Minggu, 12 Oktober 2014

Kisah 10 Abad Eksistensi Kaum Tionghoa di Nusantara

(Risalah dan Tinjauan atas buku Peranakan Tionghoa  di Nusantara: Catatan Perjalanan dari Barat ke Timur tulisan Iwan Santosa)


Oleh: Yoseph Kelik
SAMPUL depan buku Peranakan Tionghoa di Nusantara (foto diambil dari situs aspertina.org)

AWALNYA adalah serangkaian artikel yang terbit mulai dari 13 Agustus 2002 sampai dengan 21 Januari 2012 di koran KOMPAS. Totalnya ada 65 artikel yang penulisannya melibatkan 24 jurnalis tulis maupun foto.
Garis merah penghubung tulisan-tulisan tersebut adalah tema tentang eksistensi etnis Tionghoa di Indonesia, sejak berabad-abad silam sampai dengan masa kini, juga di berbagai daerah yang ada di negeri ini. Ibarat tindakan menengok ke belakang, ulasan terjauh terhadap sejarah eksistensi Tionghoa di Nusantara di antara tulisan-tulisan tadi adalah 3 artikel mengenai proses peleburan etnis berkulit kuning tersebut di Bali sejak abad XI. Lalu, ulasan yang terbilang sangat dekat dengan masa kini antara lain tulisan-tulisan tentang imigran gelap asal China yang bekerja di sektor hiburan di Indonesia, juga tulisan-tulisan tentang pelaksanaan upacara tradisional Tionghoa seperti imlek, cap go meh, hingga ziarah kubur ceng beng pada masa sekarang.

Pada Mei 2012, 65 artikel tadi disatukan oleh wartawan KOMPAS, Iwan Santosa, menjadi sebuah buku bertitel  Peranakan Tionghoa  di Nusantara: Catatan Perjalanan dari Barat ke Timur. Dalam bagian pengantar dari buku yang secara keseluruhan memiliki 336 halaman ini, Iwan Santosa menulis,
“Bagian demi bagian buku ini mencatat naskah asli laporan jurnalistik yang sudah dan belum diterbitkan di harian KOMPAS. Naskah asli yang lebih panjang dan lengkap dibanding dengan terbitan di koran mengungkapkan banyak hal tentang perbedaan dan kerekatan masyarakat peranakan Tionghoa di sejumlah daerah di Nusantara.” 
Keberadaan naskah asli itulah yang boleh dibilang menjadi nilai plus isi buku Peranakan Tionghoa dibandingkan isi 65 artikel versi koran. Untuk proses penerbitan buku yang diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas ini, Iwan Santosa beroleh dukungan dari Asosiasi Peranakan Tionghoa (Aspertina) dan pihak Tridaya Media.

Susunan isi Peranakan Tionghoa tidak lagi secara urut kacang merujuk kepada urutan terbit terawal hingga terakhir dari 65 artikel KOMPAS yang menjadi sumbernya. Bab demi bab dalam Peranakan Tionghoa justru disusun secara tematik. Ada yang menurut kesamaan topik bahasan di antara beberapa tulisan, ada pula yang menurut kesamaan tempat yang menjadi lokasi peliputan. Dengan demikian, tercatat ada 8 bab di Peranakan Tionghoa. Masing-masing adalah Bab 1: Tionghoa Melebur Sempurna di Bali; Bab 2: Cina Benteng: Anak Betawi yang Tersisih; Bab 3: Glodok, Pecinan Jakarta; Bab 4: Balada Tionghoa Miskin; Bab 5: Silang Budaya; Bab 6: Banjir Imigran Gelap Cina; Bab 7: Seputar Nusantara; Bab 8: Kebangsaan Indonesia.

Sebagai buku dengan isi yang sesungguhnya didasarkan kepada serangkaian tulisan yang memakan waktu pengerjaan selama 10 tahun, pun didasarkan kepada peliputan di berbagai daerah, maka Peranakan Tionghoa menjadi kaya akan serenteng pengetahuan penting yang sangat membantu pembaca mengenal lebih dalam tentang kaum peranakan Tionghoa di Indonesia.

Akar buku ini dari artikel-artikel koran membuat bahasa yang digunakan ringkas, efektif, serta enak dibaca. Namun, akar dari artikel-artikel koran tersebut membuat pembaca terkadang bertemu beberapa perulangan konten bahasan, yang mana perulangan-perulangan itu terasa bisa dipertanyakan urgensi maupun signifikansinya. Hal tersebut merupakan efek samping dari pengompilasian berbagai artikel koran menjadi suatu buku, padahal artikel-artikel tersebut aslinya tidaklah ditulis menurut peta besar tertentu yang mengarahkannya secara sistematis menjadi sebuah buku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar