Selasa, 18 September 2012

Banjir Soft Drink Impor Negeri Jiran Kala Lebaran

Oleh Yoseph Kelik

NARAYA Cola
INGAT lagu Bang Toyib, yang diceritakan pergi tak pulang ke rumah selama tiga kali Lebaran? Nah, kalau dihitung dari soal Lebaran dan tradisi mudik ke kampung halaman yang menyertainya, saya sepertinya termasuk golongan "Bang Toyib". Soalnya, saya selama hampir tiga tahun bekerja dan tingggal di Jambi ini tak pernah pulang kampung ke Wonogiri pada saat Lebaran.

Hanya saja, jika Bang Toyib disebutkan dalam lagu tak pernah pulang, saya senyatanya dalam kurun hampir tiga tahun itu sempat pulang kampung sebanyak tiga kali. Hanya saja, saya memang  selalu mengambil cuti pulang kampung di luar masa hari raya, baik itu Lebaran maupun Natal dan Tahun Baru. Itu semua demi mendapatkan tiket pesawat yang lebih terjangkau isi kantong. Dari tiga kali saya mengambil cuti untuk mudik, dua kali di antaranya  justru memilih hari pada seputaran pertengah Februari sampai dengan awal Maret. Cuma cuti II 2012 ini, yang saya ambil antara 4-11 September, terhitung masih berdekatan dengan Lebaran. Itu pun jarak dengan hari Lebarannya sudah dua pekan. Jadi, saya baru mulai mudik ketika sebagian besar orang di Indonesia sudah rampung berarus balik.

Dari Kola hingga Soya
Omong-omong, dengan preferensi pribadi saya dalam soal cuti semacam tadi, otomatis dalam tiga tahun ini saya selalu menjalani seputaran Lebaran di Jambi. Nah, tiga kali ngerasain Lebaran di Jambi ternyata membuat saya tiga kali pula melihat bagaimana aneka soft drink impor membanjir di Kota Jambi, mudah ditemukan dari mulai di supermarket, minimarket, hingga ke toko-toko kecil. Aneka minuman ringan itu umumnya dalam kemasan kaleng dan merupakan produk-produk bikinan Malaysia.

Aneka minuman ringan impor itu asal negeri jiran itu punya macam-macam pilihan rasa maupun jenis. Variasinya dari mulai sarang burung, kola, sarsaparila, sirup stroberi berkabonasi, sirup jeruk berkabonasi, sirsak, melon, liang teh, chrysanthemum alias teh bunga krisan, juga soya milk alias susu kedelai.

NARAYA Sarsi
Soal merk, berbagai minuman ringan anaka jenis dan rasa itu pun ada beberapa. Beberapa di antaranya yang saya ingat adalah Naraya, Ex  Goal, King Cola, Uniflex, serta Soy Master. Sepengetahuan saya, merk-merk itu bukan merk-merk yang lazim beredar di daerah asal saya di Jawa Tengah. Kelihatannya tak pula banyak beredar di daerah-daerah selebihnya di Pulau Jawa.

Saking tidak umum beredar di Jawa, kata Ruli yang bernama lengkap Raisha Ruliano, seorang bekas teman sekantor, sekaligus suami seorang teman sekantor sekarang, ia pernah bikin teman-teman kuliahnya di Bandung dulu terkagum-kagum. Itu terjadi ketika Ruli membawa oleh-oleh beberapa karton minuman kaleng produk Malaysia untuk teman-temannya di Bandung. Ruli yang sekarang ini merupakan seorang pegawai negeri sipin di lingkungan Pemerintah Kota Jambi berbagi sepotong cerita tadi lewat akun twitternya, @RaishaRuliano1.

Oh ya, aneka minuman ringan impor asal negeri jiran itu selalu laris dibeli keluarga-keluarga di Kota Jambi dan seputarannya. Soft drink impor itu rupanya diandalkan sebagai stok suguhan bagi para tetamu yang bersilahturahmi pada seputaran Lebaran. Di Jambi pada masa Lebaran, minuman kaleng impor asal Malaysia memang mudah ditemukan tertata dalam jumlah paling tidak sekitar selusin di ruang tamu dan ruang makan, berdampingan dengan air mineral kemasan gelas 220-240 mililiter dan 100 mililiter.

Sepengamatan saya sih, di antara minuman ringan impor asal Malaysia yang beredar di Jambi sepertinya sarang burung adalah jenis terpopuler. Soalnya, minuman kaleng sarang burung itu lah yang menurut saya paling sering saya lihat disediakan di rumah-rumah warga Jambi pada masa Lebaran.

Murah
UNIFLEX Chrysanthemum
"Murah soalnya, Mas." Demikian Maulana Iman Satria, seorang anak muda asli Jambi kenalan saya, memberi komentarnya tentang alasan keluarga-keluarga di Jambi, termasuk juga keluarganya, doyan memborong aneka minuman ringan asal Malaysia setiap jelang Lebaran. Mahasiswa tingkat akhir Bahasa Indonesia FKIP Universita Jambi, yang sehari-hari biasa disapa sebagai Maul atau Uul ini, berbagi komentarnya kepada saya lewat akun twitternya, @uLstraman. Dalam twitnya yang lain kepada saya, anak muda yang punya kerja paruh waktu sebagai MC di satu stasiun tivi lokal di Jambi serta sejumlah event tersebut mengiyakan pula satu pendapat saya, yakni tentang sarang burung sebagai jenis minuman ringan impor terpopuler di Jambi.

Omong-omong, banderol aneka minuman ringan asal negara tetangga serumpun memang jauh lebih miring ketimbang produk-produk minuman ringan bikinan Indonesia. Pasalnya jika produk minuman ringan domestik berbanderol pada kisaran Rp 4.000-an hingga sekitar Rp 6.000 bahkan lebih, aneka minuman ringan impor asal Malaysia itu biasanya cuma berbanderol sekitar separonya: di kisaran harga sekitar Rp 3.000-an atau bahkan Rp 2.000-an. Siapa yang tak tergiur coba dengan selisih harga sebesar itu? Lebih lagi di saat bersamaan, harga-harga barang lain semacam daging serta bumbu masak membubung pada masa Lebaran. Kan kalau bisa menghemat belanja soft drink calon suguhan tamu, duit penghematannya bisa dialihkan untuk belanja yang lain... .

Riau dan Batam juga
UNIFLEX Soursop
Banjir soft drink impor dari negara tetangga kenyataannya tak cuma terjadi di Jambi. Kata Achmad Susilo Haji, seorang anak muda Jambi yang juga job paro waktu sebagai MC dan penyiar radio, via akun twiter @silo_aji miliknya, banjir minuman ringan impor dari seberangan perbatasan terjadi juga di Riau. Aji menyaksikan sendiri fenomena semacam itu ketika terlibat kegiatan survei penelitian di beberapa pulau di Provinsi Riau pada tengah tahun 2012. Imbuh Aji, jika minuman ringan produksiMalaysia yang beredar di Jambi umumnya dari merk-merk lokal negaranya Siti Nurhaliza itu, artinya bukan merk-merk yang sesunguhnya familiar bagi publik Indonesia, maka minuman ringan asal Malaysia yang beredar di Riau  berlabel merk-merk multinasional, yang aslinya memiliki pabrik dan jaringan distribusi sendiri di Indonesia, juga diakrabi publik Indonesia. Sebut saja dalam hal ini adalah merk-merk minuman ringan milik The Coca Cola Company seperti kola merk Coca Cola dan minuman rasa lime berkarbonasi merk Sprite.

Cerita yang kurang lebih mirip terjadi di Batam dan Kepulauan Riau. Cerita tersebut dibagikan seorang kenalan saya yang lain, Lenny, melalui akun twitter @Lenny_Indonesia kepunyaannya. Menurut gadis asal Jambi alumnus Universitas Internasional Batam tersebut, soft drink impor yang membanjir masuk Batam antara lain produk Singapura dan Malaysia. Keberadaan aneka minuman ringan asal negeri jiran tersebut boleh dibilang telah menjadi bagian keseharian, tak cuma berlangsung pada seputaran hari raya semacam Lebaran sebagaimana di Jambi.

Beer, Bir, Bird
Hanya saja, jika sedikit kembali mengulas tentang jenis-jenis minuman ringan impor dari negara tetangga yang beredar di Jambi pada seputaran Lebaran, ada jenis yang sepertinya tak turut beredar. Satu yang menurut saya susah saya temukan di antara aneka minuman ringan murah impor itu adalah  minuman jenis lime berkarbonasi ala Sprite, 7Up, atau Mountain Dew. Lalu saya pun tidak menemukan minuman ringan jenis isotonik semacam Pocari Sweat yang populer di Indonesia hampir sedekade terkahir. Padahal, seperti telah saya ceritakan di sebelumnya, berbagai jenis minuman ringan lain dari mulai kola sampai susu kedelai dan sarsaparila ada. Hingga sejauh ini, saya masih belum tahu penyebab absen terimpornya dua jenis minuman ringan tadi.

Di antara berbagai jenis minuman ringan impor dari negeri jiran yang beredar pada masa Lebaran, saya juga jarang nemu, malah mungkin lebih tepatnya tidak pernah nemu, yang berjenis rootbeer. Kalau soal ini, kenapa yang rootbeer nggak ada, saya punya sedikit hipotesis. Menurut saya, para pedagang di Jambi mungkin memang memilih tak memasukkan soft drink jenis rootbeer ke dalam daftar jualan mereka selama masa jelang Lebaran. Mereka mungkin menghindari terpantiknya isu SARA, takut kalau empat huruf di separo belakang kata rootbeer dikelirukan orang sebagai beer alias bir yang sesungguhnya, si minuman keras berkadar alkohol 4-6 persen dari hasil fermentasi gandum.

Ex Goal Orange
Anda yang berkemampuan bahasa Inggris casciscus boleh jadi bakal tertawa meledek terhadap teori saya tadi. Anda barang kali akan pula menganggap saya mengemukakan sesuatu yang berlebihan. Namun, percayalah bahwa di luar sana memang ada tak cuma satu dua orang yang perbendaharaan kosakata bahasa Inggrisnya jauh di bawah anda. Cukup satu atau dua orang seperti itu salah paham, maka satu urusan bisa jadi terlalu panjang dari seharusnya.

Contoh kecilnya saja satu kejadian dua tahun lalu, saat mess kantor perusahaan tempat saya kerja masih ada di daerah Paal Merah di Jambi Selatan, belum pindah ke Jelutung. Nah, ketika itu, pada satu sore di penghujung bulan puasa, bertepatan dengan hari-hari ketika berkarton-karton minuman ringan impor kiriman berbabagai kolega dan kenalan mengalir ke mess kami, mendadak saja satu dari 12 kawan satu mess saya uring-uringan. Sebab musababnya adalah tumpukan berpaket-paket soft drink impor jenis sarang burung di dalam mess: ada di seputaran meja makan mess, dapur, juga beberapa kalengnya lagi berderet mengisi kulkas. Kawan saya tadi sempat hampir mengomeli beberapa kawan lain. Itu karena kawan tadi  keliru mengartikan kata-kata bahasa Inggris "bird nest" yang tertera di kaleng kemasan minuman sarang burung. Bukannya menerjemahkan "bird nest" menjadi "sarang burung" sebagaimana seharusnya. Ia justru menafsirkan kata "bird" sebagai "bir", si minuman keras. Pikir kawan yang seorang Muslim taat itu, kawan-kawan semessnya sedang mengotori kesucian Ramadan dengan justru mengumpulkan berkaleng-kaleng minuman beralkohol.

Ketika itu, kawan yang berasal dari Jawa Timur itu memang belum tahu bahwa padanan bahasa Inggris dari "bir" adalah "beer", pun kurang paham bahwa "bird" dari bahasa Inggris berarti "burung" dalam bahasa Indonesia. Ketika itu, bahasa Inggris sang kawan tadi memang jauh dari sempurna. Namun, insiden "bird keliru jadi bir", yang membuatnya lantas jadi ledekan kawan-kawan semess, setahu saya juga membuatnya belajar meningkatkan kemampuan bahasa Inggrisnya. Tentu dia tak ingin "terpeleset" untuk kedua kalinya kan... .

Kemasan
Beredarnya aneka minuman ringan impor asal Malaysia di Jambi pada akhirnya memancing perhatian saya untuk mengama-amati pula desaian kemasan mereka. Rupanya, bentuk kaleng soft drink impor dari Malaysia ternyata agak beda dibanding bentuk kaleng soft drink produk domesik, yakni bagian atasnya lebih kecil. Isi sekalengnya juga di kisaran 320 atau 325 mililiter, bukan 330 mililiter seperti umumnya kaleng minuman ringan bikinan Indonesia.

Hanya saja, untuk kemasan minuman jenis kola tetap saja terlihat adanya kecenderungan untuk terlihat mirip dengan tampilan kaleng kemasan dengan produk pionir dan pemimpin pasar segmen tersebut, seperti Coca Cola. Contohnya saja warna kemasan kaleng yang didominasi warna merah plus sejumlah tulisan warna putih. Memiripmiripkan diri dengan Coca Cola kan?

SOY Master Soy Milk
Pola yang kurang lebih sama terjadi pula di minuman-minuman ringan jenis sirup buah berkarbonasi. Menurut saya kemasan kaleng minuman-minuman ringan impor asal Malaysia dari jenis tadi punya desain yang mudah sekali mengingatkan kita kepada kemasan kaleng minuman Fanta: ada warna merah untuk rasa stroberi, lalu warna oranye untuk rasa jeruk.

Desain kemasan yang masih memiripmiripkan diri dengan merk pionir dan pemimpin pasar itu merupakan pertanda, atau bahkan pengakuan diri, bahwa aneka minuman ringan impor asal Malaysia itu memang masih terbebani mentalitas pengekor.

Rasa KW Banyak
Sekarang saya akan beranjak membahas cita rasa dari aneka minuman ringan impor asal Malaysia itu. Soal ini, jujur saja saya sepertinya susah memuji aneka soft drink impor dari Malaysia itu. Selera lidah saya sungguh nggak nyambung sama mereka.

Dari  sekian macam soft drink impor dari Malaysia itu, saya contohnya nggak doyan sama bird nest, sarsaparila, melon, teh bung krisan, serta liang teh. Saya tentu saja pernah beberapa kali mencoba jenis-jenis minuma yang tersebutkan tadi, tapi selalu saja tak habis. Cuma satu dua-tiga-teguk pertama atau paling banter setengah kaleng, lalu acara minum pun tak berlanjut.

Lalu, frankly speaking, rasa soft drink impor asal Malaysia yang berjenis kola dan sirup buah karbonasi, agaknya merupakan versi KW berangka banyak dr merk-merk mainstream. Tentang soft drink impor asal Malaysua yang berjenis kola dan sirup buah itu, saya sama sekali nggak merekomendasikan mereka untuk diminum dalam kondisi tidak didinginkan lebih dahulu.

Sirup buah berkarbonasi bikinan Malaysia itu, menurut saya, rasanya sungguh luar binasa kemanisannya. Rasa sirup buah yang terlalu manis itu cuma bisa sedikit tersamarkan kalau diminum setelah didinginkan, entah karena dituang dan didiamkan beberapa lama dalam gelas berisi es batu atau karena sempat disimpan dalam lemari es.

Dari semua soft drink impor asal Malaysia, saya terhitung paling "tega" minum yang berjenis kola, terutama yang bermerk King Cola. Tapi, tetap saja kalau ingin sekaleng bisa sampai habis, saya perlu mendinginkan si kola Malaysia itu dalam kulkas lebih dahulu. Soalnya rasa kola Malaysia, apa lagi kalao tidak sempat didinginkan, kurang familiar di lidah. Kalau Coca Cola itu, menurut saya, ada rasa seperti tebu dan cokelat,lalu Pepsi ada rasa semacam vanila, nah kola asal Malaysia itu malah kayak ada jahenya. Karena itu, menurut saya, ketimbang kola bikinan Malaysia itu, cita rasa kola murah produksi domestik seperti Big Cola yang dijual di minimarket-minimarket berjaringan, atau bahkan kola serbuk semacam Kola Kola, lebih terasa familiar untuk lidah saya.

Oh ya, dulu kan di sekitar awal dekade 2000-an, di Indonesia pernah juga beredar produk kola domestik bermerk Qolbu Cola. Kalau nggak salah si Qolbu Cola itu bagian dari rantai bisnis kepunyaan dai kondang  AA Gym, yang pada awal dekade 2000-an sedang berada pada puncak popularitasnya. Nah, seingat saya, rasa si Qolbu Cola itu juga jauh lebih mendingan dari pada kola produk Malaysia yang beredar di Jambi pada masa Lebaran.

"Soft drink impor Malaysia mah kelas cupu." Demikian seloroh Agus Rachmanto, seorang kawan sekaligus adik tingkat semasa kuliah di Yogyakarta, memberi tanggapannya tentang cita rasa aneka minuman ringan produk Malaysia. Komentar Agus melalui akun twitter @AgusRachmanto12 miliknya tersebut bersumber dari pengalamannya tinggal setahun di satu pulau di Provinsi Riau, yang termasuk dekat dengan perbatasan ke Malaysia. Agus ini merupakan satu diantara pengajar muda dalam program Indonesia Mengajar yang dirintis Anies Baswedan.

Sebagaimana penilaian saya, Agus dalam satu twitnya yang lain menilai rasa minuman ringan bubuk sachet produk lokal seperti Kola Kola atau Finto masih lebih enak ketimbang rasa minuman ringan kaleng dari jenis kola maupun sirup buah karbonasi asal Malaysia.

Namun, pada akhirnya saya mesti menutup tulisan ini dengan satu apresiasi kepada Malaysia. Yah, paling tidak negara tetangga, yang beberapa tahun belakangan ini kadang berlaku berisik bagi orang Indonesia itu, berani memroduksi berbagai merk minuman ringan sendiri, terutama dari jenis kola dan sirup buah berkarbonasi. Apa lagi, minuman-minuman dengan sekian kekurangannya ternyata laku juga di pasaran Indonesia. Boleh jadi, orang-orang Indonesia seperti saya mudah mencela produk soft drink Malaysia karena satu hal saja: orang Indonesia terlalu lama tercekoki minuman-minuman ringan produksi perusahaan multinasional.




CATATAN:
Tulisan ini diolah dari tak kurang 23 twit saya di akun twitter pribadi saya, @sephkelik pada 12 Agustus 2012. Saya berterima kasih kepada sejumlah kawan yakni @uLstraman, @silo_aji, @Oo_laa, @Lenny_Indonesia@RaishaRuliano1, @sidealine, @tirantii@AgusRachmanto12, serta @imaginaryJoe, yang bersedia berbagi komentar, pertanyaan, juga retwit selama saya berkultwit ketika itu.

2 komentar:

  1. Soy master itu juga ada di Jogja,pak!

    BalasHapus
  2. oh ya, kalo itu... pernah lihat juga, tp, made in malaysia kan? sejujurnya aku g bener2 apal merk2 apa saja yg beredar pas lebaran gt...:-D

    BalasHapus