempelan kertas larangan menggunakan sandal jepit bertebaran di beberapa bagian kampus saya semasa kuliah: ada pintu kantor administrasi, ruang jurusan, juga dekanat.

Sandal jepit di lingkungan institusi resmi di Indonesia memang selalu dianggap sundal. Lekat dengan stigma sebagai jenis alas kaki yang kurang sopan. Kerap diolok sebagai sandal WC, alas kaki ketika berak.

Urusan pelarangan sandal jepit semacam itu sempat mendadak jadi ramai di antara khalayak pada tengah Februari 2013. Gara-garanya adalah apa yang menimpa Oce Madril pada Kamis, 7 Februari 2013. Dosen Fakultas Hukum UGM itu dilarang masuk Kantor Imigrasi Yogyakarta ketika hendak mengurus paspor. Alasan pelarangan karena pria yang merupakan juga peneliti di Pusat Studi Anti Korupsi (Pukat) UGM itu datang cuma beralaskakikan sandal jepit. Ini jadi ramai di khalayak karena pemberitaannya nongol di berbagai media, pun Oce Madril lantas mengadukan pelarangan tadi ke Ombudsman RI Perwakilan DIY. Oce Madril bersikukuh pelayanan publik tak selayaknya hilang atau tertunda hanya karena seseorang bersandal jepit.

Publik tampaknya terbelah menanggapi insiden Oce Madril. Ini paling tidak jika saya amati dari satu berita tentang insiden itu di satu situs berita besar nasional, yang sampai dikomen oleh tak kurang dari 350 orang. Ada yang mengamini pendapat Oce Madril, pula menyeru supaya pelayanan publik tak lagi perlu terlalu merewelkan hal-hal semacam sandal jepit. Sebaliknya, ada yang menganggap pelarangan penggunaan sandal jepit di institusi resmi sudah sewajarnya, justru Oce Madril lah yang kemudian mereka ledek membesar-besarkan perkara.

Namun, di antara silang pendapat itu, saya tertarik dengan satu komen yang menurut saya cukup arif. Komen itu menyetujui argumen Oce Madril, namun sekaligus masih memaklumi aturan berpakaian yang diterapkan di suatu institusi. Pemilik komentar itu lantas mengusulkan jalan tengah berupa penyediaan peminjaman sepatu atau jas untuk digunakan warga pengguna jasa yang dianggap memakai pakaian kurang pantas menurut institusi yang didatangi. Menurut saya sih usulan itu pantas untuk dipikirkan berbagai instusi di Indonesia, jika mereka menerapkan standar penampilan dan kerapian tertenti bagi yang warga mendatangi kantor mereka, tapi tanpa harus terlihat arogan ketika menerapkan aturannya.

Lagi pula, biarpun sandal jepit sering dihina, kenyataannya tak sedikit pegawai kantor di Indonesia yang suka menggunakannya, paling tidak mencuri-curi waktu memakainya, di sela-sela jam kantor. Bahkan, itu termasuk di kantor yang beberapa pintunya dihiasi plakat larangan memakasi sandal jepit. Itu karena sandal jepit lebih mudah ketika mesti diajak ke kamar kecil untuk urusan buang air kecil, juga lebih bersahabat untuk urusan berwudhu jelang sholat. Selama tiga tahun bekerja di satu provinsi di pantai timur Sumatera, saya berkali-kali melihat pegawai kantor bersandal jepit di kantor pada jam kerja. Itu saya lihat di kantor lingkungan pemerintah provinsi, pemerintah kota, dan pemerintah kabupatan. Yah, sandal jepit resminya mungkin dibenci, tapi sebenarnya banyak juga mencintainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar